Lihat ke Halaman Asli

Jejak Sejarah Simalungun Pardembanan

Diperbarui: 19 Agustus 2016   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd

Pardembanan merupakan sebuah sebutan merujuk pada etnis Simalungun yang mendiami wilayah Asahan. Kata "pardembanan" berasal dari kata dasar "demban" yang bermakna daun sirih, kemudian dibubuhi konfiks "par-an" sehingga terbentuk kata "pardembanan" yang berarti tempat sirih. Pardembanan pada awalnya adalah nama sebuah desa tua di Kecamatan Bandar Pasir Mandogei yang kemudian berubah nama menjadi Huta Padang. Di tempat ini pada zaman dahulu sangat banyak ditemukan daun sirih dan juga terkenal dengan pusat kegiatan perdukunan. Masyarakat Batak dan Melayu sangat akrab dengan daun sirih, orang Simalungun menyebutnya "demban" dan kegiatan mengunyah sirih dinamakan "marapuran", sedang suku Melayu biasa menyebutnya dengan "menginang". Daun sirih biasa dikunyah dengan campuran gambir, tembakau, dan pinang, tujuannya untuk membuat gigi menjadi kuat dan awet. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, orang Simalungun pada zaman dahulu memanfaatkan sirih untuk beragam kebutuhan di antaranya:
1. Acara pernikahan, daun sirih biasa digunakan sebagai simbol yang menandai sebuah undangan dan setelah berlangsungnya acara pernikahan, mas kawin/mahar (Simalungun: boli/tuhor) selalu diletakkan di atas daun sirih pada piring yang berisi beras.
2. Penyambutan tamu, ketika menyambut kehadiran tamu sirih disuguhkan sebagai tanda penghormatan kemudian sirih tersebut dicicipi bersama dengan dicampur kapur, pinang, dan gambir.
3. Ritual, pada kegiatan ritual yang bersifat sakral, daun sirih biasa digunakan terutama ketika berdoa kepada sang pencipta. Dengan posisi tangan menyembah, daun sirih diletakkan di telapak dan jemari tangan, sirih dilipat dua menutup permukaan atas daun, bagian pangkal daun di ujung jari, dan tulang tengah daun sejajar kedua telunjuk.
4. Obat, daun sirih juga sering difungsikan sebagai penawar.
5. Status, setelah prosesi mangalontik ipon, pemuda atau pemudi diberi dan boleh mengunyah sirih, sebagai pertanda telah memasuki tingkat dewasa.

Masyarakat Pardembanan mengenal sejumlah marga, di antaranya adalah Purba Dasuha, Simargolang, dan Nahombang. Ketiga marga ini merupakan bagian dari masyarakat Simalungun yang sudah sejak lama mendiami tanah Asahan. Pada zaman dahulu sebelum berdirinya Kesultanan Asahan, ketiga marga ini memiliki kerajaan yang berdaulat yang diperintah secara feodal. Di bagian hulu sungai Silou berdiri Kerajaan Panei yang diperintah oleh marga Purba Dasuha yang menguasai daerah Buntu Panei, Air Batu, Air Joman, dan Kisaran. Kerajaan ini diperintah oleh 12 orang raja, Raja Buntu Martabun adalah raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan panei, Raja Na Baruton menjadi Raja Panei yang kelima, Sah Maraja menjadi Raja Panei yang kesembilan, dan Marihat Jawa menjadi Raja Panei yang kesepuluh. Bukti sejarah peninggalan Kerajaan Panei yang masih tersisa adalah sebuah istana yang berada di Dusun V Desa Simpang Buntu Panei, kemudian Batu Paranggiran yang terletak di Padang Makkirei perkebunan Ambalutu Buntu Panei. Istana Raja Panei pertama kali dibangun di daerah Taratak, namun tidak diketahui nama raja yang memerintah saat itu. Kemudian dipindahkan ke daerah Padang Makkirei pada masa pemerintahan Raja Panei kelima yaitu Raja Na Baruton. Pada tahun 1939 salah seorang keturunan Sitorus Pane bernama Raja Idup Sitorus menabalkan dirinya sebagai pewaris Kerajaan Panei dan menjadi raja ke 12, dia mendirikan istana baru di Dusun V Desa Simpang Buntu Panei.

Di sebelah hilir Asahan berdiri Kerajaan Simargolang yang dipimpin oleh marga Damanik Simargolang yang menguasai daerah Tanjung Balai, Simpang Empat, Sei Kepayang hingga Pulau Rakyat. Pusat kerajaan berada di Pulau Raja, adapun raja terakhir yang memerintah kerajaan ini adalah Raja Marlau. Menurut sejarah, marga Simargolang merupakan pecahan dari marga Damanik yang terbentuk sekitar 1.000 tahun yang lalu di masa berjayanya Kerajaan Nagur. Pada mulanya leluhur marga ini mendiami daerah sekitar Danau Laut Tadur yang berada di antara perbatasan Simalungun dan Batubara.

Daftar Raja Simargolang:
1. Raja Simargolang I
2. Raja Simargolang II (dimakamkan di Huta Raja)
3. Raja Simargolang III (dimakamkan di Marjanji Aceh, Kec. Bandar Pulau)
4. Raja Pulau Raja IV (dimakamkan di Pancuran Raja)
5. Raja Pulau Raja V (dimakamkan di Kampung Raja)
6. Raja Pulau Raja VI (dimakamkan di Pulau Raja)
7. Raja Pulau Raja VII (dimakamkan di Sei Berita, Pulau Raja)
8. Raja Marsiha
9. Raja Janggut (dimakamkan di Pulau Sarunei, lalu di pindahkan oleh Raja Nahar ke pangkal Titi Gantung Pulau Raja, pemakaman keluarga Nahar Simargolang)
10. Raja Dohon (dimakamkan di Pemakaman Keluarga Nahar Margolang, Pangkal Titi Gantung Pulau Raja)
11. Raja Pangaruhat (dimakamkan di Kedai Kawat, Pulau Raja).

Situs sejarah dari Raja Simargolang I dan II terdapat di Dusun Dolog Maraja, Desa Lobu Rampah Kecamatan Aek Songsongan dan Raja Simargolang pada keturunan berikutnya sampai ke Kampung Pea atau Kampung Sawah, Desa Marjanji Aceh Kecamatan Aek Songsongan dan di Dusun Pancuran Raja, Desa Rahuning Kecamatan Rahuning, di Kampung Partandanan, Dusun Titi Putih Desa Gunung Melayu Kecamatan Rahuning. Akhirnya pada keturunan ke V sampai ke Kampung Partandaan, Dusun Titi Putih, Desa Gunung Melayu. Kemudian Kerajaan Nahombang diperintah oleh marga Nahombang yang menguasai daerah Bandar Pasir Mandogei dan Bandar Pulau. Di Kampung Parhutaan Gana-Gana, Desa Gonting Malaha Kecamatan Bandar Pulau ditemukan sejumlah patung raja-raja Nahombang dan juga patung Raja Rajipu Nahombang. Selain itu di Gua Silalahi di Bandar Pulau juga ditemukan situs peninggalan kerajaan ini.

Di Asahan demikian banyak nama pemukiman berbahasa Simalungun seperti Buntu Panei, Bandar Pasir Mandogei, Bandar Pulou, Air Joman, Ambalutu, Parapat Janji, Sionggang, Rahuning, Gunung Malayu, Parhutaan Silou, Gunung Berkat (Sim: Borhat), Mariah Gunung, Padang Pulau, Buntu Maraja, Gonting Malaha, Marjanji Aceh (Sim: Asih), Pinanggiripan, Pulou Pulei, Sijabut, Huta Padang, Silau Jawa, Padang Mahondang, Rawang, Bahung, Sibatubatu, Sei Silau, Sei Silou Tua, Silau Maraja, Urung Panei, Silou Laut, Silou Bonto (Sim: Buntu), Silou Lama, Pulou Mariah, Tinggi raja, Piasa Ulu, Ujung Sipinggan, Pamatang Asahan, Pulou Bandaring, Gunung, dan Habokou. Menurut E.M. Bruner (1961), masyarakat Pardembanan adalah kaum migran Batak yang sudah kehilangan identitas, perpindahan mereka ke pantai timur Sumatera Utara terjadi sekitar abad 3 Masehi. Memudarnya identitas kesimalungunan di kalangan mereka terjadi sejak berdirinya Kesultanan Asahan tahun 1630 Masehi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline