Lihat ke Halaman Asli

Surat-menyurat, Hobi Baru Ical

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nampaknya, segala cara dilakukan Calon Presiden (Capres), Calon Wakil Presiden (Cawapres) maupun Calon Anggota Legislatif (Caleg) untuk mendulang suara pemilih. Seolah tidak cukup puas dengan mengirim jutaan SMS acak ke nomor handphone yang tidak dikenal secara acak, kini muncul ide baru lagi, yaitu mengirim surat secara personal kepada masyarakat, agar memilih dirinya. Hal tersebut dilakukan oleh Calon Presiden RI dari Partai Golkar, Aburizal Bakri (Ical).

Meski harus diakui, ide Ical bukanlah hal baru, karena sebelumnya DPW PKS Bali juga sudah melakukan hal yang sama, namun Ical lebih terus terang, karena langsung meminta untuk dipilih. Sebagaimana dilansir banyak media, Ical berinisiatif mengirimkan puluhan ribu surat, dengan menyebut nama pribadi guru-guru di sekolah, namun tetap menggunakan alamat sekolah dimana guru tersebut mengajar.

Berbeda dengan strategi korespondensi PKS, yang dikemas lebih rapi, dengan dalih surat pemberitahuan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), Ical lebih blak-blakan mengemukakan permohonannya untuk dipilih menjadi Presiden RI. Dalam surat tersebut, Ical juga berjanji akan memperhatikan nasib guru, petani, nelayan, dan semua elemen masyarakat jika terpilih menjadi presiden.

Pertanyaannya adalah, seberapa efektif ide yang disodorkan para konsultan Ical tersebut? Serta serta seberapa banyak massa yang bisa dipengaruhi dengan sepucuk surat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tidak ada salahnya kita mencoba melihat kultur masyarakat Indonesia, yang berbeda tipologinya di tiap daerah.

Di Jawa, dan Bali, dengan kultur masyarakat yang menjunjung tinggi pendekatan personal, bolehjadi ide bersurat pada para guru, secara emosi akan lebih menyentuh perasaan mereka, ketimbang sekedar kampanye melalui koran maupun televisi. Alasannya, factor pendekatan personal melalui surat dengan nama pribadi, sedikit banyak memberi ‘’kesan khusus’’ bagi para guru. Terlebih lagi, mereka hampir tidak pernah mendapatkan surat secara pribadi dari para pejabat, selain surat SK pengangkatan mereka dari Menteri yang bersangkutan.

Namun ide yang nyaris sempurna tersebut, bukan tanpa cela. Selain rawan digugat oleh penerima surat karena mengatasnamakan sekolah, karena dianggap tidak etis sebagai ajang kampanye, surat Ical juga tidak lengkap, karena hanya meminta guru-guru mendukung dirinya, disertai dengan janji-janji manis jika Ical kelak menjadi Presiden RI.

Tim Ical nampaknya lupa, atau mungkin kurang jeli, untuk memetakan seberapa jauh para guru yang disurati Ical tersebut akan memberikan respon positif terhadap ketokohan Ical. Jika tim Ical jeli, dan terlebih dahulu melakukan riset sebelum berkirim surat, mereka tentunya telah mengetahui seberapa kenal para Guru dengan sosok Ical.

Sebagai anak seorang guru, saya mengetahui persis bagaimana bapak saya memiliki rasa tidak suka pada sosok Ical. Meski tidak sampai muncul rasa benci pada Ical secara pribadi, namun image yang tertanam dibenak bapak saya adalah bahwa Ical itu identik dengan Lapindo, yang akhirnya menyengsarakan rakyat banyak.

Bahkan, pernah suatu ketika, dalam acara liburan sekolah, seorang guru teman bapak saya dengan bersemangat bercerita bagaimana dia sempat memanjat tanggul Lapindo-nya Ical, yang berisi jutaan kubik lumpur yang menenggelamkan ratusan rumah di daerah Porong.

Terlepas dari upaya Ical yang sudah memberikan ganti rugi, bahkan sering diistilahkan oleh Ical sebagai ganti untung, namun tidak semua masyarakat, termasuk guru-guru sekolah mengetahui, seberapa besar ganti rugi yang telah diberikan oleh Ical, dan berapa banyak warga yang sudah mendapatkan ganti rugi tersebut.

Oleh karena itu, menurut saya, selama Ical tidak mampu menghapuskan image negative tentang kasus Lapindo yang sempat menjerat dirinya, teknik berkorespondensi sebagai bagian dari strategi-nya menggaet massa guru-guru tidak akan banyak membuahkan hasil, bahkan boleh jadi malah akan membuat blunder Ical.

Jika Ical serius ingin menggarap segment guru, mau tidak mau Ical juga harus merubah image dirinya di hadapan para guru, dan tidak cukup hanya dengan menjanjikan harapan kesejahteraan pada mereka. Sebab jika Ical hanya menawarkan kesejahteraan, itu bukan lagi hal baru bagi para guru, karena hampir semua calon presiden juga menawarkan harapan yang sama.

Kelebihan Ical dengan sentuhan personal melalui surat pribadi, tidak akan berarti apa-apa jika para penerima surat tersebut sudah melakukan penolakan, karena menganggap Ical ikut menyumbang kesengsaraan rakyat dengan memicu bencana lumpur Lapindo.

Dus, menurut saya, Jika Ical ingin menambah suara di segment khusus (Guru, Dosen, Petani) tugas yang tidak boleh berhenti bagi tim Ical adalah terus menjelaskan apa yang sudah dilakukan Ical sebagai pertanggungjawabannya pada tragedy Lapindo di Porong. Tugas berat ini akan makin sulit karena tim Ical menganggap kasus Lapindo sudah selesai, sehingga tidak butuh strategi baru, untuk menepis keraguan konstituen Golkar pada pimpinannya. Terlebih lagi, waktu yang kian sempit, membuat Ical menjadi tidak focus pada isu-isu negative yang pernah menjerat dirinya di masa lalu.

Di sisi lain, pertarungan internal juga turut merongrong konsentrasi Ical untuk mendongkrak elektabilitasnya. Dan sekarang, semua kembali pada Ical, akankah dia lebih suka main surat-suratan dengan para guru, atau akan membenahi citra, sehingga persepsi para guru tentang diri Ical akan berubah? ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline