Lihat ke Halaman Asli

Mahalnya Memelihara Janda

Diperbarui: 24 September 2020   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pngtree.com

Menyesal sih enggak, namanya juga sudah jatuh cinta, aku hanya merasakan mahalnya memelihara janda.

"Lagian belagu amat. Berani-beraninya pelahara janda", kata temanku setelah mendengar keresahan hatiku.

"Kalo udah seneng gimana si?!", jawabku memiintanya dapat memahami keputusanku.

"Ya tapi akhirnya kamu bingung sendiri kan ?", katanya lagi.

Aku tak menjawab. Pikiran kosongku melayang membawaku ke perkenalanku dengannya. Gegara main sepedaan pada hari minggu kemarin aku langsung jatuh cinta begitu melihatnya. Karena bosen nggowes sepeda di jalnan mulus iseng-iseng aku mencari rute baru melewati kampung-kampung. Mencari suasana baru begitu pikirku.

Jadilah aku keluar masuk kampung yang masih asri. Pepohonan besar tumbuh di sepanjang jalan membuat jalanan terasa teduh. daun-daunan yang hijau rimbun membuat jernih pandangan mata. Udaranya pun masih sangat bersih, bebas polusi. Para warganya pun ramah tamah, selalu menyapa setiap bertemu dengan orang.

Seperti biasa setelah lelah mengayuh sepeda aku mencari tempat istirahat. Bukan untuk melepas lelah si, tepatnya mengisi perut. dari kejauhan aku melihat sebuah warung di bawah pohon beringin besar banyak orang menyantap makanan. Kata orang-orang kalau sebuah warung banyak yang makan berarti makanannya enak. Akupun berhenti dan segera ikut mengantri untuk memesan makanan.

Sebenernya menunya sederhana saja, bubur ayam. Yang membedakan ayamnya adalah ayam kampung yang empuk. Empingnya pun tebel-tebel.  Sate ampela dan atinya enak banget, kata orang-orang yang sudah sering makan di sini yang kutemui selama mengantri. saking enaknya setiap pelanggan bubur ayam ini pasti memesan 2 mangkok sekaligus.

Satu lagi yang jadi daya tarik yang kalian pasti juga sudah bisa menduga, pelayannya. Katanya si orangnya supel dan bisa bikin kesengsem yang diajak ngobrol. Masih menurut cerita orang-orang dia masih kerabat dengan yang empunya tukang bubur. Aku jadi penasaran pengin lihat seperti apa si sang pelayan itu. Tapi aku harus sabar antrian masih panjang banget.

Benar kata orang-orang, hatiku bergetar begitu melihatnya. Senyum di bibirnya manis banget. Bicaranya lembut seakan berbisik di telinga menyusup ke reluung hati. Pantesan orang-orang pada rela mengantri panjang hanya demi semangkok bubur ayam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline