Lihat ke Halaman Asli

Istana di Tengah Sawah

Diperbarui: 20 September 2020   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wordpress.com

Mulutnya tak pernah berhenti berdecak kagum. Tak sedetik pun pandangannya lepas dari orang yang dikaguminya itu.

"Aku harus bisa menarik perhatiannya", katanya dalam hati.

Teman masa kecilnya itu sekarang sudah. sukses, sudah banyak duit pikirnya. Bagaimana tidak, semua orang yang sedang minum kopi di warung ini dia yang menaktrirnya.

Tak kecil yang disangkutkan di pinggag nampak tebal sekali pastilah penuh dengan lembaran uang seratusan ribu, seperti yang barusan dia berikan kepada perempuan yang menyuguhkan kopi kepadanya.

Tangan kiri dan kanannya menggenggam handphone yang kelihatan mahal. Sambil menyeruput kopi tak henti-hentinya menerima telpon atau mengetik percakapan WA. Senyumnya selalu mengembang dan ketawa yang lepas.

Teman bermainnya itu sebetulnya belum lama betul merantau ke kota tapi nasibnya mujur rupanya. Setiap pulang kampung dia mengumpulkan banyak orang dan membayari makan minum di warung kopi.

Tekadnya sudah bulat akan mengikuti jejak temannya itu ke kota.

                       *

"Darsim, ajaklah aku ke kota. Aku pengin mengubah kehidupanku", pintanya kepada temannya itu.

"Tahu sendiri hidup di kampung makin susah. Hasil pertanian sudah tidak bisa diandalkan lagi. Jadi buruh di pabrik dapatnya hanya capek doang", imbuhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline