Lihat ke Halaman Asli

Rp. 10 juta; Harga nyawa rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang tuna netra tewas saat berdesak-desakan untuk bersilaturrahmi dengan Yang Terhormat Bapak Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Korban bernama Joni Malea, warga Kabupaten Garut, asli rakyat Indonesia. Hanya saja, dia hanyalah kawula, bahkan hanya bagian dari kawula ini. Tak sebanding sama sekali jika disandingkan dengan Sang Presiden.

Mungkin karena itu pula, kawula yang satu ini hanya berharga 10 juta rupiah, ditambah ucapan simpati dan belasungkawa. Nyawanya tak cukup berharga untuk merubah kebijakan pemberian zakat di negeri ini. Padahal manusia adalah makhluk yang berada dalam posisi tertinggi dalam hirarki wujud ciptaan Tuhan. Padahal sangat tidak layak untuk manusia berbaris dan saling dorong untuk sekedar mendapat sedikit harta dunia.

Muhammad bin Abdullah, salah seorang dari manusia suci bumi, mengamanatkan untuk menghormati mereka yang termasuk orang-orang tertindas. Bahkan beliau mengatur pemberian zakat haruslah dengan diantarkan ke rumah penerima zakat. Tidak hanya itu, pemberian zakat juga tidak boleh dengan merendahkan martabat penerima zakat. Begitu mulia manusia di hadapan manusia suci ini.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang katanya juga merasa sebagai ummat Muhammad ini, malah berlaku lain. Meski sering mengingatkan orang lain untuk "berlaku sopan, tidak saling memfitnah, memberikan kritik yang baik", dan lain sebagainya, dia tidak mampu untuk melakukan amanat Muhammad yang satu ini. Tidak hanya tidak mengamalkan, bahkan dia melakukan yang sebaliknya; menyuruh orang-orang miskin berbaris untuk menemuinya dan mendapatkan imbalan untuk itu, membiarkan mereka berdesak-desakan demi maksud diatas, membiarkan orang-orang miskin ini saling injak sampai harus ada yang jadi korban. Lalu apa harga untuk sebuah nyawa; 10 juta rupiah ditambah ucapan simpati.

Cukup, dan setelah itu selesai! Tidak ada perubahan sikap, tidak ada perubahan kebijakan, apalagi perubahan nyata untuk menjamin tidak ada lagi hal semacam ini.

Betapa berbeda; Muhammad Bin Abdullah SAW dan Susilo Bambang Yodhoyono.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline