Pelarian Mahadewi
Mahadewi menyelinap di antara rimbun dedaunan . Samar sayup gemericik air mengucur dari pancuran bambu, mengalir bening dalam liukan sungai. Rumpun bunga semarak warna putih membingkai tepian sungai. Bebatuan hitam kemilau tertimpa sinar rembulan.
Rimbun dedaunan menebar aroma sejagad malam. Semesta pegunungan dan kabut berarak perlahan. Langit hitam kemerahan sebab purnama tengah berpendar.
Mahadewi merasakan dingin menusuk belulangnya. Kadang tubuhnya sempoyongan dalam gulungan angin dan kabut.
Warna indah dari langit tidak mengurangi gemuruh angin yang membuat perasaannya tercekam, serta jemarinya mengepal. Bibirnya bergetar dan menggigil.
Langkahnya menerobos ilalang di bawah pepohonan besar. Sebuah pondok dengan lentera tua yang menggantung di depannya. Ia butuh kehangatan dari sebuah pondok , mencari kehangatan di larut malam.
Kadang bulan dan bintang terhalangi oleh gumpalan kabut. Kengerian di malam itu membuatnya semakin cepat mendekat ke arah pintu pondok. Berharap seseorang membukakan pintu.Dengan mata membasah berurai air mata , ia berteriak berharap seseorang membukakan pintu.
Angin mulai tidak ramah. Desis dedaunan yang bergerak kian kencang, menciptakan ketakutan. Saat seseorang berwajah teduh membukakan pintu. Mahadewi berlari ke arah pintu, mencari seberkas cahaya dan kehangatan.
"Darimana saja kau Dewi....., angin terlalu keras di luar sana..... ,ayo masuk," wanita berwajah teduh itu mengembangkan senyumnya.
"Ibu....., terimakasih sudah membukakan pintu ini......," seketika ruangan dengan lentera tua itu menjadi benderang.