Di Indonesia saat ini menganut hukum pidana yang merupakan warisan hukum colonial belanda tentu saja bersifat a-histori karena kehadirannya tidak seiring dengan perkembangan masyarakat pada saat itu. Di keluarkan lah dasar hukum baru yaitu undang-undang .NO1 Tahun 1946 pada tanggal 26 februari 1946, tentang peraturan hukum pidanana, ideologi politik adalah cerminan dari hukum pidana, dari suatu bangsa dimna hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting, karena pandangan politik yang sehat dan konsisten seluruh bangunan hukum itu bertumpu padanya.
Latar belakang dan pentingnya adanya politik hukum itu sendiri karena hukum menjadi satu kesatuan dari politik hukum yang mendasar bahwa hakikat hukum berhubungan erat.
RUU KUHP pun sampai sekarang sudah banyak sekali pembaruan dan mungkin saat ini pun ada yg terbaru.
kalau ditinjau dari perspektif hukum kriminalisasi pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk mengangkat suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana, pada saat kita mau melakukan suatu tindakan pidana kita harus memperhatikan konteks dan tantangan yang sedang tumbuh dalam kurun waktu kebijakan itu dilaksanakan saat RUU KUHP dibuat. situasi ini sudah ada berbagai aturan-aturan baru di rencanakan dan akan diperbincangkan dan dinegosiasikan dengan sangat sengit sebagai usaha untuk suatu kebijakan penanggulangan kejahatan.
Hal ini yang perlu diperhatikan adalah, persoalan tentang menghadapi pilihan-pilihan terhadap segala suatu perbuatan harus dirumuskan sebagai tindak pidana. menyeleksi berbagai arternatif yang ada mengenai yang menjadi tujuan sistem hukum pidana dimasa mendatang dan kemudian dapat menggunakan tindakan represif bagi setiap setiap orang yang melanggarnya.
Menurut Prof. Mardjono ketika merangcan naskah RUU KUHP pendekatan team dalam melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi adalah dengan mencari sentesa antara hak-hak individu selain itu tentusaja menjaga kepentingan politik negara, di dalam salah satu tulisan beliau menerangkan dan mengingatkan kembali pendekatan tersebut dan menyatakan bahwa "hukum pidana harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin akan mengganggu hak dan kebebasan individu tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam masyarakat demokratis modern"
Dari tinjauan ini menemukan bahwa disinikah titik krusial dari criminal law politics yang terkandung dalam naskah RUU KUHP itu, karena sangat tidak mudah untuk membuat seimbang ketiga domain tersebut dengan harmonis jika sintesa ketiga kepentingan ini tidak berhasil dirumuskan dengan tepat, maka sangat besar kemungkinan terjadi "overkriminalization" kedalam salah satu domain KUHP,naudzubillah. sehingga dapat mengancam kebebasan individu akibat adanya "overkrimnalization kedalam ranah "civil libertiecs" tersebut.
Ancaman terhadap "civil liberties" tersebut dalam pemilihan terhadap perbuatan-perbuatan yang dirikiminalisasikan yang sebenarnya sangat berbeda dalam ranah privat, apalagi perbuatan yang diriminalisasikan itu sangatlah cenderung menimbulkan kelebihan dikarenakan terlalu jauh memasuki wilayah yang paling personal seseorang, salah satu contoh adalah mengkriminalisasikan individu yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, kriminalisasi di ranah ini banyak menimbulkan delik yang bercotrak yang sudah banyak di tinggal oleh negara-negara yang demokratis
Selain krimanalisasi ini yang masuk wilayah yang paling personal tersebut RUU KUHP ini juga mengandung bahaya yang akan mengakibatkan terjadinya kriminalisasi bebas berpikir, terutama pada pasal yang mengatur kriminalisasi komunisme itu sendiri .
persepsi ini sangatlah berpengaruh menjadikan hukum pidana sebagai instrument politik negara menghadapi segala hambatan politiknya yang semakin besar didalam pemikiran perancang RUU KUHP padahal kita orang sudah meratifikasi konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik tinjaun kita orang terhadap arah hukum pidana dalam konsep RUU KUHP membaawa kita ke pembahasan politik hukum.
ANALISIS
Apeldoorn Prof. Dr. Mr. L.J
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
Pasal 142 ayat (3) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020