Kota Bandung sudah jelas kesohor berkat kreatifitas kuliner dan artistik puluhan kafe yang instragamable. Belum lagi belanja-belanja modis , dari produk eksklusif sampai yang murah meriah, semua ada. Belum lagi tetaman bunga yang bikin mata dan hati betah .
Sudah tahu kan pertokoan dan outlet yang menjamur di Bandung. Tapi tidak banyak yang tahu kalau dulu itu sawah-sawah yang bertebaran di Kota Bandung kini mulai tinggal kenang.
Saya pribadi yang lahir dan besar di kota ini, selalu rindu pada hening hijaunya masa lalu Bandung. Bayangkan saja, di jalan Cimandiri yang dikenal dengan Nasi Bakar pertama di Bandung, dulu itu sawah tempat saya bermain. Letaknya kan pas di belakang rumah.
Jalan Suci itu sawah membentang terus sampai ke ujung timur. Batas kota itu hanya sampai Cicadas alias jalan Jenderal Ahmad Yani. Perumahan Antapani belum ada, masih sawah juga. Gegerkalong, Ciumbuleuit , Hegarmanah, juga sawah. Sawah sawah, dimana mana sawah.....
Tahun 1993 setelah sempat tinggal di luar Bandung, saya kembali ke kota yang masih saja sejuk. Lumayan, waktu itu belum ada macet parah pagi dan senjakala. Masih sejuk, pepohonan, bebungaan, dan sawah-sawah tersisa.
Ketika memilih rumah pertamapun , di Bandung Timur, di pinggiran sawah, seperti cincin yang membingkai rumah-rumah mungil. Pagi selalu diwarnai kicau unggas, siang barisan bebek wek wek, lepas senja taburan kunang-kunang bak di negeri dongeng, malam cericit kelelawar dan burung hantu , berbaur lengkingan orkestra jangkrik.
Rumah BTN murah meriah , dipenuhi cantiknya semesta. Yang jarang ada di pusat kota, kekupu segala warna, kumbang, congcorang, belalang, walangsangit, sampai ikan-ikan gabus dan ikan sapu-sapu berenang-renang di saluran-saluran irigasi yang bening.
Rasanya damai sekali. Pagi mengajak bocah menyusuri pematang,petani menggiring kerbau. Benar-benar seru sekali, serasa surut ke masa silam di pedesaan.
Sekarang? Rumah kami bergeser sedikit ke arah pusat kota, meski masih di sebut kawasan pinggiran.
Ada yang hilang.