Lihat ke Halaman Asli

Mas Say

Pemuda Indonesia

Menunggu Sanksi Berat Hakim MK oleh MKMK

Diperbarui: 2 November 2023   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : www.kompas.com

Baik dan buruk pada wilayah etik dari personal hakim MK ditentukan dan diputus oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Tolak ukur benar dan salahnya hakim MK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diproses dalam sidang oleh MKMK. Sampai detik ini, MKMK menjalani maraton dalam persidangan di MK. Hasil akhir akan diputus pada tanggal 7 November 2023. Akan seperti apa?. Apakah ketua MK akan dipecat dari jabatannya?. Apakah hakim MK lainnya juga akan terkena sanksi etik?. Sebelum jauh menganalisa soal MKMK, Penulis sedikit flash back tentang putusan MK yang menjadi kontroversial.

Putusan MK

Sejak Maret 2023 sampai adanya Putusan MK pada tanggal 16 Oktober 2023 ada 13 uji materi di MK soal batas umur. Ada 3 diantaranya dicabut oleh Pemohon. Saat pembacaan putusan masih ada 10 uji materi yang diputuskan. Para Pemohon dari Parpol (PSI dan Garuda), kepala daerah dan perseorangan warga negara. Pada awal pembacaan putusan MK, semua ditolak oleh MK.

Pada akhir soal uji materi pada perkara No. 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas warga sekaligus mahasiswa dari Solo. Semua berubah drastis dan di luar nalar. Pada awal pertimbangan hakim MK dari  putusan MK sebelumnya seolah-olah konsisten. Seketika pada putusan MK teraebut terakhir dengan kata "MENGABULKAN SEBAGIAN.....". Ini objek putusan MK yang menggemparkan hukum, demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Kritikan berbagai pihak muncul.

Pada gelombang awal pada 3 putusan MK (PSI, Garuda & Kepala Daerah). Grafiknya OLP (Opened Legal Policy) kuat. Apalagi saat pertimbangan hakim. Soal menafsirkan diskriminasi / tidaknya umur 35 dengan batu uji konstitusi. Dibantah hakim MK. Dengan logika terbalik diskriminasi. Keren saat itu dan berbasis hukum yang rasional dan sehat Masih dalam ruang pertimbangan hakim MK. Walau masih ada yang bersikap D0 (Dissenting Opinion) dan belum ada yang bersikap CO (Concurring Opinion).

Cara berpikir hakim MK mulai goyah ketika konsep OLP dicoba diterobos dengan penafsiran / pengecualian. Hakim MK dianggap boleh menyimpangi dengan alasan konstitualisme bagian tupoksi MK. Berpijak dari 3 putusan MK yang pernah ada sebelumnya. Pelan, tapi pasti pertimbangan hukum yang dihadirkan mulai tampak dipaksakan agar sesuai asas dan dalam koridor hukum.

Goyahnya tambah runtuh saat pertimbangan hakim MK menggunakan asas Lex Posterior. Putusan MK sebelumnya dianggap tidak berlaku lagi. Penalaran pada putusan MK sekarang / terbaru yang digunakan. Dianggap paling kuat. Ini tampak pragmatis. Oportunis atas norma hukum yang tampak dibuat permainan. Mengarah pada pemaknaan Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu bersifat inkonstitusional bersyarat. Ada ketidak adilan soal umur. Dengan penjelasan saat pada amar putusan. Tampak dari sini. Alur pikir hakim terbaca. Ketidak konsistenan mulai nyata.

Ada variasi putusan MK. Dengan komparasi sesuai jumlah hakim dengan 5:4. Jelas menang posisi 5. Ada ketua MK sebagai penentuk kemenangan dengan "Mengabulkan Sebagian". Ada 2 hakim MK alasan berbeda (C.O) dan  4 hakim pendapat berbeda (D.O). Inkonstitusional bersyarat. Agar dipahami. Tetap minimal 40 tahun. Soal umur diserahkan OLP pada DPR. Cuma ada penambahan frasa pada amar putusan adalah kekacauan. Celah dibuat kosong. Hukum yang kosong justru diskriminasi yang dibuat hakim MK.

Mengacu dari sikap D.O yang ada dari 4 hakim MK menarik untuk dikaji dan dianalisa. Hakim MK yaitu W.A mempersoalkan terkait petitum Pemohon. Hakim MK yaitu Prof S.I terkait OLP dan diluar pokok perkara serta kejanggalan saat adanya RPH. Hakim MK yaitu A.H fokus pada pokok perkara dan hakim MK yaitu S mencermati soal tidak adanya legal standing bagi Pemohon.

Kejanggalan yang aneh bermula dari saat RPH tanggal 19 September 2023 terkait perkara No. 29-51-55/PUU-XXI/ 2023 yang dihadiri oleh 8 hakim MK tanpa adanya ketua MK. Hasilnya 6 hakim MK tetap memposisikan norma hukum dari Pasal 169 huruf q UU Pemilu tetap bersifat OLP (D.O hakim MK Prof S.I pada halaman 95-95). Konsep D.O dari Prof S.I sangat lugas dan tegas. Mudah dipahami. Konsisten dan berbasis keilmuan hukum. Tersistematis dan berbasis argumentasi yang logis dan rasional. Berusaha menjaga tatanan sistem hukum. Agar ketatanegaraan tetap pada tempatnya. Sepintas jika Penulis, analisa dari tahap ini saja titik mula keruntuhan paradigma hakim MK yang memilih posisi mengabulkan menjadi tidak ada arah hukumnya. Tidak konsisten. Terkesan dibuat secara serampangan. Berubah dalam waktu singkat. Ada apa?.

Kemudian saat pembahasan perkara No. 90-91/PUU-XXI/ 2023 dihadiri 9 hakim MK termasuk ketua MK dengan pilihan adanya "alternatif". Terpaksa diadakan dengan sidang panel dengan alasan uji materi tersebut telah ditarik dan sehari setelah ditarik diajukan kembali. Pembahasan dilanjutkan pada akhirnya mengabulkan sebagian. Patut menjadi renungan bersama saat ada kekhawatiran soal "beban politik" dan "pusaran politik" (Putusan MK No. 90 halaman 106). Celah dan keanehan ini patut menjadi evaluasi dan perbaikan serta bisa menjadi dasar adanya pemeriksaan secara kode etik hakim MK.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline