Lihat ke Halaman Asli

Ekstensi Ideologi Kepahlawanan Bangsa Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image from (http://photobucket.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="660" caption="Image from (http://photobucket.com)"][/caption] Hari Pahlawan merupakan suatu hari bersejarah bagi negeri Indonesia ini. Hari pahlawan jatuh pada setiap tanggal 10 Nopember tentunya kita semua tahu itu, namun anehnya kita kadang tidak tahu arti dari kepahlawanan sendiri. Kita hanya tahu bahwa hari itu adalah hari pahlawan sejatinya kita tidak pernah mau memahami arti dari kepahlawanan itu sendiri. Sungguh ironis bukan kalau kita sebagai bangsa Indonesia tidak mau mengerti dan memahami arti dan makna dari kepahlawanan. Bagaimana jadinya kalau kita seperti itu, Apa kata dunia nanti ?. Memang terlihat berbagai koran-koran nasional maupun lokal dihiasi berbagai tulisan dan opini bertemakan hari pahlawan tersebut. Beragam paradigma dan pendapat mengenai pahlawan bermunculan seolah turut memeriahkan hari peringatan tersebut. Hal ini membuat saya untuk tergerak untuk ikut memberikan opini tentang hari pahlawan ini. Bagi saya mengenang jasa pahlawan bukan hanya dikenang sekali dalam setahun tapi seyogyanya kita dapat mengenang dan meneruskan perjuangan mereka dalam membangun bangsa ini. Karena para pahlawan tidak hanya berjuang dalam satu hari namun perjuangan mereka dilakukan sepanjang hayatnya sampai mereka meregang nyawa untuk mempertahankan negara tercinta kita ini. Dalam bukunya Helden en Helden Vereeing, Thomas Carlyle memaparkan berbagai jenis-jenis pahlawan. Bagi Carlyle pahlawan di posisikan sebagai sumber dari segala perubahan. Pahlawan adalah manusia besar yang mengubah sejarah umat manusia. Menurut dia yang menganut the great man theory, Muhammad adalah sosok pahlawan. Demikian juga Karl Marx, Ernesto "Che" Guevara di Amerika Latin,dan Kemal attaturk di Turki, maupun Mao Zedong di Cina. Seperti itulah persepsi dari Thomas Carlyle ! Namun bagaimanakah dengan persepsi kita sendiri ? Dalam Persepsi masyarakat pada umumnya, pahlawan merupakan orang yang telah berjasa dalam mempertahankan negeri Indonesia ini atau jika kita persempit lagi bahwa pahlawan merupakan orang yang rela berjuang di medan perang. Jika ditinjau dari persepsi tersebut banyak ragam pahlawan yang terbentuk dalam sejarah kepahlawanan di Indonesia, seperti pahlawan kemerdekaan, pahlawan revolusi, dan pahlawan nasional. Lain lagi dalam pandangan para anak kecil. Apabila di lontarkan pertanyaan mengenai apa itu pahlawan, tentu mereka akan menjawab bahwa pahlawan adalah orang yang dengan berani membela kebenaran melawan orang jahat yang mencoba menguasai bumi. Seperti power rangers, satria baja hitam, ultraman, dan lain sebagainya. Dan masih banyak lagi macam maupun pandangan mengenai pahlawan. Bahkan, embel-embel pahlawan bisa menjadikan nama lain dari profesi seseorang. Misalnya, pahlawan tanpa tanda jasa (guru), pahlawan devisa (TKW), pahlawan keluarga (Ayah), atau pahlawan kesiangan (orang yang terlambat memberikan pertolongan). Namun apabila di kaji lebih lanjut, ternyata kata "pahlawan" adalah bermakna orang yang berpahala. Kata ini di ambil dari kata pahalawan yang kemudian agar mudah menyebutnya menjadi pahlawan. Mungkin awal dari pemberian nama pahalawan tersebut, karena masyarakat melihat sosok orang yang berjuang menegakkan kebenaran adalah orang yang nantinya mendapatkan pahala atas perjuangannya. Sedangkan, banyak sekali yang mendapatkan gelar pahlawan di bumi ini tanpa jelas kebenaran perjuangan yang di lakukan orang tersebut. Sebagai contoh, Amerika menganggap orang yang membumi hanguskan negeri-negeri islam dengan dalih pemberantasan teroris sebagai pahlawan. Ir. Soekarno yang berhasil memerdekakan Indonesia, dengan menghapus tujuh kata sakral dalam Pancasila yang terang-terangan menghianati Islam, di anggap sebagai pahlawan. Kemal Attaturk yang meproklamirkan berdirinya negara Turki, dengan sebelumnya dia meruntuhkan Khilafah Islamiyah, di anggap rakyat turki sebagai pahlawan. Di Israel, David Ben gurion yang telah banyak membantai warga Palestina dan merampas tanah mereka juga dianggap sebagai pahlawan. Dan masih banyak contoh-contoh lain para tokoh atau pihak yang sebenarnya belum tentu pantas mendapat gelar pahlawan. Mungkin bisa juga benar, tokoh-tokoh tersebut akan di anggap pahlawan bagi orang yang merasa sejahtera dan puas karena perjuangan tokoh tersebut. Sebaliknya, tokoh-tokoh tersebut bisa pula di anggap penghianat, pemberontak, penyerang, maupun 'biang kerok' di lain sisi. Yaitu sisi dimana merasa di rugikan karena kehadiran atau perjuangannya. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah berbicara panjang lebar tentang sosok pahlawan dalam sebuah esai yang ditulis di majalah mingguan Time edisi 10 Oktober 2005 berjudul The Making of A Hero. Menurut dia, setiap masyarakat membutuhkan pahlawan, dan masyarakat itu sendiri sesungguhnya mempunyai pahlawan. Perluasan makna kepahlawanan berarti membuka ruang munculnya pahlawan di segala bidang kehidupan. Setiap orang memiliki peluang untuk menjadi pahlawan karena prestasi dan kerja keras yang dilakukannya bahkan sampai mengorbankan kepentingannya sendiri. Ada pahlawan olah raga, pahlawan pendidikan, pahlawan lingkungan, pahlawan kemiskinan dan pahlawan pembangunan. Pengorbanan para pahlawan untuk merebut kemerdekaan negeri ini tak diikuti oleh generasi penerusnya untuk menjaga kemerdekaan itu dengan baik. Setelah puluhan tahun ditinggalkan penjajah, rasa kecintaan terhadap bangsa dan negara terus terkalahkan oleh semangat untuk menggapai tujuan pribadi maupun kelompok. Pahlawan dan gelandangan mungkin tak ada hubungan, tapi bisa juga ada. Seorang gelandangan bisa saja menjadi pahlawan, tapi seorang pahlawan pun sangat bisa menjadi gelandangan, paling tidak setelah ia tak lagi dianggap sebagai pahlawan. Tidak banyak manusia yang beruntung, menjadi pahlawan dan abadi, dengan cerita kepahlawanan yang dituturkan secara turun temurun. Tanpa sadar, kehidupan juga memisahkan antara kepahlawanan dan manusianya. Kita sering masih suka menceritakan kehebatan dan jasa seseorang, sementara di saat yang sama kita juga tidak mau tahu, bagaimana kehidupan orang tersebut andai dia masih ada. Bangsa yang baik adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Apakah kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang baik? Mungkin iya, soalnya kita punya sejumlah nama pahlawan yang diabadikan menjadi nama jalan atau nama tempat. Kita juga punya buku-buku sejarah yang menceritakan kepahlawanan dari mereka yang dianggap sebagai pahlawan. Bahkan, kita juga punya Taman Makam Pahlawan. Tapi barangkali kita juga harus mulai mereview ulang apa yang telah kita lakukan terhadap para pahlawan. Dulu Ellyas Pical adalah pahlawan. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi juara tinju dunia. Semua orang dengan bangga bercerita tentang dia. Tapi itu terjadi ketika ia masih mampu bertinju dengan baik. Setelah itu, secara umum bangsa ini lupa bahwa ia adalah pahlawan, atau setidaknya pernah menjadi pahlawan. Tapi ternyata Pical tak sendirian. Banyak Pical-Pical lain di bumi pertiwi ini. Seorang mantan atlet lari, melanjutkan karirnya sebagai pedagang asongan di halaman GOR Senayan. Toh ia masih berbangga, bakatnya sebagai pelari sangat berguna ketika menghindari Satpol PP. Beberapa waktu lalu, puluhan purnawirawan TNI dipersilakan angkat koper dari rumah yang mereka tinggali. Sebagian mereka benar-benar tak punya rumah lain, tak memiliki bisnis lain selain uang pensiun yang tak seberapa, dan dengan usia yang mulai senja mereka tak punya cukup kemampuan dan tenaga untuk hidup dengan lebih layak. Jadi semua itu kembali pada diri kita sendiri atau kepada masing-masing individu, bagaimana mereka memandangnya ? Dari segi mana mereka melihatnya ? Persepsi itu disandarkan kepada benar tidaknya tindakan yang dilakukan oleh orang yang mereka anggap sebagai pahlawan itu. Peristiwa-peristiwa heroik ketika negeri ini memasuki masa-masa revolusi fisik, sejatinya merupakan fase historis yang bisa digunakan untuk mencerahkan ingatan kolektif bangsa bahwa negeri ini pernah memiliki pahlawan-pahlawan sejati. Secara ragawi, sosok pahlawan sejati yang terlibat dalam konflik dan pertempuran fisik bisa jadi memang sudah tidak ada. Roh, semangat, dan kesejatian nilai kepahlawanan mereka telah diabadikan lewat buku-buku sejarah, museum, monumen, atau nama-nama jalan. Meski demikian, tidak lantas berarti nilai-nilai kepahlawanan itu dengan sendirinya ikut terkubur ke dalam kubangan sejarah masa silam. Kesejatian nilai kepahlawanan bisa terus tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika dan konteks zamannya ke dalam bentuk dan wujud yang berbeda. Ini artinya, siapa pun memiliki "talenta" untuk menjadi pahlawan sejati melalui ranah perjuangan yang digelutinya. Pahlawan sejati bisa muncul dari kalangan politisi, penegak hukum, pejabat, pegawai rendahan, bahkan dari kalangan rakyat jelata sekalipun. Jika kita mengutip kata-kata dari Anis matta bahwa "Pahlawan sejati itu adalah orang yang dapat memanfaatkan setiap momentum kepahlawanan" Jadi bisa dilihat bahwa seorang pahlawan yang benar-benar memiliki sikap kepahlawanan dan menjiwainya tidak akan pernah melepaskan momen dimana sikap kepahlawaanannya harus digunakan. Ketika dibutuhkan maka mereka akan turun untuk melakukan aksi kepahlawanan dengan tidak mengenyampingkan prinsip-prinsip kepahlawanan. Sebenarnya siapakah pahlawan itu? Bisa jadi untuk menjawabnya akan timbul perdebatan panjang. Namun, kata pahlawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Jadi ada tiga aspek kepahlawanan, yakni keberanian, pengorbanan dan membela kebenaran. Sementara dalam Peraturan Presiden No 33/1964 mengkategorikan pahlawan dalam dua golongan. Pertama, mengacu pada militer, pahlawan adalah warga negara RI yang gugur dalam perjuangan dalam membela bangsa dan negara. Kedua, mengacu pada warga sipil, pahwalan adalah Warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannnya. Banyak contoh sikap kepahlawanan di negeri ini bukan hanya dari kalangan bangsawan atau politisi saja namun dari rakyat jelata pun masih terdapat sikap kepahlawanan itu. Ektensi ideologi kepahlawanan masih terjaga sampai sekarang walaupun artinya telah berbeda. Jika dulu pahlawan identik dengan orang yang rela mati berjuang dalam peperangan untuk mempertahankan negeri ini, namun sekarang lain lagi arti pahlawan bisa berarti bermacam-macam tergantung dari aspek mana kita memandangnya. Semoga setelah membaca panjang lebar tulisan ini, kita bisa secepatnya memiliki jiwa seorang pahlawan sejati. Jangan hanya gelora kepahlawanan tersebut meledak ketika hari pahlwan saja, yang hanya diperingati sehari dalam setahun. Karena sosok pahlawan benar-benar di butuhkan. Lebih-lebih saat ini. Dan tulisan ini semoga dapat menunjukan salah satu pembelaan untuk menunjukan sikap kepahlawanan. Agar para pembaca yang membaca mulai dini dapat menunjukan sosok seorang pahlawan. Karena banyak orang dan saya sendiri yang seharusnya merasakan malu karena telah terlambat menunjukan sikap tersebut. Yang terakhir dari saya yaitu sebuah pesan "Tanamkanlah Semangat, Nilai sejati, dan sikap kepahlawanan dalam diri kita hingga akhir masa !!!".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline