Pikiranku mengembara padahal ini malam pertama keduaku.
Sudah aku ceritakan atas permintaan bapakku aku menikah lagi untuk kedua kalinya setelah menjanda dua tahun. Kalau pada pernikahan pertamaku aku menikah untuk membalas budi baik orang tua, kini aku bersedia menikah dengan laki-laki pilihan bapak karena aku tidak tega melihat tubuh bapak yang sudah ringkih itu.
Seperti kepada suami pertamaku, kepada suami keduaku ini pun aku tidak saling mengenal sebelumnya. Pun aku tidak mencintainya. Bayangan bakal seperti apa perjalanan rumah tanggaku yang kedua inipun sudah melekat dalam benakku. Bakal kandas di tengah gelombang kehidupan, setidaknya jalannya akan oleng diterjang banyak badai.
Aku hanya bisa pasrah menerima nasib seperti ini. Padahal sewaktu masih gadis dulu aku kepingin membangun rumah tangga dengan laki-laki pilihan hidupku. Aku menginginkan bersanding dengan laki-laki yang bisa ngemong seperti ibu atau laki-laki yang mengayomi seperti bapak yang sangat menyayangiku.
Impian tinggallah impian, kenyataan yang kuterima jauh panggang dari api.
Sejujurnya aku mempunyai seorang laki-laki impian saat ini. Bukan dari kalangan terhormat dan kaya raya seperti menantu impian orang tuaku. Dia dari kalangan biasa saja. Tidak seperti banyak lelaki yang mengejar-ngejarku yang suka pamer kekayaan mobil atau rumah besarnya. Bukan pula seperti banyak laki-laki yang mengajakku makan di restoran mewah.
Laki-laki yang membuatku mabuk kepayang ini hanya seorang karyawan biasa. Umurnya pun lebih muda sepuluh tahun dariku. Kemana-mana kami selalu berboncengan sepeda motor butut. Tempat makan favorit kami pun hanya di warteg. Sekalipun hanya begitu aku merasa bahagia dan nyaman berada di dekatnya. Pengorbanan dan perhatiannya ditunjukkan secara nyata bukan sekedar kata-kata rayuan.
Banyak orang yang tidak percaya dengan cinta tulus kami. Para lelaki yang menginginkan aku menjadi pacar atau istri simpanannya mengatakan aku telah kena pelet pemuda sederhana itu. Sementara teman-teman perempuanku justru menyangka aku memakai susuk untuk memikat brondong itu. Para wanita tetanggaku pun menyangka aku selalu menyuguhkan air putih dari orang pintar untuk menggaet laki-laki pujaanku itu.
Semua impian indah kami buyar ketika bapak memintaku untuk menikah dengan laki-laki pilihannya. Sudah bisa ditebak laki-laki pilihan orang tuaku adalah laki-laki yang kaya raya yang menurut orang tuaku akan memberikan kebahagiaan. Mereka tidak tahu kalau hatiku hancur. Kedua kalinya impianku tak sesuai dengan kenyataan.
Aku semakin kagum dengan laki-laki pujaanku ketika permintaan bapakku ini kusampaikan kepadanya.