Pagi itu Senin, pas hari kerja. Bulan lalu, April 2015. Mendadak rekan saya Ibu Etty, seorang guru wali kelas dan Bahasa Inggris di sebuah SMAN favorit Kota Cimahi punya ide untuk melongok Waduk Cirata. Bendungan yang pernah menjadi buah bibir di tahun 1980an. Membendung Sungai Citarum yang mata airnya berada di Gunung Wayang.
Terletak di 3 wilayah, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, juga Kabupaten Cianjur, bendungan ini menggenangi lembah dan pedesaan di tahun 1980an. Bagi mereka yang pernah lahir dan besar di sini, tentunya penuh kenangan. Ketika kampung halaman mereka akhirnya dibebaskan oleh pemerintah. Pepohonan, kebun , rumah-rumah yang ditenggelamkan.
Terakhir penulis bertandang ke Cirata adalah akhir dasawarsa 1980an saat pembangunan tahap pertama belum lama tuntas. Pada masa itu mereka yang tenggelam berperahu kerap diberitakan hilang, padahal tersangkut di dasar bendungan. Karena masih banyak sisa pepohonan dan permukiman di dasar bendungan.
Penasaran juga bagaimana bendungan tersebut setelah puluhan tahun berlalu. Saatnya mencari suasana pedesaan yang kian punah darikota kelahiran penulis , Bandung.
Perjalanan ke Priangan ‘masa lalu’
Rencana siang itu adalah ‘kembali’ ke masa silam. Alam hijau kaya oksigen, kebun sayuran, pohon buah-buahan, rumah-rumah pedesaan ala Sunda, bangunan bilik bambu, tikar anyaman, dan genangan air dimana ikan-ikan segar berseliweran. Lalaban daun segar yang baru dipetik dan langsung direbus.
Keseharian lahir batin yang sibuk, maraton tugas sehari-hari , perlu sesekali diselingi penyegaran. Ibu Etty memutuskan menyetir mobilnya, dan kami berlima, ehm, menumpang. Yang notabene , usia kami ber enam di atas 50 tahunan, kecuali satu orang 45 tahunan. Relatif usia matang.
Meski dalam keterbatasan waktu, rencana dadakan menuju tempat yang jaraknya kurang lebih 60 km dari Bandung sudah bulat.
Jalan yang kami tempuh adalah masuk dari tol buah batu dan keluar di pintu tol Cikamuning setelah KM 116. Kami berbelok ke kanan melintasi jalan Raya Padalarang – Purwakarta. Sekira 20 km, menyusuri jalan berkelok, menuju Cikalong Wetan dan akhirnya ke Cipeundeuy.
Di kiri kanan jalan kerinduan kami akan ‘masa silam’ terobati. Suasana tempo dulu khas Priangan menyambut kami. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu dengan kebun sayur, aneka buah-buahan, dan buah rambutan mengitarinya. Pohon rambutan di sini sangat banyak, dan buahnya, aduhai merah ranum dan sangat lebat. Pantas saja harga rambutan di sini murah meriah.