Lihat ke Halaman Asli

Faktanya Anak-anak Petani Enggan ke Ladang

Diperbarui: 21 Juni 2021   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petani kampung (minews.id)

Membaca puisi kolaborasinya Genduk dan Simbok di Inspirasiana. Membawa angan saya ke kampung halaman. Di Gunungkidul nun jauh di sana.

Sampai saat kuliah. Setiap mengisi biodata di kolom pekerjaan orang tua. Saya selalu menulis petani.

Jangan bayangkan petani di luar sana yang mempunyai puluhan ribu hektar tanah pertanian. Bapak hanya punya beberapa petak sawah tadah hujan.

Setahun hanya bisa ditanami padi sekali. Wilayah Gunungkidul bagian selatan curah hujannya rendah. Sehingga menanam padi hanya pada puncak musim penghujan.

Selebihnya 'ladang' ditanami palawija. Umumnya adalah kacang tanah dan kedelai. Kalau di kebun diselang-seling di antara tanaman singkong.

Uniknya (barangkali hanya ada di kampung saya) ketika musim tanam. Ketika saya masih sekolah SD. Ada libur pertanian. Harapannya anak-anak membantu orang tuanya mengerjakan sawah.

Sampai sekolah di tingkat SMA. Saya terbiasa pergi ke sawah. Mencangkul, menebar bibit atau menyiangi gulma. Bahkan membawa hasil panenan dengan cara memikul.

Bagaimana dengan anak-anak sekarang?

 Anak Muda Enggan Ke Ladang

Pertanian modern (republika.co.id)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline