Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Toleransi dengan Tepo Sliro

Diperbarui: 25 Desember 2020   20:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wartantt.com

Sedari kecil orang tua saya mengajarkan untuk tidak memilih-milih teman. Tidak membeda-bedakan teman karena faktor status sosial atau agama. Itu pula yang saya ajarkan kepada anak-anak.

Dalam berteman atau hidup bermasyarakat kami diajarkan untuk selalu tepo sliro. Bertenggang rasa terhadap orang lain, terutama yang berbeda agama. Prinsipnya tidak saling mempengaruhi akidah atau keyakinan masing-masing. Jadi sudah biasa bagi kami ngumpul-ngumpul, ngobrol atau saling kunjung dengan orang yang berbeda keyakinan.

Ketika kuliah pas jam kosong banyak teman yang ngetem di kos-kosan saya menunggu jadwal kuliah selanjutnya. Ada di antara teman-teman tersebut yang berbeda agama. Bahkan sampai sekarang saya masih terkenang-kenang. Ketika datang waktu dhuhur atau ashar teman yang non muslim sering mengingatkan saya untuk sholat dulu. Belajar atau ngobrolnya dilanjutkan nanti.

Awal-awal merantau di Jakarta saya sempat lebih satu tahunan ngontrak rumah bertiga dengan seorang teman dari Bali yang beragama Hindu. Tidak pernah ada perselisihan yang menyangkut keyakinan kami. Begitulah makna tepo sliro yang diajarkan orang tua. 

Saling Berkunjung Saat Hari Raya

Setelah berkeluarga kami mengontrak rumah sendiri. Hidup mandiri berdua. Berkebetulan kami bertetangga dengan beberapa orang yang beragama Kristiani. Alhamdulillah kehidupan sosial kami berjalan damai. Tidak ada sekat sama sekali sekali pun kami berbeda agama. Bahkan uniknya setiap hari raya kami bergantian saling kunjung. Pas hari raya Idul Fitri mereka berkunjung ke kontrakan saya. Ketika hari natal gantian kami yang berkunjung ke rumah mereka. 

Agendanya pun sama dengan orang lain. Bersilaturahmi dan makan-makan. Berbincang=bincang lepas. Tidak sedikit pun bicara akidah.

Sepuluh tahun kami bertetangga. Berpisah ketika kami masing-masing dapat membeli rumah. Beberapa keluarga masih belum berkesempatan bisa membeli rumah dan tetap tinggal di sana. Hebatnya kebiasaan kami saling berkunjung tetap terpelihara. Hanya saja kami sepakat bersilaturahmi pada hari kedua. 

Kesepakatan ini kami buat untuk memberi kesempatan masing-masing menjalankan ibadah tanpa terganggu adanya tamu. Ketika hari raya Idul Fitri maka mereka akan datang ke rumah saya tanggal 2 Syawal. Sedangkan kami akan datang ke keluarga mereka pada tanggal 26 Desember. Jadi setiap tanggal 26 Desember seharian saya muter-muter mendatangi mereka satu-satu. 

Begitulah saya memaknai ajaran orang tua tentang tepo sliro. Bertenggang rasa dengan orang lain sekalipun berbeda agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline