Lihat ke Halaman Asli

Sinyo

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1

Balikpapan, Januari, 1941

Sirine kota meraung. Seisi kota harus bangun. Semua kuli harus kembali kerja. Sinyo biasa bangun tiap pagi. Nyai sudah pasti bangun juga. Nyai memang punya tugas urus anak Tuan Papi yang mau berangkat sekolah.

“Sinyo, ini makan dulu. Nanti lapar loh di sekolah”

“Bentar, Nyai. Ik ikat dulu ini tali sepatu.”

Aku selalu menurut sama Nyai kalau diurus. Makanya, Nyai suka baik sama. Waktu belum ikut sama Tuan Papi, Nyai pernah jadi urus sinyo-sinyo yang luar biasa nakal atau Noni-noni sombong yang doyan omong pedas. Tak jarang, si Nyai juga dijahili sama sinyo atau noni. Aku tak suka suruh-suruh Nyai. Dari kecil, aku biasa pake baju sendiri.

“Nyai, jam berapa sekarang?”

“Jam tujuh kurang limabelas, Nyo.”

Aku pun habiskan sarapanku. Tak lama ke depan rumah. Kereta yang ditunggu  pun muncul.  lalu hilang.  pergi ke sekolahku. Sekolahku tidak jauh. Di Schoolweg, dekat lapangan BPM. Aku cuma harus susuri Lapangan BPM.

Begitu Aku hilang dari rumah, Nyai kudu urus air hangat buat Papi. Papi biasa bangun telat. Baru pulang subuh tadi. Papi tampak lelah. Maklum, sepulang ronda di kilang, tak lupa, tiap pagi Papi bertempur di atas ranjang sama Nyai. Sebagai bekas serdadu Ratu Singa, Papi juga punya semangat tempur seperti waktu di Marsose dulu. Kehangatan Nyai bikin Papi tambah garang sampai tetes terakhir.

“Nyai. Nyai dimana?”

“Disini, Tuan.”

“Mana Sinyo, Nyai?”

“Ke sekolah, Tuan.”

“Nyai sini dong. Ayo lagi. Lanjutkan!”

“Iya, Tuan.”

Nyai berlari menuju kamar Papi. Sampai pintu kamar, Nyai buka semua yang dia pakai. Jarik, kemben dan apapun yang melekat di tubuhnya.

“Tuan mau bertempur lagi?”

“Iya dong, Nyai. Jelek-jelek gini Ik bekas Marsose.”

Nyai mendekat pada tuannya. Nyai naik ketubuh tuannya yang siap digempur. Nyai gempuri tuannya dengan ciuman. Birahi Papi pun seketika menyala. Seperti nyala srigala waktu bulan purnama. Sebagai lawan Papi pun, Nyai sudah pengalaman juga di segala medan.

Awal mereka bercinta, Papi menyanyikan lagu Manise yang kata manise-nya diganti Marsose. Papi selalu bersemangat untuk hal macam itu. Sementara Nyai menanggapinya dengan girang.

“Marsose..Marsose..kami tetap  Marsose…Biar susah satu gunung…kami tetap Marsose.”

Setelah beberapa bergulat, Papi pun meraih puncak. Dan tetesan terakhir pun di depan mata. Papi lalu menyanyi kecil.

“Kami tetap Marsose!”

“Tuan Papi hebat. Tuan daya tempurnya lama.”

“Aku kan bekas Marsose.”

“Marsose hebat ya, Tuan?”

“Hebat sekali, Nyai. Klewang mereka tajam. Musuh pasti takut.”

“Walau klewang Tuang tumpul, klewang Tuan bikin Nyai klenger.”

Papi tertawa dan memeluk Nyai-nya. Tak lupa Papi menciumi Nyai kesayangannya itu. Nyai yang bikin Papi tak mau punya istri Indo atau Belanda totok. Nyai sudah kasih layanan hebat tiap hari. Entah di meja makan atau di ranjang. Buat Papi, Nyai hebat. Cukup Nyai saja. Tak pakai yang lain lagi.

2

Balikpapan, Febaruari 1941

Emas hitam mengalir ke kota ini. Sultan Kutai di Tenggarong sana beri konsesi buat BPM. Dan, BPM kebanjiran minyak. Lalu kebanjiran limpahan uang juga. Buang kepengen, tapi jutaan Gulden. Ratu Singa pun makin kaya tak terkira. Pangeran boleh jalan pakai baju tampan. Gaun bagus pula dipakai putri di istana. Putri kecil pun bisa main boneka bagus. Itu semua juga atas ongkos dari Bumi Borneo yang kaya.

Demi Ratu Singa juga, ribuan pekerja berkulit agak gelap harus kerja keras. Mereka banting tulang buat isi perut mereka yang lapar. Ada mandor yang awasi mereka. Diatas mandor, ada tuan-tuan kulit putih—perpanjangan tangan alias tangan jauh dari Ratu Singa. Begitulah Raja Singa, tanpa disadarinya, telah menguras isi tanah kayak Borneo dan juga memeras keringat pekerja pribumi.

Siang bolong begitu menyiksa di kota ini. Meski begitu, tetap saja para kuli harus kuras tenaga mereka agar perut mereka terisi. Meski harus duduk lebih rendah dari tuan-tuan Belanda dan para mandornya.  Kalau malas, kuli akan ‘dipuji’ pakai kata

Godverdomme, kowe jadi Inlander. Jangan malas.

Si kuli yang disebut Inlander itu pun cuma bisa bilang, “Baik, Tuan.”

Balikpapan hanya hamparan hutan jika maskapai Belanda bernama Mathilda tak bikin sumur di sebuah hutan di tepi Teluk Balikpapan. Balikpapan mungkin tak akan pernah disebut orang. Mitos seribu papan buat Sultan Kutai yang hanyut dan kembali sepuluh buah ke Jenebora, mungkin tak akan ada yang dengarkan.

Papi jalani tuanya di sebuah kota yang panas di siang bolong bernama Balikpapan. ketika sengat matahari meraja-lela di siang bolong. Papi sudah setahun jadi pegawai di BPM. Papi juga ikut bantu kuras bumi Borneo buat kantong emasnya Ratu Singa.

Rambut Papi sudah pelan-pelan memutih. Umur Papi waktu itu hampir injak kepala empat. Tapi Papi masih gesit. Masa muda Papi yang lewat lalu, dihabiskan jadi soldadu dalam Balatentara Ratu Singa. Waktu muda, Papi yang anak kolong dan tau siapa bapaknya itu, masuk jadi soldadu. Tak lama masuk Kaderschool di Magelang. Lalu Papi jadi Brigadier. Papi pun terus pensiun sebagai Sersan.

Setiap hari, Papi patroli putari kilang minyak BPM pakai PitOnthel. Itulah kerja Papi. Pastikan semua aman. Entah siang. Entah malam. Karena itu, Papi punya banyak pasukan. Para Terrein Baweking berklewang. Mereka selalu ikut apa kata Papi. Tak ada yang berani bantah. Mereka takut sama bekas brigadier Marsose yang jago main klewang itu. Mereka juga tahu, kalau Papi pernah bertempur di banyak tempat.

Rumah Papi tak jauh dari kilang. Tak jauh dari tepian Melawai. Papi tinggal dengan seorang Nyai yang urus rumah Papi. Rumah Papi selalu bersih. Jika pulang ke rumah, Papi tak akan kelaparan di rumah, Nyai masak untuknya tiap hari. Jikalau angin malam yang dingin menusuki Papi, Nyai akan memeluk Papi penuh hangat. Rumah dibikin begitu nyaman oleh Nyai.Papi betah dirumah. Papi sering telat pergi jaga. Gara-gara Nyai juga.

Aku anak Papi dari Nyai terdahulu yang telah lama dibuang Papi entah kemana. Waktu belum ketemu Nyai yang sekarang. Beruntung juga Papi. Dia punya kejantanan tok-cer juga. Sampai bisa bikin sinyo macam aku. Biar kata aku sinyo, tetap saja masih merasa menderita. Sebagai Sinyo, tampangku terbilang bloon. Wajah bloon ini warisan Papi. Laku pendiamku jelas warisan ibunya, warisan Sang Nyai yang dulu dibuang Papi entah dimana.

Aku tak pernah ketemu ibunya. Nyai selalu asuh Aku sedari kecil. Aku lebih dekat sama Nyai ketimbang sama Papi yang jelas-jelas masih ada hubungan darah. Tapi, apa mau dikata. Aku tak mau ambil pusing sama Aku punya Papi. Sebagai anak Tuan Indo, Aku bisa sekolah di sekolah dasar buat anak-anak Eropa. Kata orang Aku beruntung.

Sinyo sudah kelas tujuh. Mau naik ke kelas tujuh. Umur sinyo sudah tigabelas tahun. Kalau lulus ujian, sinyo mau disekolahkan ke Bandung. Ada HBS bagus disana.

Biar kata punya tampang agak bloon, Aku cukup manis buat murid-murid perempuan. Sayang, sebagai Aku terlalu pemalu.  Ester, anak Indo-Ambon suka goda-goda sinyo Sinyo kalau mereka sedang berdua di depan kelas dan tidak ada kawan mereka.

“Nyo, kita pacaran saja. Lihat Johan dan Lily. Amboy nian mereka.”

Aku diam saja. Aku tak suka Ester. Mataku lebih sering melirik Dias. Dias segelintir anak pribumi yang bisa sekolah di ELS Balikpapan. Dias begitu manis. Seperti gula jawa. Manis.

“Tidak, Ester sudah bilang padamu. Aku suka Dias. Dia semanis gula jawa.”

“Anak Inlander itu lagi?”

Inlander juga manis. Semanis gula Jawa, Ester. Pergi sana!”

Aku pilih angkat kaki dari Ester. Mengakhiri pembicaraan konyolnya dengan Ester. Ada banyak anak perempuan Belanda manis yang dikejar kawan-kawan sekelasku. Tapi, dimataku Dias yang termanis.

Aku terlalu nekad juga. Sudah punya wajah bloon,  tetap saja selalu cari kesempatan mendekati Dias. Mulai dari pinjam buku, tanya pelajaran, pinjem potlot atau apa saja. Asal bisa ngobrol sama Dias, hal lain di dunia ini tak penting.

Dias wanita mempesona. Setidaknya pertama yang kulihat dan kukenal dalam hidupku. Mata dan senyum Dias adalah yang paling indah di dunia ini. Hampir tiap malam aku tak bisa tidur. Makin hari, Dias pelan-pelan hidup dalam pikiran dan khayalanku. Dia segalanya.

Bagiku keindahan Dias adalah abadi di hatinya. Aku tak peduli dengan apapun. Aku tak kenal perbedaan, meski itu ada. Banyak hal yang tidak kupahami. Aku tak peduli warna kulit. Meski tiap hari disajikan keangkuhan dan pengagungan orang Belanda. Lalu penistaan Inlander oleh kawan-kawan Belandanya di sekolah.

Aku pilih tak peduli dengan pergaulan orang-orang di perusahaan Papi. Sok necis dan blandis. Duniaku lebih menyenangkan daripada kotak-kotak bangsa yang dibikin Belanda kolonialis. Toch sebagai orang Indo, Aku kadang bingung harus berada di mana? Warna kulitnya lebih dekat dengan orang pribumi tapi atas didikan Papi sang ayah, Aku disamakan dengan Belanda. Aku pun sadar kalau Papi sudah gelijkgesteld. Aku punya status hukum sama dengan orang Belanda.

3

Balikpapan, Maret 1941

Setahun sebelumnya, Balatentara Jerman sudah duduki Negeri Belanda. Di Hindia Belanda, pemerintah kolonial kerahkan banyak orang bersiap untuk perang. Jerman bukan ancaman bagi Belanda. Meski masih belum tampak, sejak lama Jepang adalah ancaman serius buat pemerintah kolonial. Ribuan pemuda direkrut dalam balatentara Hindia Belanda. Bekas serdadu yang sudah uzur pun ditarik kembali. Termasuk Papi. Dia kenakan seragam KNIL-nya.

Papi harus pimpin satu peleton dari KNIL dan Staadwacht. Papi seperti Letnan, meski dia cuma jadi adjudant. Bulan-bulan pertama, pasukan itu hanya latihan baris di lapangan BPM. Mereka lalu diajak latihan di hutan sekitar kota Balikpapan. Papi terasa kembali ke masa lalu. Waktu dia jadi marsose seperti waktu muda dulu.

Sebagai perwira, Papi bawa pistol revolver. Seperti jadi Marsose dulu. Tak lupa Papi juga bawa klewang. Tiap pagi, Papi pimpin baris pasukannya. Ada yang Ambon, Jawa, Minahasa dan lainnya. Tak jarang, pasukannya itu diajak baris susuri Zeestraat. Lewati BPM Hoospital, gedung kotapraja, Pasar Klandasan. Sampai depan tangsi KNIL, pasukan itu balik lagi jalan kaki ke Lapangan BPM. Agar punya semangat tinggi, Papi selalu suruh pasukannya bernyanyi:

Kom wapenbroders, Nederlands zonen’

Door hetzelfde levensdoel verwant’

Met heilig vuur bezield voor het ene

Kom zweert met ons dan deze worden

Die eenmaal onze vaderen zwoeren

Toen vreemd geweld hen zuchten deed

Sudah pasti, pasukan Papi yang berbaris itu pasti jadi tontonan. Dan anak-anak pribumi yang sedang bermain akan berhenti. Setelah pasukan lewat anak-anak kecil dekil yang telanjang bulat itu akan ikut berbaris di belakang pasukan. Mereka baru berhenti ikut baris kalau lelah dan agak jauh dari rumah mereka.

Pasukan Papi mau tidak mau harus siap bertempur. Papi sadar kalau serdadu Jepang akan datang menyerbu juga. Mereka pasti datang. Begitu perhitungan Papi yang hampir separuh hidupnya jadi Marsose. Apalagi Papi bekas sersan yang panjang pikirannya. Karenanya, Papi sang Adjudant, sering ingatkan bawahannya waktu baris dekat lapangan BPM.

“Kowe orang kudu ngerti! Cepat atau lambat itu serdadu-serdadu Nippon pasti kemari. Mereka bukan sembarang musuh. Kowe orang kudu ngerti!”

“Siap, Adjudant!”

“Kitorang kudu siap sedari sekarang. Atau kitorang nanti disembelih kayak kebo! Saya denger kabar, di Manchuria serdadu-serdadu Nippon sembelih banyak orang disana. Kitorang tak boleh lemah sedetik pun. Kitorang tak boleh lemah sama sekali!”

Beberapa perempuan lalu melintas lewati barisan. Beberapa serdadu dalam pasukan Papi kenal sama itu para wanita. Mereka penghuni rumah cinta di belakang tangsi. Serdadu-serdadu itu rajin kesana. Waktu perempuan itu melintas. Mata serdadu-serdadu itu jelalatan lihat perempuan-perempuan itu punya bokong. Papi pun sadar. Bukan KNIL kalau rasanya kalau tak jelalatan macam itu.

“Kalau sama yang seperti itu kalian juga harus hati-hati. Bisa mampus kalian punya ‘barang’! Kalian mau?”

“Tidak, Adjudant!”

“Ingat! Kalian itu balatentara Ratu Singa, jangan sampai Raja Singa bikin kalian tak bisa bertempur lagi!”

“Siap, Adjudant.

“Sekarang bubar. Nanti siang kita latihan berkelahi di sini lagi. Pergi sana!”

Pasukan pun bubar. Ada yang pulang. Ada yang pilih duduk-duduk di atas pohon dulu. Ada juga yang kelihatan terburu-buru. Papi panggil mereka.

“Kamu orang mau kemana?”

“Mau ke tangsi dulu, Adjudant.

“Ke tangsi atau belakang tangsi.”

Serdadu-serdadu itu mesem-mesem.

“Betul kan? Kowe-kowe orang pasti pengen main sama perempuan-perempuan tadi?” Sudah bilang saja!”

Serdadu-serdadu tadi kasih senyum. Papi pun geleng-geleng kepala.

“Kitorang, sebagai Jij punya komandan, tara bisa larang itu Jij punya klewang diam saja lihat perempuan tadi. Tapi, ik tara mau liat jij semua kena Raja Singa! Ingat jij semua harapan Ratu Singa!”

“Siap, komandan.”

“Jangan sering-sering! Kalau kowe-kowe orang cari perempuan biasa en kawin!”

“Siap, Komandan.”

“Sana!”

“Siap, komandan.”

Setelah kasih hormat sama Papi, serdadu-serdadu minggat ke rumah cinta. Mereka bertempur sama perempuan-perempuan yang jual selangkangannya pada mereka.  Mereka akan bertempur sampai lemas disana.

Papi sadar, bukan KNIL kalau tidak main perempuan. Raja singa bisa gerogoti sepertiga balatentara Sang Ratu, karena serdadu-serdadu KNIL doyan bertempur di atas ranjang juga. Banyak serdadu celaka karena sering dapat perempuan pembawa raja singa dalam kelamin mereka. Setelahnya, tumbanglah itu para serdadu tukang jajan itu.

Waktu muda dulu, Papi juga pernah kena. Beruntung tidak parah. Papi sembuh dan mulai pelihara Nyai. Neneng namanya, asli Tangerang. Nyai ini ikut kemana saja Papi dinas. Hingga Sinyo Sinyo lahir dari perut itu Nyai. Setelah Sinyo tak lagi disusui, Papi buang itu  Nyai seperti sampah, karena ketemu Juminten. Perempuan semok asli Tegal.

4

Balikpapan, Awal Mei 1941

Aku sudah hampir lulus dari ELS.  Aku seolah tak peduli sekolahku, aku lebih doyan dengar  Johan Sebastian Bach dan ini ingin sekolah radio saja. Tapi, dasar Papi, Dia suruh ke HBS. Tapi sekolah radio dalam pikirku. Meski tak bergengsi macam HBS. Radio itu heibat. Suka kasih denger aku lagu-lagu klasik. Aku selalu betah berlama-lama di dekat radio Philips bikinan kota Eindhoven, Holland sana.

Suatu kali sehabis makan malam, Aku omong ke Papi.

“Papi, Ik ogah ke HBS.”

“Sinyo, Jij kudu ke HBS, Nyo!”

“Tapi Pap, Ik suka sekolah radio di Surabaya. Papi sudah siapkan semua di Bandung.”

Aku cuma bengong. Tak bisa lagi mengelak, meski Papi sang papi tak berkeras paksa dia punya anak.

“Sinyo, jij bisa lihat banyak gadis disana. Perempuan Sunda cantik-cantik. Jij suka kan? Kalau Jij mau belajar soal radio, nanti saja di Delft Instituut. Papi janji, Nak. Papi mau kamu orang jadi Insinyur.”

Aku pun bengong lagi. Papi tidak salah. Papi juga tidak larang Sinyo belajar soal radio.

“Yah. Ik ikut Papi. Terserah mau Papi saja.”

“Nanti, Papi belikan radio tabung di Bandung. Biar Jij bisa denger Bach en semangat belajar. Papi janji, Nyo.”

Mudah bagi Papi janji kasih hadiah radio. Walau sudah pensiun dari KNIL, tapi gaji Papi dari BPM jelas cukup untuk itu.  Aku hanya menuruti sajalah. Toch  kalau saja nanti di Bandung ada kursus radio, bisa saja Aku ikut-ikutan kursus radio selepas sekolah. Apalagi Papi bakal kasih radio tabung. Philips pula bikinan Holland pula.

“Pap, kitorang lihat saja nanti!”

“Kenapa begitu, Sinyo?”

“Pap, Ik tak tahu, Ik nanti bakal jadi apa?”

“Tapi kan Sinyo bisa coba dulu. Gagal urusan nanti, Nyo.”

“Bagaimana kalau gagal?”

Jij boleh gabung sama KNIL. Jadi Marsose. Jadi Sersan.”

Aku mendadak bengong dengan wajah bloonnya.

“Papi, itu pilihan tak ada enaknya.”

“Itu resiko hidup, Nyo. Yang berhasil akan memilih dan yang gagal kudu rela terima nasib.”

“Bagaimana caranya biar tidak gagal, Pap?

“Jangan terima nasibmu begitu saja! Bertarunglah seperti Marsose!  Mudah sih, Nyo. Tapi sulit dijalankan. Jij pasti bisa.”

“Kenapa Papi yakin?”

“Soalnya Jij punya otak lebih encer daripada otak Papi yang sekolah di tangsi. ”

Waktu menunjuk angka sembilan. Kota Balikpapan masih sepi. Dan jam sembilan adalah waktunya Balikpapan jadi kota mati. Waktunya para kuli istirahat karena esok hari tenaga mereka bakal diperas sebagai kuli BPM. Papi tidak jaga malam itu.

“Sinyo pergi tidur sana. Sudah malam. Besok kowe orang mau sekolah kan?”

“Iya ,Pap. Dag.”

Begitu aku masuk kamar, Papi pun beranjak dari kursi tempat dia duduk. Bukan ke kamarnya. Tapi ke kamar Nyai. Papi lupa lagi sama kamarnya. Seolah ada magnet di kamar Nyai. Magnet yang tarikannya begitu besar buat Papi kalau malam datang.

Malamnya, aku tak bisa tidur. Radio tabung yang bakal dihadiahi Papi berkelana di kepalaku. Hingga tengah malam Aku terjaga. Radio masih berkelana di kepala.

Aku lalu keluar kamar dan pergi ambil minum ke dapur. Aku lewati kamar Nyai. Kamar itu agak berisik malam itu. Desahan suara Nyai terdengar diluar kamar. Lalu Papi buka suara.

“Nyai hebat sekali. Nyai bikin Ik senang lagi malam ini.”

“Tuan yang hebat.”

Begitu kebiasaan Papi tiap malam sampai subuh. Pasti di kamar Nyai. Papi nyaris tak pernah di kamarnya. Papi rada ogah tidur di kamarnya. Bukan melulu perkara Papi suka kamar Nyai yang adem. Tapi Papi butuh kehangatan Nyai.

Aku duduk dalam gelap di dapur sambil minum. Pikiranku tak lagi melayang pada radio tabung yang bakal jadi miliku. Tapi pada Dias. Gadis manis pujaan itu. Seandainya saja suara Dias selalu ada di radio setiap malam dan menyanyikan lagu-lagu cinta. Amore. Amboy rasanya.

Sementara itu, di kamar Nyai, Papi memeluk Nyai dengan hangat. Mereka begitu lelah sehabis bercinta.

“Nyai, Ik sayang sama Nyai.”

“Tuan-tuan yang dulu jadikan saya Nyai juga bilang gitu sama sahaya, Tuan. Sebelum mereka ketemu perempuan Belanda. Begitu ketemu itu Tuan-tuan, kawin sama itu perempuan-perempuan Belanda, saya dibuang. Sampai Tuan temukan saya seperti sekarang.”

Papi tersenyum. Nyai menatap mata Tuan Papi yang begitu teduh dan hangat. Tak kalah hangat dengan pelukan Tuan Papi.

“Kenapa Tuan tidak kawin sama perempuan-perempuan Belanda saja?”

Papi tersenyum.

“Tidak Nyai. Sepuluh tahun ini, Nyai bikin Ik bahagia. Rumah ik jadi damai karena Nyai. Nyai bikin Ik nyaman.”

“Di atas ranjang, Tuan.”

“Dimana-mana, Nyai. Ik tidak malu jalan sama Nyai di Klandasan.”

“Tapi, apa Tuan tidak malu nanti kalau diliat Tuan-tuan Belanda lain. Apa Tuan tidak suka kumpul-kumpul di Sociteit?”

Ik tidak suka sociteit. Membosankan. Cuma dansa-dansi.”

“Kalau Tuan mau dengar, saya senang bersama Tuan. Sejak awal. Tuan tidak pernah marah-marah en galak sama saya. Walau Tuan bekas Marsose hebat kalo perang.”

“Nyai jangan ngada-ngada. Ik ganas.”

“Tuan, ganasnya di ranjang saja kalau sama saya.”

Papi tertawa mendengar canda Nyai-nya. Papi lalu menciumi sang Nyai dengan penuh sayang. Nyai merasa bahagia. Tuan-tuan terdahulu yang dilayaninya tak pernah sehangat Papi.

“Nyai, Ik bakal ditinggal sama Sinyo. Cuma dia satu-satunya anak Ik. Ik tak punya lagi. Kalau dia pergi, cuma Nyai yang Ik temani. Jadi Ik tak mau Nyai pergi.”

“Tuan, jangan takut. Saya masih mau jadi Nyai buat Tuan. Sampai mati pun Nyai rela.”

“Bukan itu yang Ik mau, Nyai.”

“Lantas? Apa mau Tuan?”

Nyai lalu bingung apa yang dimaui Papi. Kehangatan peluk Papi tak bikin Nyai bingung sampai pusing. Selama sepuluh tahun hidup seatap, bahkan seranjang tiap malam, tak pernah Papi bikin bingung Nyainya.

“Ik tak mau ada Nyai lagi di rumah ini.”

“Lantas, Tuan mau buang Nyai?”

Nyai yang buta huruf tak paham arah pembicaraan Tuan Papi. Maklum Nyai orang desa yang sangat lugu. Nyai dalam hidupnya tak merasa perlu jadi orang cerdas. Nyai cuma ingin dicukupi makan dan pakaiannya. Nyai tak begitu butuh sama duit. Nyai Juminten beda dengan Nyai-nyai lain. Begitu pikiran Papi.

Ik mau kitorang kawin saja.”

“Apa saya pantas, Tuan?”

“Tak ada kata pantas dan tidak pantas lagi, Nyai.”

“Tapi saya mandul Tuan.”

“Itu bukan masalah, Nyai. Ik sayang sama Jij, Nyai. Nyai mau kan?”

Nyai sekarang diantara bingung dan senang. Nyai merasa bahagia dengan pinangan di atas ranjang itu. Malam itu begitu indah buat Nyai. Ternyata Papi luar biasa sayang padanya. Sampai-sampai ini Nyai mau diperistri. Lantas ini Nyai, besok-besok tak lagi dipanggil Nyai. Lantaran sudah jadi istri resmi Papi.

“Tuan, Nyai tak tahu harus bilang apa? Nyai tak pernah berharap dan minta ini pada Tuan.”

“Sudahlah, Nyai. Pikirkan saja dulu. Tak usah Nyai buru-buru. Ik takut kalau Nyai buru-buru. Kasian kalau Nyai tidak sayang sama Ik.”

“Selama sama Tuan, Nyai tak pernah pikirkan laki-laki lain. Laki-laki dalam hidup Nyai cuma Papi yang jadikan saya jadi Nyai saja. Tidak ada yang lain.”

Ik sayang sama Nyai.”

“Nyai sayang sekali sama Tuan.”

Mereka lalu berpelukan. Mereka bercinta lagi. Nyai asli Tegal dan Marsose tua itu bertempur diatas ranjang lagi. Sampai puas. Sampai lemas hingga pagi datang. Sementara di luar kamar, Aku yang sedari tadi bengong bayangkan Dias tanpa sengaja dengar percakapan orang dewasa itu. Aku tak ada masalah sama isi percakapan tadi.

Bagiku siapa pun Nyai, dia adalah orang yang penuh perhatian padaku. Nyai baik padaku selama ini. Soal perkawinan yang bakal terjadi itu, itu urusan Papi sama Nyai. Bukan urusan Aku sama Papi. Kalau Nyai bisa nyaman sama Papi itu hak Nyai. Sebagai perempuan paling dekat dengan Nyai, Aku juga ada sedikit rasa sayang sama Nyai layaknya anak pada Ibu.

5

Balikpapan, Akhir Mei 1941

Ujian baru saja selesai. Sinyo punya waktu banyak buat santai. Seharian, sinyo bisa plesir. Ke Klandasan, Kampung Baru, Manggar atau ke daerah sekitar Balikpapan. Tapi, paling banyak Aku ikut patroli bersama Papi keluar-masuk hutan di sekitar Samboja. Terpikir dalam kepala mereka, balatentara Nippon bakal masuk lewat Samboja.

Sebagai anak adjudant yang ikut patroli, Aku dibekali Papi pistol. Sementara Papi bawa karaben. Kami gentian tukar senjata. Aku lebih suka pegang karaben. Macam serdadu betulan. Tak jarang kami berburu payau. Papi biasa ajari Aku membidik dan menembak pakai karaben Mauser bikinan Jerman itu.  Tapi, rasanya Aku tak berbakat jadi penembak. Butuh banyak waktu biar bisa menembak dengan betul.

“Serdadu bukan duniamu, Nyo. Jadi yang lain saja.”

“Tentu saja, Pap.”

“Kau harus jadi insinyur, Nyo,”kata Papi sambil tepuk pundak Sinyo.

Meski tak merasa berbakat menembak, Aku suka sekali keluar masuk hutan. Satu kali rombongan patroli kami ketemu beruang madu. Seorang serdadu lepaskan tembakan. Aku pun tarik pistol dari sarungnya. Karaben dibawa Papi. Heran, aku tak lari. Aku  malah bergerak mendekat bersama serdadu. Aku juga ikuti mereka tembak itu beruang. Itu beruang terus berlari tanpa arah. Tembakanku akhirnya kenai kaki beruang setelah aku membidik agak lama. Seorang serdadu beri tembakan terakhir tepat di mata itu beruang. Dan beruang pun roboh.

Aku cuma bengong kayak orang bloon lihat itu beruang tewas terkapar. Beruang itu binatang hebat. Dia hewan berani dan terlihat manis. Tapi, serangan beruang adalah mematikan. Beruang bisa berlari. Soal makan, beruang tak kesulitan. Beruang bisa makan buah atau apa saja. Tapi, hewan ini begitu manis juga. Dias akan tersenyum melihatnya. Beruang madu memang lekat pada Balikpapan.

Papi panggil Aku dan berjalan bersama pulang ke kota Balikpapan. Kami ngobrol sepanjang jalan pulang.

“Nyo, Papi salah kira sama Jij. Jij punya bakat jadi serdadu. Celaka.”

“Celaka kenapa, Pap?”

“Nyo, jangan jadi serdadu. Papi tidak mau! Cukup Papi saja, Nyo.”

“Papi tenang sajalah.”

“Nyo janji ya?”

“Iya, Pap. Tenang saja.”

Minggu-minggu terakhir di Balikpapan itu pun mengeratkan aku sama Papi. Kami lebih sering bicara dari biasanya. Di rumah, biasaya kami belum tentu bisa duduk bareng dan bicara apapun. Sampai rumah kadang, Aku sudah mendengkur dan Papi biasanya juga ngantuk dan terkapar di kamar Nyai. Beruntung, patroli sedikit bikin kami saling bicara. Ajaib.

“Nyo, Papi minta satu hal lagi.”

“Apa itu, Pap?”

“Jangan mau kalau ada suruh jadi serdadu.”

“Iya, Pap. Tapi bagaimana kalau terpaksa?”

“Cari cara kabur, Nyo. Desersi. Nyo kan bisa lari masuk hutan.”

“Gila. Papi kan tahu, hutan Borneo serem.”

“Memang. Dari luar gitu, Nyo. Tapi, kalau Nyo masuk ke dalam dan bisa baik sama orang-orang Dayak disana. Mereka bisa jadi teman. Perempuan disana cantik-cantik, Nyo. Putih. Manis.”

“Apa betul, Pap?”

“Papi tidak ngibul, Nyo. Asal Nyo tahu, perempuan Dayak cantik-cantik, Nyo. Waktu Nyo belum “dibikin” dulu. Waktu Papi, masih se-bloon sinyo.”

“Maksud Papi, waktu masih jadi Marsose kan?”

“Iya. Waktu dulu.” Papi berhenti lalu lanjut lagi.

“Nyo boleh menang bloon di tampang tapi tidak di otak.”

“Ini muka bloon kan dari Papi. Mereka tukang makan orang, Pap?”

Papi cuma bisa cengir kuda dengar omonganku yang super kurang ajar itu. Tapi tidak marah karena Papi amini omonganku tadi. Dirinya memang bloon di muka.

“Pap, cantik mana? Perempuan Bugis atau Dayak?”

“Sama saja, Nyo. Banyak perempuan cantik di dunia ini. Kalau Nyo sudah besar, nanti masalah Nyo bukan lagi ada perempuan cantik atau tidak. Tapi, ada tidak yang perempua yang mau sama Nyo?”

“Kenapa Papi bilang gitu?”

“Coba Nyo ngaca? Apa ada perempuan nyantol sama muka Nyo yang super bloon itu?”

“Ahh Papi. Jawab Pap? Bugis atau Dayak?”

“Papi ulang lagi, ya. Mau Bugis. Mau Dayak atau yang lainnya. Itu semua kembali sama Nyo. Tergantung bagaimana Nyo punya perasaan sama perempuan. Kalau ada gadis Dayak yang bikin Nyo kepingcut, Nyo pasti mau bilang gadis Dayak cantik.”

“Mami cantik, Pi?”

“Mami kamu turunan Banten. Buat Papi dia manis.”

Papi agak kurang bersemangat bicarakan soal ini. Papi diam. Aku juga. AKu segera menerawang. Sudah biasa para Nyai tinggalkan anaknya yang dilahirkannya ketika dapat Tuan yang baru. Tapi aku paksakan lanjutkan pembicaraan lagi.

“Bagaimana sama Nyai di rumah, Pap?”

“Dia pribumi yang cantik juga.”

Papi merasa pertanyaan Nyo agak menampar. Papi jadi kecut. Dan Sinyo tak bisa membaca wajah ayahnya.

“Mami kemana ya, Pi?”

“Entahlah, Nyo. Nasib Nyai seperti budak. Mereka bisa dibuang kapan saja sama Tuannya.”

“Nyai yag lahirkan aku Papi buang?”

Papi makin kecut dan merah mukanya. Papi tak bisa mengelak. Toch Aku akhirnya akan tahu juga cepat atau lambat. Papi pun berhenti melangkah dan terpaksa buka mulut.

“Iya, Nyo. Dulu waktu di Semarang, Papi pulangkan dia ke Tangerang.”

Sinyo pun mendadak kesal pada papinya.

“Pasti karena Nyai di rumah lebih cantik ya?”

Papi pun dibuat kecut lagi. Sementara aku semakin kesal. Papi tak berkutik dan tak bisa bertindak kasar. Mereka lalu berjalan cepat. Kami jadi tak lagi akrab. Mereka tak bicara lagi sampai di rumah. Aku jadi malas bicara pada papinya selama beberapa hari. Papi tak bisa marah dan kesal padaku. Papi merasa dia telah berlaku semena-mena pada Nyai yang melahirkanku. Papi pun sesali perbuatannya.

6

Balikpapan, Awal Juni 1941

Nyai, bagiku tetap saja perempuan malang. Nyai biasa dicampakkan. Sudah nasibnya, para Nyai memang akan dicampakkan juga akhirnya oleh Tuannya. Ada banyak, mungkin ratusan tuan-tuan berkulit putih dan Indo, punya atau pernah punya Nyai di Hindia Belanda.

Ada beberapa Tuan yang punya Nyai juga di Balikpapan. Termasuk Papi. Juga tetanggaku, atasan Papi. Tuan Belanda ini punya Nyai yang masih muda. Tak semontok Nyai di rumah. Nyai di rumah Tuan Belanda itu langsing.

Di rumah, aku makin sering termenung. Nyai tak berani bertanya. Setelah aksi bungkamku yang beranjak ke hari kedua, Aku mulai mau ajak Nyai bicara. Aku datangi Nyai dia tersenyum ramah.

“Ada apa, Nyo?”

“Nyai, maaf?”

“Iya, Sinyo mau apa?”

“Nyai, kenapa harus ada perempuan malang sepertimu?”

“Tuan butuh perempuan yang urus rumah.”

“Cuma itu?”

Nyai pun agak malu-malu bicara.

“Buat teman di ranjang juga, Nyo?”

“Apa jadi Nyai itu buruk?”

“Nyai bingung mau bilang apa? Nyai tidak tahu, Nyo.”

“Kenapa orang-orang Belanda pilih Inlander macam kalian buat teman di atas ranjang?”

“Mungkin karena perempuan-perempuan Belanda yang ada buat ditiduri sedikit. Sementara terlalu banyak laki-laki  di Hindia. Mereka tak bisa tahan mereka punya birahi.”

“Ada orang pernah bilang, jikalau derajat Nyai yang inlander itu rendah.”

“Nyai tidak tahu soal derajat. Nyai tahunya cuma layani Tuan Papi da Tuan Sinyo dimana saja.”

Nyai tak mengerti apapun soal derajat. Seumur hidupnya, dia hanya merasa jadi orang yang harus layani orang yang membawanya. Seperti budak.

“Apa Nyai rela tiap malam ditiduri Papi?”

“Nyai harus penuhi apa yang Tuan mau. Termasuk di atas ranjang.”

“Itu bukan kutukan buat Nyai?”

“Itu bukan lagi kutukan. Itulah hidup Nyai.”

“Nyai pernah punya niat buat pergi?”

“Tidak pernah, Nyo.”

“Kenapa?”

“Hidup Nyai tergantung sama Tuan.”

“Kenapa gitu?”

“Nyai merasa tidak bisa hidup sama Tuan.”

“Tergantung?”

“Tuan selalu kasih Nyai makan, pakaian dan perhiasan. Nyai suka. Nyai dulu orang miskin. Nyai dijual sama orangtua Nyai waktu seumuran Sinyo.”

“Nyai terima saja.”

“Ya terima saja, Nyo. Nyai tidak mau orangtua di kampung susah.”

“Mereka masih ada.”

“Sudah tidak ada lagi. Sudah habis semua. Nyai tidak punya siapa-siapa lagi.”

“Apa Papi baik sama Nyai?”

“Papi itu Tuan yang baik.”

“Papi tidak pernah jahat sama Nyai. Dulu waktu Nyo masih bayi, Papi sudah perhatian sampai sekarang. Pernah Nyai di kasih perhiasan. Papi bilang karena Nyai sudah jaga Nyo.”

“Nyai Juminten suka jadi Nyai?”

“Itu lebih baik daripada jadi ca bau. Nyai gak usah layani laki-laki hidung belang. Kalau jadi Nyai enak, tinggal di rumah bagus. Kalau ca bau tinggal di bedeng-bedeng bambu yang kumuh. Untung Nyai tidak pernah jadi ca bau.

“Kalau Nyai punya piihan, Nyai mau jadi apa?”

“Nyai kan cuma Inlander, tuan Sinyo. Nyai tak boleh memilih. Nyai itu diambil, dijadikan pelayan, lalu dibuang kalau Tuan bosan.”

“Jadi, Nyai harus terima apa saja yang Nyai dapat?”

“Betul, Nyo.”

“Bagaimana kalau Papi buang Nyai?”

“Nyai hanya bisa pasrah Tuan Sinyo.”

“Tidak adil juga.”

Aku hanya munggat-manggut dan berusaha mengerti. Tapi agak sulit juga kupahami sebagai bocah ingusan itu. Hidup begitu rumit untuk dipahami. Jadi Nyai itu tidak menyenangkan.

Aku lalu berjalan nikmati hari-hari yang mulai makin sulit kupahami. Tiap orang punya hidupnya masing-masing. Ternyata, ada manusia yang dalam hidupnya tak boleh memilih. Sedih sekali jika kita bisa memilih dalam kidup kita.

Aku pun lalu termenung di bawah sore. Tepat di tepian Melawai. Menyaksikan hilangnya matahari. Dan menjumputi sisa-sisa hangatnya matahari. Itulah indahnya sore. Kulihat langit sambil tiduran diatas pasir. Ini sore, tetap indah bagiku. Hidup menyisakan hal membahagian dibalik kerumitannya. Meski susah hampir semua orang pilih terus hidup.

Aku merenungi sore. Aku sempat merasa ini sore terakhirku. Tidak juga, aku akan akan alami sore yang lain. Di Balikpapan, di Batavia, di Amsterdam dan lainnya, sore selalu singgah kesana juga. Seperti orang yang kunjungi semua tetangganya satu persatu waktu Natalan atau Lebaran.

Sore berkelana tanpa pernah memilih. Itu jelas, karena sore bukan manusia. Aku manusia, jadi aku memilih. Tak memilih dalam hidup pun juga pilihan. Memilih tidak memilih juga pilihan seperti Nyai juga pilihan. Aku akan tentukan hidupnya sendiri. Tidak hanya nanti, sekarang pun Aku sudah dihadapkan banyak pilihan dimana harus memilih. Ikut kemauan Papi ke HBS Bandung juga pilihan, walau bukan pilihan sejati. Tapi tentu akan ada pilihan lain lagi besok-besok. Pilihan yang memang sejatinya pilihanku.

7

Balikpapan, Pertengahan Juni 1941

Dias masih tetap sama dalam hatiku. Manis. Begitu indah seperti sore. Dias begitu pemalu. Namun, diwajahnya tersimpan berjuta keceriaan.  Aku selalu punya ruang begitu luas dan dalam untuk dia di hatinya. Dias, juga salah satu alasan besar bagi Aku kenapa tiap hari harus pergi ke sekolah.

Saat-saat bersama Dias adalah saat menyenangkan. Selesai ujian hari terasa begitu pendek. Semua berjalan begitu cepat dan indah. Tak ada pelajaran. Artinya, tak perlu banyak mikir. Cukup pandang Dias saja, maka dunia pun indah.

Sekolahku tidak banyak murid. Ada 20 murid di kelas. kebanyakan laki-laki, yang biasanya nakal. Aku satu diantara mereka juga. Tapi, Hans si Belanda totok paling badung. Dia pemimpin kami.

Bersama Hans dan lainnya, kami biasa duduk dibawah pohon mangga yang sedang tidak berbuah. Kalau berbuah, sudah pasti kami sikat. Maklum Sinyo-sinyo nakal. Dibawah pohon mangga mereka biasa ngobrol apa saja. Termasuk gadis-gadis yang jumlahnya bisa dihitung jari. Tiba-tiba kami obrol soal kepergian kami.

“Nyo, kapan kowe berangkat?”

“Bulan depan, Hans.

“Kitorang bakal rindu sama Jij, Nyo.”

“Tenang, Ik bakal pulang lagi ke kota ini.”

“Iya, kitorang semua tahu kalau Jij orang pasti mau pulang ke ini kota.”

Semua sepakat dengan omongan itu kawanku. Dalam kepala mereka, tinggal saja di Balikpapan adalah hal menyenangkan.

“Kitorang semua memang sayang sama ini kota. Balikpapan. Apa kitorang pantas kalau kitorang ngaku-ngaku diri Balikpapaner?”

“De Balikpapaner, Nyo.”

Sinyo pun bertanya pada kawan-kawannya.

“Apa yang asli dari sini?”

“Ini kota tara punya penduduk asli.”

“Iya. Orang-orang Pasir itu tinggal jauh diseberang laut sana. Di Balikpapan lama.”

Dua kawan jawab pertanyaanku dengan mantap. Meski mereka tak pernah tahu siapa sebenarnya yang pertama kali injak dan bikin rumah di Balikpapan.

“Apa mereka kudu lahir di kota ini?

Aku jelas bukan kelahiran Balikpapan. Aku terlahir di sebuah tangsi kota Cimahi. Baru injak Balikpapan waktu umur enam tahun dan langsung sekolah di ELS.

“Tidak juga, Nyo? Buat siapa saja yang sayang sama ini kota.”

“Iya. Betul. Tak semua orang yang hidup di kota ini, terlahir di kota ini.”

“Betul. Ini kota punya kita semua. Punya Balikpapane,” Jawab Hans mantap.

“Bagaimana kalau, serdadu Nippon nanti datang?”

“Tenang, kan ada Jij punya Papi. Bekas Marsose pasti bisa lawan.”

“Kata Papi, Nippon itu ganas.”

“Ganas gimana, Nyo?”

“Mereka sembelih banyak orang di Tiongkok.”

“Gila. Apa mungkin kita disembelih juga.”

“Bisa jadi.”

“Godverdomme.”

Seorang kawan yang Belanda totok, tapi tidak popular pun angkat bicara.

“Nippon pasti cari simpati dari para Inlander.”

“Bisa jadi.”

“Bisa jadi Inlander-inlander bakal bantu serdadu-serdadu Nippon.”

Inlander memang hina. Mereka bodoh. Mereka juga keji karena mau bantu serdadu Nippon.”

Sinyo hanya diam Dias lalu melintas. Si Belanda totok yang bicara itu juga melihat.

“Lihat ada gadis Inlander lewat. Dasar Perempuan Inlander. Turunan tak beradab.”

Aku marah lalu memaki kawannya itu dan menyerang wajah si Belanda totok itu.

“Godverdomme. Jij jangan gitu!.”

Si Belanda totok balas memaki dan berusaha bertahan dari seranganku.

Jij punya darah juga kotor. Jij turunan Inlander.”

Semetara itu beberapa kawan lain menyoraki. Termasuk Hans si Badung. Setelah agak lama salah satu dari mereka berusaha memisah. Akulalu mundur. Aku tampak  puas. Si Belanda totok yang kena serang pun memaki lagi.

“Pergi sana sama Inlander jalang itu.

“Ingat! Jij bakal menyesal,”kataku.

Belanda totok itu tampak senang bisa hina orang. Tuhan begitu adil. Menciptakan orang mulia, orang hina dan tukang hina orang lain juga. Dan, hari ini aku senang bisa pukul wajah itu orang tukang hina. Tak perlu pakai otak dan kecerdasan untuk orang macam itu. Cukup pakai otot, itung-itung olahraga.

Aku lalu berlari ke arah Dias. Baju sinyo agak berantakan karena berkelahi. Aku puas dan merasa jadi laki-laki sejati. Dias hentikan langkahnya.

“Hai,”sapaku.

“Jadi Inlander itu hina,”kata dia dengan memendam kepedihannya. Aku jadi bingung.

“Tidak ada yang hina.”

“Tapi, dimata kaummu, Inlander itu hina.”

“Aku tidak punya bangsa, Dias.”

“Kamu juga Belanda, Nyo.”

“Papi bawa aku buat Gelijkgesteld, biar sama seperti orang Belanda. Tetap saja aku bukan Belanda. Aku juga bukan Inlander. Dias, aku tak mau mereka hina kamu.”

Aku cuma diam menatap mata sendu Dias. Amarah tersimpan dalam wajah Dias, namun ditahan. Amarah tak terluapkan karena dirinya terlahir jadi pribumi yang disebut Inlander. Aku lalu berjalan di sisi Dias. Menuju bagian dari sekolah.

Kami jadi lebih sering berdua. Aku asingkan dirinya dari kawan-kawan badungnya. Aku pilih bersama Dias. Dan Dias tak begitu risih padaku yang bloon ini. Mereka hanya numpang dengar radio atau baca novel dari penulis kela dunia—macam Count of Montecristo, Tom Sawyer, Winnetou dan lainnya. Begitulah hari-hari terakhir kami lalui.

8

Balikpapan, Juni 1941

Aku semakin betah bersama Dias. Tapi waktu kami tak lama lagi. Tinggal beberapa hari saja. Begitu Aku dinyatakan lulus. Papi percepat keberangkatanku. Karena kebekuan hubungan kami. Hubungan kami makin tidak sehat. Aku masih puasa bicara pada Papi. Aku hanya di rumah kalau malam. Pagi di sekolah sore hanya duduk di tepi pantai bersama buku pinjaman dari sekolah.

Aku hanya puaskan diri bersama Dias dibawah pohon itu hari-hari indah. Sehari sebelum berangkat, Aku makin gelisah. Ada yang berlebih di hati Aku. Siapa lagi kalau bukan Dias. Aku makin bingung.

Akhirnya, Aku pergi ke toko buku di Klandasan. Membelikan sebuah novel, Max Havelaar. Aku cepat-cepat pulang. Aku menulis sebuah pesan:

“Pada: Dias. Ini novel bagus. Aku pernah baca sebelum novel ini hilang dari rak buku sekolah. Dias, kau bukan Inlander. Salam hangat, Sinyo.”

Buku dan kartu berisi pesan singkat itu pun dibungkus. Selesai itu, Aku pinjam pitonthel Papi. Aku luncurkan sepedanya  susuri Jalan Minyak yang tidak terlalu panas. Maklum hari sudah sore.

Aku sampai juga di daerah Kampung Baru. Sebuah perkampungan Bugis-Makassar tertua di Balikpapan. Orang Bugis-Makassar yang baru datang dari Sulawesi Selatan menetap disana dan pelan-pelan rumah-rumah mereka mendekati Kilang BPM di sekitar Kebun Sayur.

Aku tak pernah tahu dimana rumah Dias. Aku clingak-clinguk kesana kemari. Seperti mau curi jemuran.  Sore masih terasa. Tiba-tiba Aku ingat toko roti. Aku pun kesana kemari cari toko roti. Sampai depan toko roti, Aku tanya seseorang dan ketemulah itu rumah Dias. Aku masuk pekarangan sebuah rumah khas Bugis. Sepeda dituntun.

“Hai. Ini buat Dias.”

“Terimakasih. Apa ini, Nyo?”

“Nanti juga Dias tahu sendiri.”

“Terimakasih, Nyo.

“Dias, jangan pernah merasa Inlander lagi.”

Dias terdiam. Adik-adik Dias tiba-tiba ikut bermain. Anak kecil tidak bisa diam jika lihat kakak mereka didatangi orang terkasih.

“Dias, rumah kamu bagus.”

“Ini rumah Nenek. Rumah Bugis.”

“Dias bangga jadi orang Bugis?”

“Ya. Lebih bangga daripada jadi Inlander.

“Baiklah. Dias bukan Inlander.

“Iya. Tapi sulit, Nyo. Nyo tidak pandang Ik Inlander. Tapi bagaimana orang lain?”

Aku mendadak bengong.

“Tak usah dipikir, Nyo. Semoga ini ada akhirnya. Jika pun tak berakhir, semoga ini tidak menyakit bagiku.”

Disapa Inlander memang sakit. Meski tak dicap Inlander, Nyo bisa rasakan jadi Inlander tak enak. Gajinya lebih rendah daripada totok. Pemerintah kolonial memang gila. Seperti orang Arya yang kuasai di masa kuno dulu. Mereka bikin kasta biar dipandang tinggi. Begitulah penjajah. Dan yang terjajah hanya terima nasib karena merasa nyaman dengan kebodohan.

“Dias, aku harus katakan sesuatu.”

“Apa itu?”

“Ini begitu konyol.”

“Bilang saja.”

“Aku minder padamu. Aku suka kamu.”

Dias terdiam. Aku yang merasa tak perlu jawaban lalu kayuh sepeda dinas Papi untuk pulang. Dias terus terdiam sampai Aku menghilang dari matanya. Dias tak tahu harus bilang apa saat itu. Aku juga tak pernah tahu, Dias harus diapakan.

Aku mengayuh sepedanya dalam kehampaan. Ada kehampaan diri yang tak mungkin diisi apapun juga. Ada ruang yang seharusnya namun tak mungkin terisi. Sore terasa agak menyiksanya kala itu. Setelah taruh sepeda depan rumah, setelah itu ke tepian Melawai. Aku bernaung di bawah senja.

Kehampaan sore masih tersisa. Aku bingung, ingin menangis tapi tak bisa. Tak bisa menangis adalah kutukan tak terelakan bagi kaum lelaki. Laki-laki dikutuk tak boleh menangis sampai akhir jaman.

Dias, mahluk Tuhan paling mempesona. Seolah tak ada yang menandingi. Perempuan mungil ini jadi penghuni utama hati dan pikiranku. Aku tiba-tiba teringat Tuhan.

“Ya Tuhan ini menyiksaku. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku tak bisa menolaknya dari hidupku. Dia begitu indah. Jikalau boleh aku bertanya, kenapa pula Kau ciptakan dia.”

Aku berasa ingin menangis.

“Kenapa dia harus hidup dan merongrong hatiku? Kau seperti menciptakan dia untukku. Apakah hanya sekedar menyiksaku seperti ini.?”

Aku tak kuasa menahan sedih. Tetap saja Aku sulit menangis.

“Ataukah Kau ciptakan dia agar dia jadi milikku? Tuhan terimakasih telah menyiksaku seperti ini.”

Aku nyaris bermalam di tepian Melawai. Nyai datang hampiri Aku.

“Nyo, makan dulu.”

“Nanti saja, Nyai. Aku masih mau disini.”

“Sinyo kenapa?”

“Tidak ada.”

“Sinyo pasti lagi jatuh cinta?”

Aku segera tampak pasang muka bloon lagi. Tebakan Nyai benar juga. Aku tak bisa sangkal sedikit pun. Aku pun cuma bisa diam. Nyai masih menunggu. Aku pun beranjak ke rumahnya. Tak jauh dari tepian. Hanya 50 meter saja. Rumah sedang sepi, tak ada Papi. Hanya ada Aku dan Nyai di rumah. Sambil makan Aku pandangi seisi rumah. Sudah belasan tahun Aku tempati rumah itu. Esok Aku harus pergi.

9

Balikpapan, Akhir Juni 1941

Sirine meraung lagi. Pukul 06.00 lagi di Balikpapan. Kapal KPM tujuan Tanjung Priuk sudah menunggu. Aku sudah di Pelabuhan sama Papi, juga Nyai. Papi benar-benar sayang pada Nyai. Begitu yang Aku rasakan. Itu lebih baik.

Tak ada yang salah dalam diri Nyai, kecuali dia Inlander. Bagi Aku, ini mungkin salah Tuhan. Seperti halnya Tuhan telah turunkan Dias. Ini jaman kolonial. Kasta-kasti ssecara keji diciptakan. Agar ada yang sadar kalau dirinya adalah pesuruh. Juga agar orang yang jadi penguasa bisa semena-mena. Nyai dan Dias, bagi Aku adalah dua contoh berbeda dari pada Inlander malang di Nusantara.

Aku tak mau banyak bicara. Di Pelabuhan, Aku pilih diam saja. Ketika rombongan akan pergi masuk kapal, Aku baru pamit.

“Pap, Ik pergi.”

“Hati-hati, Nyo.”

“Nyai, baik-baik ya di sini.”

“Iya, Nyo. Sinyo juga baik-baik saja.”

Setelah itu Aku mulai melangkahkan kaki ke kapal. Dimana banyak orang berdesakan masuk kapal. Baru melangkah beberapa meter. Papi tersadar dia melupakan sesuatu, Sebuah kotak tak terlalu besar. Sebuah bungkusan.

“Nyo, stop dulu.”

Aku menoleh ke belakang. Dilihatnya Papi mengangkat sebuah kota. Setelah menerima bungkusan itu, Aku berjalan lagi. Lalu menoleh ke Papi dan Nyai.

“Dah Pap. Dah Nyai.”

Beruntung. Orang-orang tak berdesakan lagi. Aku naik ke kapal. Aku lalu kesisi kapal. Dimana Papi dan Nyai terlihat di dekat kursi ruang tunggu. Aku hanya pandangi mereka tanpa senyum. Aku masih belum bisa terima sikap Papi yang telah membuang ibuku.

Dari atas kapal, Papi dan Nyai tak terlihat seperti majikan dan babu. Nyai pakai baju agak bagus. Dari dulu, Papi tak pernah biarkan Nyai keluar rumah pakai pakaian jelek. Papi memang sayang sama Nyai. Nyai tampak anggun, mungkin tak semalang Nyai-nyai lain di Hindia Belanda ini. Papi selalu memperlakukannya seperti Nyonya diluar beberapa tahun terakhir. Papi selalu kasih senyum ke Nyai kalau Nyai urus Aku dengan betul. Itu sebab Papi sayang sama Nyai.

Peluit dibunyikan. Tanda kapal akan berangkat. Dari jauh dan terdengar Papi teriak padaku.

“Selamat jalan, Nak. Hati-hati.”

Aku hanya lambaikan tangannya dari jauh. Makin jauh kapal dari dermaga, makin kecil saja Papi dan Nyai terlihat di mataku. Papi mulai agak merasa kehilangan. Tak ada anak lelakinya di rumah.

Ketika kapal KPM yang bawa Sinyo makin jauh, pelan-pelan tangan Papi pegang tangan Nyai. Mata teduh Nyai pun menatap mata Papi. Lewat mata dua sejoli paruh baya itu berbagi kehangatan.

“Juminten.”

“Iya, Tuan.”

“Jangan panggil aku Tuan lagi, Juminten. Panggil aku Papi. Atau Abe saja.”

“Iya. Baik, Tuan. Tapi, saya tak biasa dipanggil Juminten.”

“Baiklah. Tapi, jangan panggil saya Tuan lagi. Terserah mau panggil saya apa.”

“Biaklah, Papi.”

“Itu lebih baik, Nyai.”

“Ayo pulang.”

“Iya.”

Papi pun gandeng tangan Nyai yang akan resmi jadi istri Papi. Mereka  berdua tampak bahagia dari kejauhan. Dari jauh, Aku lihat Papi pegang tangan Nyai Juminten. Aku hanya bisa tersenyum.

Papi terima saja atas keberatan Nyai dipanggil Juminten. Nama yang tak pernah dipakainya lagi sejak jadi Nyai. Jadi Nyai orang Indo atau Belanda sudah bikin Juminten lupa nama aslinya. Dan terbangun dalam dirinya dia adalah Nyai yang harus layani Tuan Belanda atau Indo.

Dunia Nyai dunia yang sajikan kenikmatan semu atas kuasa uang. Dimana banyak perempuan jadi Nyai agar keluarganya bisa hidup. Nyai sendiri tak pernah bisa pahami dunianya. Dia hanya tahu dia harus layani Tuan dan si Tuan menghidupinya. Si Nyai akan kehilangan jati dirinya karena harus hidup dalam dunia rumah tangga Tuan Belanda yang memuat Nyai tak bisa jadi dirinya. Karena jadi Nyai berarti jadi pemuas. Nyai bahkan bisa lupa masa kecilnya yang indah. Karena dunianya hanya urus rumah Tuan dan tidur dengan Tuan.

Nyai alias Juminten masih tak bisa terima kenyataan itu. Juminten tetap merasa dirinya adalah Nyai. Dipanggil apapun bukan masalah buat perempuan buta huruf macam Nyai Juminten.
Kapal KPM yang bawa Aku dan lainnya sudah sampai di Tanjung Priuk. Mereka langsung ke Bandung. Aku langsung masuk HBS. Tak butuh waktu lama Aku bisa sesuaikan diri dengan kota itu. Tak ada Papi pasti menyenangkan. Tapi tak ada Nyai yang bisa urus semua. Sekarang Aku harus sendiri. Aku belajar hidup mandiri. Hidup yang sebenarnya.

Di Balikpapan, Papi sama Nyai hidup tanpa Aku. Mereka diam-diam merindukan bocah bloon itu juga. Karenanya, Papi sesegera bawa Nyai ke kantor catatan sipil. Mereka bakal jadi suami istri. Nyai akan jadi istri orang Indo yang secara hukum sama statusnya dengan orang Belanda totok. Nyai juga akan seperti Papi juga, jadi warga Negara Hindia Belanda. Sebelumnya, Nyai cuma warga Negara kelas tiga.

Dalam perjalanan ke kantor catatan sipil dengan sepeda, Nyai bilang sesuatu pada Papi.

“Tuan.”

“Kenapa panggil Tuan lagi?”

“Saya mau bilang sesuatu. Saya tidak mau nanti ada yang menyesal.”

“Kenapa Nyai?”

“Saya tidak bisa bunting lagi.”

“Kenapa Nyai pusing? Kalau saya mau punya anak lagi, Nyai sudah saya buang dari dulu. Tapi sekarang beda cerita, Nyaiku sayang.”

“Papi tidak menyesal?”

“Ik sudah putuskan. Kenapa Jij yang bingung sayang.”

“Baik, Papi. Nyai merasa bahagia sekarang, Papi.”

Papi tersenyum dan memantapkan langkahnya, buat daftarkan Nyai jadi istrinya. Nyai adalah istri pertamanya dalam hidup Papi, dimana Papi mengawininya di depan hukum. Usia Papi yang sudah kepala empat. Usia Nyai juga sudah hampir kepala empat.

Begitu sudah sah dan punya surat kawin, mereka berdua pergi makan enak di salah satu restoran China. Dimana mereka boleh pesan makanan enak. Setelah itu, mereka ke kantor pos sebelah kantor kotapraja Balikpapan. Papi kirim telegram buat Aku. Tak penting Aku suka atau tidak, yang penting Papi lagi senang.

“HARI INI PAPI SUDAH NIKAH SAMA JUMINTEN.PIET BAIK-BAIK DISANA.”

Tak butuh waktu lama surat itu sampai juga ke Bandung.  Aku agak terkejut juga. Bukan berita buruk. Meski tak peduli pada Papi lagi, Aku hanya bisa ikut senang saja. Aku senang kalau Nyai bahagia. Meski sayang pada Nyai, tetap saja  Nyai bukanlah Mami. Mami cuma istri Papi. Walaupun, Nyai juga layak dipanggil Mami juga.

10

Bandung, Juli 1941

Apapun yang terjadi, Aku tetap belajar di HBS. Aku bukan anak menonjol di kelas. Aku juga bukan anak tertinggal di kelas. Aku biasa saja. Pelajaran Aku agak terganggu juga akhirnya. Hindia Belanda dilanda kekhawatiran besar.  Ancaman Nippon di depan mata. Banyak pemuda dijadikan milisi. Aku masih dibawah umur. Tetap saja mereka diajari bagaimana berlindung dari serangan udara.

Aku mulai di dekati kelompok perlawanan anti fasis. Mereka anti Nippon. Aku cukup terpengaruh. Mereka tahu Aku punya radio. Mereka berharap Aku mau simpan itu radio, buat mantau perkembangan perang. Ini gerakan bawah tanah. Mereka belajar dari apa yang dialami orang-orang di Tiongkok. Dimana ketika balatentara Nippon datang, ribuan orang harus mati. Nippon sendiri adalah fasis ang harus dilawan.

Bersama kelompok bawah tanah itu, Aku belajar bahaya soal fasis. Tentu saja si Aku bertampang bloon ini banyak tanya.

“Kenapa Fasis, kudu kitorang lawan?”

“Fasis mau kuasai semua orang. Fasis rusak kita punya pikiran.”

“Pikiran macam apa?”

“Fasis tak suka kebebasan berpikir. Fasis mau otak kitorang semua seragam. Begitu yang aku tahu.”

“Ehmmm,” Aku berpikir keras memahaminya.

“Jangan terlalu dipusingkan. Nanti pelan-pelan juga Jij paham.”

“Ini radio seberapa penting buat kitorang semua?”

“Penting, Nyo.”

“Dalam gerakan, kitorang butuh berita soal musuh. Kitorang kan bisa tangkap banyak berita dari Australia. Tentara Fasis pasti tak pernah mau kasih berita buruk soal mereka.”

“Mereka mau bikin sempit dunia kitorang.”

“Ehmm  kira-kira begitu.”

“Semoga kitorang tak ditangkap serdadu-serdadu Nippon kalau mereka sampai sini.”

“Semoga.”

“Tadi, saya dengar siaran kalau banyak serdadu dan pejabat pergi ke Australia. Sepertinya gerakan serdadu Nippon tak bisa dibendung.”

“Gawat.”

“Apa yang harus kitorang buat?”

“Nyo, kitorang butuh kamu punya radio. Kitorang kudu jaga ini radio, jangan sampai diambil Nippon.”

“Baik.”

Mereka berdua lalu pindah rumah sewaan kecil di tepi kali Cikupandang. Sebuah rumah yang sepi. Si pemilik rumah juga orang terpelajar yang anti Nippon. Mereka berdua, bersama si pemilik rumah bikin lobang buat simpan radio.

Gerakan balatentara Nippon benar-benar masuk Hindia Belanda. Tak bisa lagi dihindari. Balikpapan jadi sasaran permulaan juga sebelum Jawa disentuh mereka. Aku kadang khawatirkan Papi juga.

Sekolahku di HBS makin kacau. Jam sekolah terpakai untuk latihan penanggulangan bahaya udara. Terlalu banyak jam kosong di sekolah. Perang begitu menyebalkan bagi yang suka sekolah. Aku hanya bisa jalani masa itu apa adanya saja. Tanpa keluhan.

Selama masa sekolah yang tak jelas itu, Aku sibukan diri dengan baca buku. Kebanyakan adalah novel. Max Havelaar adalah satu dari sekian banyak buku yang disantap Aku. Uang dari Papi, selalu ada habis buat beli buku. Pelan-pelan Aku makin tertarik sama sastra. Pelan-pelan teknik, kecuali radio, bukan hal menarik lagi.

Aku tak pernah sadari apa yang akan terjadi nanti di hari-hari menjelang kedatangan balatentara Nippon ke HIndia Belanda. Aku memilih menghadapi apa saja yang bakal terjadi. Aku merasa tak punya pilihan untuk hindari kedatangan serdadu Nippon.

Yang terjadi terjadilah.

11

Balikpapan, Januari 1942

Ketakutan menyambut kedatangan tahun baru. Tahun berganti dalam kecemasan tanpa akhir bagi orang-orang Belanda kala itu. Ancaman Nippon adalah musabab dari katakutan itu. Tak terkecuali di Balikpapan. Orang-orang Belanda ketakutan disana. Juga orang-orang yang dekat dengan Belanda. Papi juga alami ketakutan itu.

“Nyai, aku merasa kitorang semua dalam bahaya.”

“Kenapa, Pap?”

“Kita bakal kalah.”

“Kenapa Papi yakin?”

“Entahlah.”

“Papi kudu hati-hati. Nyai cuma punya Papi.”

Papi lalu memeluk Nyai lebih hangat dari yang sudah-sudah. Kengerian mengeratkan pelukan itu. kengerian memang di depan mata semua orang di Balikpapan.

Suatu sore, Papi pergi patroli. Nyai punya firasat buruk. Nyai agak sulit lihat Papi pergi sore itu. Sebelum Papi keluar rumah, Nyai peluk erat Papi. Tak seperti biasanya, kali ini Nyai minta dicium.

Akhirnya, serdadu-serdadu Nippon pun mulai serang Balikpapan dari arah Teluk Balikpapan. Musuh yang diwaspadai datang. Gerakan maju mereka tak mampu hadapi mereka. Pasukan KNIL dan milisi yang terburu-buru dibentuk pun tak mampu hadapi semua itu. Perwira andalan KNIL, termasuk Letnan Max—yang keturunan Bangsawan Pontianak—tak bisa menjadi pemimpin andalan yang hindari mereka dari kekalahan.

Sebelum serdadu Nippon datang, kilang minyak BPM pun dibakar agar Nippon tak bisa pakai minyak buat perang. Kerusakan kilang itu bikin serdadu-serdadu Nippon marah. Serdadu Nippon jadi berlaku kejam  sama orang-orang Balikpapan.

Papi yang jadi salah satu perwira andalan pun tak bisa berbuat apa-apa. Serdadu-serdadu Nippon terlalu hebat buat KNIL. Sebelum ada bahaya Nippon. Tak butuh lama buat serdadu-serdadu Nippon kuasai Balikpapan.

Satu persatu serdadu KNIL dibekuk, termasuk Papi. Satu persatu serdadu KNIL, yang merasa tak mungkin selamat dari serbuan serdadu Nippon, pun pilih menyerah juga. Berharap ada kebaikan yang mereka terima selama jadi tahanan perang.

Berserah diri, bagi banyak orang bisa jadi obat. Tapi tidak berserah diri pada Nippon. Mereka malah jadi sial. Bagaimana tidak, meski sudah menyerah, malang tak bisa dihindari juga.

Balatentara Nippon sungguh marah besar. Banyk serdadu Nippon dibariskan di lapangan BPM. Papi ada diantara mereka. Sebagian dari mereka lalu dibawa ke tepian Melawai.

Di tepian Melawai, orang-orang kampung yang keluar rumah pun ada di Melawai. Mereka ada dipinggir tepian. Nyai yang tak keluar rumah selama beberapa hari pun keluar juga. Nyai tak tahu Papi dimana. Nyai hanya bisa cari berita soal Papi sambil berdoa agar Papi selamat.  Tapi itu doa seperti sia-sia.

Di atas pasir Melawai, serdadu-serdadu Nippon yang cebol dan pegang senapan panjang berjaga. Orang-orang kampung tampak ketakutan. Sebelumnya tak ada perang apapun yang mereka alami. Sekarang mereka melihat banyak serdadu asing yang datang ambil kota mereka.

Barisan tawanan KNIL pun dibariskan. Mereka berdiri menghadap Teluk Balikpapan, sepanjang Melawai. Nyai bisa lihat barisan itu. Nyai pun bisa lihat salah satu dari mereka. Papi tampak lusuh. Tapi Nyai tak mampu mendekat.

Barisan tawanan KNIL itu lalu disuruh maju. Berjalan pelan-pelan ke arah laut.  Mereka kemudian di perintahkan masuk air. Sampai kepala mereka tak terlihat. Bagi yang masih terlihat akan ditembak.

Nyai perhatikan dari jauh bagaimana Papi melangkah. Nyai begitu kasihan pada laki-laki yang menyayanginya itu. Tak ada lagi pelukan hangat dari Papi lagi. Hari ini adalah hari akhir yang begitu mengerikan. Nyai hanya bisa terdiam dan berasa hendak menangis melihat Papi di ujung maut.

Di ujung nyawanya, Papi hanya bisa pasrah. Dia merasa tak sehebat seperti jadi Marsose dulu. Kini, dia hanya tawanan yag kalah perang. Juga tak ada tanda dia akan menang seperti perteempurannya yang sudah-sudah. Papi tak punya pilihan. Papi terus berjalan. Dan salah satu serdadu Nippon yang jago tembak berhasil tembak kepala Papi.

Nyai hanya bisa menangis lihat itu kejadian keji. Orang-orang lain pun tak kalah ngeri lihat itu kejadian gila. Ini suguhan keji pertama yang disuguhkan serdadu-serdadu asing di Balikpapan. Meski bagian dari kekuatan jahat, KNIL tak

Hari itu bukan hanya Papi saja yang kena tembak atau mati tenggelam di Melawai. Ada banyak KNIL mati disana. Papi cuma salah satu. Tak ada yang catat nama Papi dalam sejarah. Seperti serdadu lain, Papi cuma debu-debu sejarah. Jadi kekejian yang dialaminya jadi tak penting.

Setelah pembantaian itu bubar. Serdadu-serdadu itu tinggalkan Melawai. Serdadu-serdadu KNIL yang jadi jenazah itu peringatan awal bagi siapa saja yang ingin melawan serdadu Nippon. Nyawa adalah taruhan melawan Nippon.

Jenazah itu satu persaatu diangkati ke tepian. Nyai pun berlari menuju laki-laki yang dicintainya itu. Jenazah itu ditarik Nyai seorang diri ke tepian. Orang-orang lalu bantu Nyai kubur jenazah Papi. Malam itu juga Papi dikubur. Semalaman Nyai bermalam di kuburan.

Semalaman juga Nyai menangisi kepergian Papi yang dikasihinya sampai mati. Nyai memeluk kubur Papi. Seolah memeluk tubuh Papi betulan. Firasat Nyai benar tempohari. Baru saja memiliki Papi secara utuh, Nyai harus ditinggalkan Papi yang sejak lama, sebelum Nyai sah jadi istri Papi yang pertama dan terakhir.

Pagi harinya, tiga serdadu Nippon patroli. Mereka melihat Nyai tertidur di kuburan. Udara pagi meluapkan birahi mereka. Sudah lama mereka tak lihat perempuan. Nafsu memuncak di kepala para serdadu itu.

Nyai pun dibangunkan. Pelan-pelan Nyai membuka matanya. Nyai terkejut. Serdadu-serdadu pembantai di depan matanya. Salah satu serdadu langsung memeluk Nyai. Nyai pun teriak.

“Pergi pembunuh.”

Para serdadu pun makin gila. Nyai terus menjerit. Mereka tarik Nyai ke semak tak jauh dari kuburan.  Secara bergantian Nyai disetubuhi serdadu-serdadu cabul itu. Selama perkosaan berlangsung, Nyai yang tak berdaya itu berusaha melawan. Kekuatan serdadu cabul pun akhirnya hanya bisa bikin Nyai menjerit.

Selesai perkosaan gila itu, para serdadu mesum pergi dengan wajah sumringah. Nyai hanya ditinggalkan dengan pakaian terkoyak-koyak. Nyai hanya bisa menangis. Nyai yang tak kuat berdiri hanya bisa merayap ke arah makam Papi. Dipeluknya makam Papi yang masih berupa gundukan tanah dan patok.

Nyai seketika jadi perempuan malang lagi.  Suaminya dibunuh di depan matanya. Itu sudah bikin Nyai tertekan.  Lalu diperkosa tak jauh dari makam suaminya. Dalam tangis itu, Nyai Juminten pun hilang akal. Selanjutnya berkeliaran tak jauh dari makam suaminya.

12

Bandung, Agustus 1944

Hindia Belanda sudah runtuh ejak 8 Maret 1942 di Kalijati Subang. Dimana Tjarda dan Ter Porten menyatakan menyerah kalah pada Nippon.  Banyak yang tak enak di jaman Nippon. Semua kebaikan cuma propaganda. Selalu ada yang diperas oleh para serdadu itu. Isi perut bumi nusantara buat keperluan perang serdadu Nippon di Pasifik. Tenaga kaum laki-laki buat jadi romusha, Tubuh wanitanya dijadikan pemuas hasrat serdadu Nippon.

Selalu ada undang dibalik batu. Nippon banyak cari muka. Nippon tak bisa dipercaya. Itu yang selalu Sino bicarakan sama kawan-kawan di rumah tinggal yang menampungnya.

“Nippon ngaku kalau mereka itu saudara tua.”

“Dan, kitorang Indonesia jadi saudara muda?”

“Tidak betul itu. Fasis dimana-mana jago ngibul, kawan.”

“Nyatanya kitorang sama saja nasibnya dengan saudara tiri.”

Meski kesal dengan balatentara Nippon, Aku lebih banyak mendengar saja karena merasa paling muda. Hidup dibawah pendudukan Nippon tak ada enak sama sekali. Apa yang dibilang orang-orang bawah tanah yang ajak Aku bergabung didalamnya banyak betulnya juga.

“Bayangkan, banyak bacaan bagus dilarang. Mau baca apa kita?”

“Semua anak laki-laki di sekolah harus botak. Kayak Sinyo tuh?”

Mereka semua tertawa lihat kepalaku yang baru saja dibotak oleh serdadu Nippon di sekolah.

“Biar gagah kali.”

Aku meringis. Lalu angkat bicara.

“Apanya yang gagah. Mau botak kayak itu serdadu kate atau mau gondrong seperti Jesus, tetap saja saya punya tampang bloon kayak gini.”

Semua yang mendengar tertawa. Aku terpaksa rela dibotaki di sekolah. Gawat juga kalau mereka tamper Aku.  Kenpeitai pasti bakal awasi Aku. Bisa gawat gerakan bawah tanah mereka.

“Tadi, ada dengar kabar. kalau anak-anak Ika Dai Gakku Jakarta melawan waktu rambut mereka dibotaki paksa sama serdadu-serdadu Nippon.”

“Kapan?”

“Saya kurang tahu. Tapi belum lama lah.”

“Gila. Berani sekali mereka itu.”

“fasis-fasis Nippon itu lebih suka atur rambut daripada bikin otak mereka pintar.”

“Fasis takut sama kutu, kawan.”

“Hahahaha”

“Saya orang kesal juga sama Nippon. Tak ada lagi radio yang setel lagu-lagu klasik barat. Semua bahasa Nippon, kitorang tak paham artinya.”

“Itu masih belum apa-apa.”

“Belum apa-apa bagaimana?”

“Parahnya lagi, pemerintah balatentara Nippon makin saraf saja. Semua orang harus serahkan mereka punya radio pada pemerintah balaserdadu Nippon.”

“Ehmm gila juga. Apa pikir mereka dulu belikan itu semua radio pake uang nenek moyang mereka?”

Aku kesal. Obrolan itu bikin Aku makin semangat lawan serdadu-serdadu Nippon pakai dia punya otak dan tenaga. Radio adalah caraku melawan kali ini. Aku sudah pasti tak sudi serahkan radio sama serdadu Nippon. Dengan segala taruhannya, Aku sadar bahaya itu. Demi jaga itu radio biar tidakjatuh ke tangan Nippon, Aku rela mati di tangan Nippon.

“Nyo, radio kamu penting buat kami. Radio itu beri kami harapan.”

“Betul sekali itu, Nyo. Kitorang pastinya juga jadi tau kekuatan serdadu-serdadu Nippon.”

Aku pun angkat bicara.

“Makanya, Nippon sita semua orang punya radio.”

“Itu tanda, Nyo. Nippon sudah mulai ketakutan.”

“Betul, Nyo. Satu sisi ini bahaya. Itu serdadu-serdadu bisa bisa makin keras dan main bunuh sama kitorang.”

“Yah. Tapi bisa juga mereka bakal kasih simpati sama kitorang.”

“Ya. Makanya mereka bikin PETA.”

“Semoga mereka orang tidak jadi serdadu-serdadu fasis seperti serdadu-serdadu Nippon.”

Semua orang yang ada disitu sepakat dengan harapanku. Aku mulai paham soal politik.

Serdadu Nippon makin rajin bikin razia. Banyak orang gerakan bawah tanah pusing bukan kepalang.  Mau pindah rumah susah. Tonarigumi bikin susah gerakan bawah tanah. Orang-orang takut dapat masalah sama Kenpeitai. Nippon bikin semua orang asing tak dikenal jadi musuh. Dasar Nippon gila.

Lama-lama, Kenpeitai pun pasang mata sama rumah tempat Aku tinggal. Orang  Kenpeitai tahu kalau si pemilik rumah itu kawan dari Bung Amir—pemimpin gerakan bawah tanah yang sudah ditangkap dan akan dihukum mati. Tanpa disadari, Aku adalah bagian dari gerakan bawah tanah Amir.

Amir orang keras. Dia dengan hebatnya lawan Belanda pakai otaknya sejak dulu. Waktu Nippon mau serbu Hindia Belanda, Amir masih mau terima uang 25.000 Gulden dari van der Plas. Amir rela bersekutu sama musuh besarnya buat lawan serdadu-serdadu fasis. Sialnya Amir yang agak ceroboh itu ketahuan.

Aku yakin dirinya akan jadi sasaran juga. Waktu serdadu-serdadu Nippon kepung rumah tinggal Aku dan kawan-kawan gerakan bawah tanahnya, Aku baru saja mau jalan pulang. Aku segera berbalik pergi bersama seorang kawan.

“Sial. Kita ketahuan.”

“Kabur!”

“Ayo. Pasti ada yang bocorkan. Kenpeitai awasi kita sejak lama.”

“Kemana kita?”

“Entahlah. Kita menghilang saja. Mungkin ke Surabaya saja, Nyo.”

“Ehmm betul. Tapi sebaiknya kita ke Australia saja.”

“Kalau bisa. Semoga ada kapal.”

Aku pelan-pelan menghilang dari Bandung. Mereka berdua mengilang dan muncul di  Semarang. Setelah numpang makan di rumah seorang anggota gerakan mereka pergi ke Surabaya. Dari Surabaya mereka bergerak ke Banyuwangi. Tak terasa sudah seminggu mereka berdua lolos dari sergapan Nippon.

Aku akhirnya ikut rombongan nelayan yang akan berlayar ke Australia. Mereka tampak seperti Nelayan, tapi sebenarnya mereka orang-orang gerakan bawah tanah juga. Mereka akan lakukan pelayaran tersulit. Aku nekad ikut. Jawa taka man baginya. Sementara itu kawan sepelariannya pilih tinggal dan akan kembali ke Surabaya. Dia mabuk laut.

“Kau yakin, Nyo?”

“Kawan,  aku turunan KNIL. Tak baik hidup di jaman Nippon ini. Jawa tak aman.”

“Ya. Maaf, aku tak bisa ikut serta. Mungkin aku harus lakukan sesuatu disini.”
“Kau harus cari radio lagi. Kitorang punya radio sudah hilang.”

“Betul. Kami rindu sama Jij punya radio.”

Mereka berdua tertawa. Tak lama, mereka pun berpisah. Kapal nelayan akan pergi ke Australia. Berharap sampai. Lalu pulang bawa banyak senjata buat lawan serdadu-serdadu Nippon.

“Kembalilah, Nyo. Bawalah banyak senjata untuk kami.”

“Pasti. Aku akan kembali. Kita akan bebaskan Bung Amir juga.”

“Kita bebaskan kitorang punya ini Indonesia.”

Kapal pun tinggalkan dermaga kecil diam-diam. Kawan Aku melambaikan tangan dengan penuh doa di hati. Berharap kapal pulang dengan selamat serta bawa banyak senjata.

Jadi buronan bikin pikiran Aku sibuk. Meski lebih banyak bengong dengan wajah bloon-nya. Jadi buronan tak bikin aku jadi ciut nyali. Aku jadi semakin punya mimpi.

Dulu Aku orang tak punya mimpi. Kini beda. Perang ajari Aku melawan dan bermimpi. Sebelum jadi buronan Nippon, Aku lawan Nippon dengan simpan dan jaga aku punya radio. Setiap hari, Aku tangkap berita soal perang Pasifik. Kekalahan Nippon dalam pertempuran adalah berita bagus yang layak disebar. Sedang berita kemenangan Nippon cukup dibagi pada teman-teman gerakan saja.

Radio itu bikin Aku punya berita buat dibagi ke orang-orang diam-diam. Aku pun jadi orang penting dalam gerakan. Banyak orang berharap Aku selalu bawa berita bagus. Tapi berita bagus itu agak jarang. Yang melegakan adalah, mereka sadar posisi balatentara Nippon dalam perang semakin melemah.

Selama diatas kapal, mimpi Aku tentang kebebasan makin terbentuk. Bebaskan Indonesia berarti bebaskan Balikpapan juga. Aku teringat lagi Papi, Nyai dan juga Dias. Tiga orang itu adalah yang paling dikenalinya di kota emas hitam itu. Aku pun bertanya-tanya untuk kesekian kalinya.

“Ya Tuhan, bagaimana kabar mereka?”

Aku ingat lagi bagaimana bersama mereka dulu. Meski masih kesal sama Papi, Aku suka sama radio hadiah dari Papi sebelum berangkat ke Bandung. Entah dimana radio itu. Mungkin sudah ditumpuk bersama radio lain di kantor Kenpeitai. Aku tak pernah tahu kabar Papi dan Nyai. Hubungan Bandung dan Balikpapan putus. Dias pun tak ada kabar juga. Aku agak menyesal tak bisa tulis surat buat Dias.

Aku meski rindu pada mereka berusaha bersikap tenang, sebab akan kembali ke Balikpapan juga suatu hari.

13

Darwin-Balikpapan, Juni 1945

Tak ada Nippon mereka temui lautan selatan nusantara. Sampai juga akhirnya kapal yang membawaku, setelah berhari-hari pelayaran mereka. Mereka lalu dipertemukan dengan orang-orang Indonesia disana, juga orang-orang Belanda pelarian dari Hindia Belanda setelah mereka menyerah kalah pada balatentara Nippon Maret 1942. Mereka disambut gembira dengan bir gratis di bar yang mereka kunjungi. Ini pertama kalinya Aku minum bir.

Orang-orang Belanda mereka ditawari jadi serdadu. Meski sempat teringat janjinya pada Papi, untuk tidak jadi serdadu dengan alasan apapun, tapi guliran roda sejarah memaksaku terima saja tawaran itu.

Latihan perang empatbelas minggu pun dijalani Aku bersama beberapa orang yang lainnya, baik orang Indonesia, Papua, Belanda  maupun Australia. Berhubung Aku suka radio. Maka Aku pun dijadikan petugas radio. Tak butuh waktu lama. Pelan-pelan Aku bisa karena aku suka radio.

Setelah hampir enam bulan di Australia, Aku pun dimasukan ke dalam pasukan Australia yang akan menyerbu Indonesia. Mereka memasukan Aku ke dalam kelompok intelejen. Ini karena Aku mengajukan diri untuk gabung membebaskan Balikpapan. Aku meyakinkan mereka bahwa dirinya kenal Balikpapan.

Tak menunggu waktu lama setelah bergabung dalam tentara Australia. Terlebih dahulu mereka terbang ke Morotai, Maluku dimana banyak pasukan Amerika disana. Setelah itu, Aku dimasukan dalam sebuah resimen sebagai radioman.  Aku dibekali Owengun.

Sebagai orang yang dianggap paham soal Balikpapan, Aku ditanyai oleh komandan-komandan resimen yang akan pimpin penyerbuan dari laut. Mereka sedang mencari titik lemah musuh. Aku hanya bisa perkirakan di sekitar kilang minyak, di bukit-bukit di Kampung Baru, bukit-bukit daerah Markoni. Aku juga tunjukan letak bekas tangsi KNIL yang kemungkinan jadi markas serdadu-serdadu Nippon.

Kerinduan pada Balikpapan pun segera memuncak. Tak sabar bagi Aku untuk menginjak Balikpapan. Kapal seolah berjalan agak lambat. Di kapal, Aku lebih banyak melamun. Sebagai orang baru di pasukan, Aku tak banyak bicara. Tak banyak bergaul dengan serdadu-serdadu Australia.

Kapal akhirnya mendekati Teluk Balikpapan. Aku kaget. Api sudah merambat di Balikpapan. Rupanya, selama berhari-hari Balikpapan sudah dihujani bom dari pesawat-pesawat Bomber Amerika. Kapal pun bermalam di laut. Aku sulit terlelap. Aku hanya pandangi kotanya porakporanda. Sudah empat tahun Balikpapan ditinggalkannya.

Dari laut Balikpapan dihajar arteleri berat. Sebaliknya, serdadu-serdadu Nippon beri tembakan ke arah kapal-kapal pasukan Australia. Beberapa serdadu Australia tumbang. Tak satu pun Aku kenali semua yang mati itu. Ngeri juga Aku melihatnya. Tapi, kerinduanku pada Balikpapan menyingkirkan kengerian itu.

Tak ada alasan takut mati karena semua orang akan mati. Semua adalah masalah waktu. Mati bukan kutukan. Aku hanya ingin berlari dan tembaki serdadu-serdadu Nippon yang Aku temui.

Aku akhirnya mendarat di dekat pasar Klandasan. Selama pendaratan ampibi itu, banyak serdadu Australia roboh ditembaki serdadu Nippon. Aku membimbing komandan Batalyon yang diikutinya untuk menyerang bekas tangsi KNIL yang dijadikan markas serdadu Nippon. Bukan hal mudah juga. Bersama yang lain, Aku ikut masuk dan alami baku tembak yang cukup seru juga.

Bersama serdadu-serdadu lain, Aku pun ikut bekerja sama untuk bergerak maju hancurkan posisi serdadu-serdadu Nippon. Mereka bergerak dari arah pasar Klandasan. Aku bantu sebuah regu untuk hancurkan posisi penembak runduk. Aku bicara pada Sersan Cross komandan regu.

“Sersan, saya lari ke depan sana. Biar anda tahu arah tembakannya.”

Itu sersan jadi bengong dan menurut. Dia lalu kasih perintah sama bawahannya yang jago tembak.

“Duncan, perhatikan dari mana itu tembakan!”

“Siap, Sersan.”

“Saya maju, Sersan.”

Aku pun lari lewati jalanan diantara puing-puing bekas pemboman. Aku tahu harus lari kemana. Karena Aku kenali pertokoan itu. Beberapa meter berlari, terdengar tembakan dari serdadu Nippon. Begitu tahu arah tembakan ,Duncan yang lihat sasaran lalu bidik dan tembak itu sasaran sampai tewas.

Setelah itu, Aku ikut maju bersama regu itu. Begitu maju mereka terjebak lagi. Beberapa serdadu Australia roboh tak terselamatkan. Kali ini mereka tahu arah tembakan sporadis itu.  Aku lalu ajak beberapa bawahan Sersan yang lain untuk bergerak melambung.

Mereka lalu memasuki jalan kecil dan gang. Mereka lewati rumah penduduk dan mendekati beberapa serdadu Nippon yang tembaki regu Sersan Cross. Begitu temukan serdadu penembak senapan mesin, Aku langsung berondongkan Owengun-nya kearah serdadu-serdadu Nippon tadi.

Senapan mesin tadi lalu kurampas. Dibantu serdadu Australia yang mengikuti, Aku lalu arahkan senapan ke arah tangsi serdadu Nippon. Gerakan pasukan sersan Cross hampir jebol tangsi. Tak lama datang beberapa serdadu Australia pembawa mortir. Beberapa serdadu Australia lain pun hadiahi tangsi serdadu Nippon itu.

Butuh waktu lebih dari dua jam, dan beberapa korban luka dan tewas untuk kuasai itu tangsi. Beberapa kali Aku lolos dari terjangan peluru. Sebagai radioman, Aku adalah target tembakan penting selain komandan. Tapi, Aku lebih banyak beraksi seperti serdadu lain. Radionya jarang dipakai. Kecuali sebelum bergerak maju. Dari pasar Klandasan ke tangsi, Aku tidak sebagai radioman.

Setelah tangsi itu dikuasai, maka komandan beri perintah baru. Mereka harus sapu Balikpapan dari para serdadu Nippon. Selanjutnya, selama berhari-hari banyak serdadu Australia jadi korban serdadu Nippon yang sulit dikalahkan meski mereka kalah jumlah dengan serdadu-serdadu Australia. Aku selalu bisa selamatkan dirinya. Aku beruntung.

Serdadu-serdadu Australia pun menyalami Aku atas kemenangan mereka rebut tangsi.

“Gila! Kau begitu berani dan kenal medan.”

“Ini kotaku. Masa kecilku disini.”

“Ya. Butuh keberanian untuk itu.”

“Betul, kawan. Kau berbakat jadi serdadu.”

Aku hanya tersenyum pada kawan-kawan serdadu yang baru saja dikenalnya itu.

“Ayo kita berkumpul disana. Sepertinya, masih banyak serdadu-serdadu Nippon mengintai kita.”

Mereka pun menyebar lagi. Memburu serdadu Nippon yang masih berkeliaran entah dimana. Selama perburuan Aku melangkah bak pahlawan perang. Sebagai Balikpapaner aku rela pertaruhkan apa demi kota ini.

Secara perlahan serdadu Nippon dibersihkan, maka Aku pun berpikir untuk mencari Papi, Nyai dan Dias. Setelah Aku titip radio di bekas tangsi, maka Aku pun berkeliaran seorang diri dengan menenteng Owengun-nya. Aku agak merasa di kotanya yang sudah porak-poranda.

Tujuan pertama Melawai. Aku kembali kunjungi rumahnya. Tempat Aku dibesarkan. Tak ada orang berani tinggali daerah itu karena ancaman peluru nyasar. Orang-orang banyak mengungsi keluar kota. Hanya sekali dua kali Aku melihat orang lewat. Lalu Aku memanggilnya. Orang itu agak lusuh dan lapar sepertinya.

“Tuan, apa Tuan tahu dimana orang bernama Tuan Habel berada?”

“Tidak tahu, Tuan. Coba tanya Tuan yang naik sepeda itu.”

Aku lalu menghentikan laki-laki paruh baya yang melintas. Aku tampak kenal dengan orang itu. Aku waktu kecil sering lihat laki-laki itu jadi pegawai BPM juga. Kini dia tampak kurus.

“Tuan tahu dimana Tuan Papi berada.”

Orang itu lalu terdiam karena sulit menjawab pertanyaan Papi. Orang ini cukup tahu siapa Papi alias Tuan Papi.

“Dia dibunuh serdadu Nippon. Ditembak di Melawai, Tuan.”

“Dia dikubur?”

“Iya, Tuan. Di Prapatan. Nyai Juminten juga disana.”

“Dia juga sudah mati?”

“Dia gila setelah serdadu-serdadu Nippon memperkosanya.”

Aku kecut mendengarnya. Aku jadi semakin sedih atas apa yang dialami Papi da juga Nyai Juminten. Si orang yang ditanyai penasaran pada siapa yang bertanya.

“Kalau kitorang boleh tahu, kenapa Tuan tanya soal Tuan Papi?”

“Saya mau ketemu.”

“Tuan siapanya?”

“Saya anaknya. Piet.”

“Tuan Sinyo sudah besar sekarang. Maaf saya tidak kenali Tuan. Sudah jadi serdadu pula. Seperti mendiang Papi Tuan dulu.”

“Tak apa-apa, Tuan. Saya begini juga terpaksa. Papi tidak pernah mau saya orang jadi serdadu.”

Aku masih melihat orang berpakaian lusuh masih ada di dekat Aku. Aku buru-buru keluarkan roti dari ranselnya. Kemudian diparuh dan dibegi pada orang malang itu.

“Ambillah, Tuan.”

Orang itu dengan senang menerimanya. Pada Tuan bersepeda yang bekas pegawai BPM itu, Aku juga menawarkan roti.

“Tuan mau?”

“Tidak saya sudah makan di rumah.”

“Tuan mau kemana?”

“Saya mau lihat tempat kerja saya.”

“Siapa Tuan punya nama? Saya harus bilang terimakasih pada Tuan.”

“Saya Bares Tuan. Saya tinggal di Gunung Samarinda. Tidak terlalu jauh dari Muara Rapak.”

“Saya masih suka dipanggil Sinyo. Dulu rumah saya disitu.

Aku tertawa sambil menunjuk bekas rumahnya yang sudah rusak. Senyuman yang membuatku tak lagi asing di kotanya yang porakporanda.

“Baiklah Tuan Bares, saya orang harus pergi. Nanti kalau saya orang ada waktu, saya singgahi Tuan punya rumah.”

Tuan Bares pergi ke arah kilang BPM. Sepertinya dia habis dari Klandasan. Sementara itu, Aku berjalan kaki ke arah Prapatan. Melewati lapangan BPM yang dipenuhi serdadu-serdadu Australia.

Sampai juga Aku di depan bekas gedung ELS. Aku teringat lagi masa kecilnya dulu. Sudah pasti teringat Dias. Kenangan masa lalu bangkit dengan indahnya. Dias masih jadi misteri. Aku hanya bisa berharap Dias selamat. Aku ada sedikit kayakinan jikalau dirinya bakal ketemu dengan Dias lagi.

14

Balikpapan, Juli 1945

Kuburan Belanda tampak sepi. Aku temukan sebuah gubuk. Itu sepertinya tempat Nyai Juminten. Itu pikiran Aku betul juga. Aku memandang kesana kemari. Itu Nyai belum terlihat juga. Aku belum berhasil temukan makam Papi. Sulit menemukannya. Aku putuskan tunggu Nyai.

Nyai akhirnya muncul.  Melihat laki-laki berseragam Nyai jadi takut. Mirip serdadu-serdadu Nippon yang tempohari memperkosanya. Nyai langsung berlari ke sebuah makam. Itu makam dipeluk erat. Berharap Nyai dapat ditolong sama itu makam.

“Aku janji tidak sakiti Nyai.”

“Jangan ganggu kami lagi, Tuan.”

“Tidak.”

Aku lalu petiki beberapa bunga kamboja. Setelah itu, Aku mendekat ke makam. Pelukan Nyai pada itu makam makin erat. Bunga-bunga itu diletakan di itu makam. Nyai menangis. Aku bisa maklumi itu. Aku akhrnya bicara pada Papi yang sudah alam lain. Aku yakin Papi pasti dengar.

“Papi, Ik tahu Papi tak pernah ke gereja. Itu karenya Ik juga ogah ke gereja. Biar kata Papi mau janji kasih radio lebih bagus dari yang dulu Papi kasih sama Ik. Kitorang memang jauh dari Tuan, Pap. Sekarang Ik baru sadar kitorang baru inget sama DIA kalo kitorang lagi susah. Atau kalau kitorang sudah dekat mati seperti ini. Ik baru inget Tuhan lagi sekarang.”

Aku yang sedari tadi berdiri pun pilih duduk. Ketakutan Nyai pun perlahan hilang. Aku agak senang lihat Nyai berkurang takutnya. Aku lalu ngobrol lagi sama Papi.

“Pap, Jij beruntung Nyai setia sama Pap. Jangankan sampai mati, sampai Papi dimakan cacing dibawah sana, Pap. Nyai selalu sayang sama Pap. Papi pasti tahu itu. Asal Papi tahu, Nyai tak pernah main serong sama laki-laki mana pun. Banyak laki-laaki sudah jahat sama Nyai sebelum dia ikut Papi. Jadi buat Nyai Papi laki-laki baik hati.”

Aku lihat Nyai lagi. Nyai mendengar semua ucapanku. Tapi tetap saja  akal Nyai yang hilang tak mungkin kembali.

“Papi, sama Nyai Papi sudah tebus sikap bajingan Papi dulu. Memang gara-gara Nyai Juminten yang Papi temukan di Semarang, Papi buang saya orang punya mama. Papi mungkin senang lihat tubuh Nyai yang berisi dan punya susu bagus buat Papi. Mungkin perempuan lugu macam Nyai tak bersalah. Gara-gara Papi punya nafsu Ik tak pernah lihat Ik punya Mama. Walau punya mama pernah kasih susu ke Ik, tapi Ik sama sekali tak pernah tahu kabar dia bagaimana. Apa sudah mati? Apa sudah jadi istri orang? Tak mengapa asal jangan jadi gundik Nippon.”

Nyai pun memandangi wajahku. Perlahan teringat masa lalunya sedikit. Nyai kenali wajah serdadu remaja itu. Nyai teringat pada seseorang. Tetap saja akal Nyai tak bisa kembali seperti semula.

“Sinyo.”

“Iya, Nyai. Saya orang Sinyo.”

Nyai langsung peluk Aku seperti anaknya. Nyai terasa begitu bahagia sore itu. Deritanya yang tak mungkin terhapus sedikit terkurangi.

“Nyo sudah lama tak pulang.”

“Iya Nyai.”

“Nyo sehat?”

“Sehat, Nyai.”

Aku langsung buka ransel. Sisa roti diberikan pada Nyai. Aku yang melihat Nyai begitu tersiksa dan seperti tak punya harapan hidup itu lalu merasa iba. Aku lalu menyupi Nyai dengan roti.

“Makanlah, Nyai.”

“Iya, Nyo. Nyai makan.”

Suara Nyai begitu lemah. Aku baru tahu kalau perempuan yang sayang padaku waktu itu kecil itu telah alami banyak derita setelah aku pergi. Sayang aku tak bisa lama sama Nyai. Karena harus kembali ke barak.

“Nyai, Nyo pergi dulu. Besok Ik kembali.”

Nyai cuma bisa diam. Aku pun dengan cepat menghilang.  Hari berganti malam. Lalu pagi datang lagi. Aku bangun pagi dan ngilang lagi. Aku ambil beberapa makanan kaleng dari gudang. Makanan itu buat Nyai. Setiap pagi, Aku kunjungi Nyai. Bawa apa saja.

Beberapa kawan serdadu yang tak kenal Aku pun pensaran kemana Aku pergi tiap pagi. Mereka berpikir Aku punya acara bagus buat usir bosan pasca perang. Mereka akhirnya mengikuti Aku diam-diam. Mereka pakai jeep.

Mereka melihat Aku sedang susah payah bikin rumah mungil. Mereka akhirnya datangi  Aku yang sedang sibuk. Nyai pun lari ketakutan lihat para serdadu Australia itu.

“Tenang, Nyai mereka kawan.”

Nyai pun ambil posisi berlindung di belakang Aku.

“Maaf mengganggumu kawan. Kawan, kenapa kau sibuk sendiri dan kami mati bengong di barak.”

“Betul, kamerad Sinyo. Kita pernah hampir mati sama-sama. Karena kau juga kami bisa tembaki serdadu Nippon.”

“Kau kawan kami.”

Aku hanya tersenyum. Meski tak saling kenal kawan-kawannya itu membantu. Mereka merasa kasihan dengan Aku yang memendam sendiri ceritaku. Kawan-kawan Australianya itu dapat bocoran cerita dari beberapa orang setelah mendarat kalau ayahku tewas ditembak Nippon. Dan Ibu tirinya jadi gila karena diperkosa. Cerita seperti itu mudah menyebar di kota kecil bernama Balikapapan. Tak heran jika kawan-kawan sebaraknya maklum kenapa Aku jadi pendiam.

“Sinyo, kata orang kau dulu ikut gerakan bawah tanah lawan Nippon?”

Aku tersenyum dengar pertanyaan itu. Kawan-kawan Australia itu mulai thau siapa dirinya. Seorang serdadu lalu nyeletuk.

“Jangan-jangan kau komunis juga seperti kami?”

“Ya. Bagus kalau itu. Kitorang bersaudara.”

“Dulu aku ikut kelompok Amir. Sialnya dia ketangkap Nippon. Aku terpaksa lari,”Aku menjawab.

“Hahahah kitorang semua disini ternyata komunis semua. Mari! Intertionale.

Arise, ye workers from your slumber,
Arise, ye prisoners of want.
For reason in revolt now thunders,
and at last ends the age of cant!

Away with all your superstitions,
Servile masses, arise, arise!
We'll change henceforth the old tradition,
And spurn the dust to win the prize!

So comrades, come rally,
And the last fight let us face.
The Internationale,
Unites the human race.

So comrades, come rally,
And the last fight let us face.
The Internationale,
Unites the human race.

Internationale mereka nyanyikan dengan bangga. Penghuni kuburan Belanda pasti mendengarnya. Kawan-kawan Australianya itu membantu sampai pondok mungil buat Nyai Juminten itu selesai benar, sudah tentu sambil nyanyikan Internationale.

Aku pun jadi rajin kumpul dan plesir bersama kawan-kawan Australia komunis itu. Ada seratusa serdadu Australia yang erasal dari aktivi komunis, mereka ikut perang karena mereka antifasis. Aku jadi pemandu buat kawan-kawannya yang suka jalan-jalan. Aku antar mereka ke kampung baru, Somber, Manggar dan lainnya.  Jika tidak sedang plesir-plesir Aku selalu kunjungi Nyai.

15

Balikpapan, November 1945

Belanda bikin pasukan baru lagi dari bekas tahanan perang. Mereka dilatih lagi dan dipersenjatai. Aku yang Indo-Belanda pun tarik ke dalam pasukan yang baru dibentuk itu. Aku diberi pangkat kopral sebagai penembak senapan mesin. Jikalau bagus, Aku punya pangkat bisa naik jadi sersan. Pelan-pelan pasukan itu semain banyak hingga punya kekuatan satu Batalyon Infanteri KNIL. Karena kurang sersan, Aku pun terpaksa diangkat jadi Sersan karena pengalaman pertempuran dalam pembebasan Balikpapan.

Kenangan tentang Dias bangkit lagi. Aku pun paksakan diri mencari Dias. Waktu lewat depan rumah Dias yang ikut porakporanda di kampung baru, tak ada yang bisa Aku temukan. Tak terasa sudah dua minggu Aku di Balikpapan. Pelan-pelan Balikpapan jadi ramai. Harapan baru muncul. Dari barak, Aku pinjam BSA buatan Inggris milik seorang perwira.  Beruntung juga Aku dipinjami.

Aku meluncur pelan dari arah Klandasan ke Kampung Baru, melintasi pelabuhan dan kilang BPM. Pekerja pelan-pelan kembali ke kilang. Tapi BPM belum pulih juga. Tak ada pemimpin dan lainnya. Jadi para pekerja tak bekerja karena tak ada yang akan menggaji mereka. Kampung Baru sudah ramai lagi.

Di jalan, BSA meluncur pelan. Aku perhatikan rumah Dias. Perang hancurkan rumah Bugis itu. Aku lalu berhenti dan masuki pekarangan itu, setelah empat tahun berlalu. Aku tak temukan siapapun disana. Di sekitar rumah pun tak ada seorang pun untuk sekedar.  Mungkin penghuni rumah sedang menungsi entah dimana. Aku lalu putuskan pergi. Kembali ke tangsi lagi.

Meski sudah jadi serdadu KNIL, Aku tetap rajin berkumpul dengan serdadu-serdadu Australia. Mereka bisa ngobrol semalaman di temani botol-botol bir. Mereka bicara apa saja, sudah pasti juga soal sosialisme. Kadang juga soal perempuan. Mereka juga pernah bicarakan ada serdadu Australia jatuh hati sama perempuan Bugis di Kampung Baru. Ada kabar, itu serdadu tak ingin lagi pulang ke Australia. Sebuah pilihan indah, tapi juga gila bagi beberapa orang.

Suatu sore, selesai latihan rutin, dan hendak kembali ke tangsi lewat Jalan Minyak, Aku lewati kantor BPM yang mulai buka lagi. Aku memandangi wajah perempuan yang menurut Aku itu adalah Dias. Tanpa komando, Aku keluar barisan. Aku hampiri perempuan itu.

“Dias. Ini aku.”

“Sinyo. Kau tidak berubah.”

“Iya, Dias. Tetap bloon seperti dulu.”

Dias tertawa dengar canda gila Sinyo itu. Dias masih semanis di sekolah dulu. Tak berubah.

“Sinyo sudah jadi serdadu sekarang?”

“Iya. Terpaksa. Tak ada pilihan.”

“Bagaimana kabar kamu, Nyo? Aku prihatin soal Papimu.”

“Aku baik-baik saja seperti yang kamu lihat. Yang terjadi, biarlah terjadi. Dias, aku harus pergi. Aku akan kunjungi kamu.”

“Minggu depan aku sudah pindah ke rumahku yang dulu.”

“Baiklah. Aku akan kesana. Kita akan bicara apa saja disana.”

Aku lalu menghilang dari wajah Dias. Dias hanya senang bisa melihat Aku masih selamat dalam kejamnya Perang Dunia yang merenggut banyak manusia sebagai tumbalnya.

Aku kembali ke tangsi dengan wajah girangnya. Setelah pastikan besok minggu tak ada latihan, Aku pinjam lagi BSA milik seorang perwira Australia yang dikenalnya. Begitu dipinjami, Aku bersiap main ke rumah Dias.

Malam minggu itu juga, Aku jalan ke rumah Dias. Malam minggu bukan cuma malam panjang, tapi juga malam yang indah buat Aku malam itu. Aku tetap pakai baju warna hijau. Cuma itu yang aku punya. Aku tidak bawa senapan mesin Bren, Aku cuma bawa pistol revolver. Itu sudah bikin Aku tampak gagah. BSA yang dikendarai menembus malam penuh bintang itu. Hati berbunga-bunga hari itu. Dias selalu menyambutnya dengan senyuman manisnya.

Langit serasa runtuh ketika Dias tersenyum manis padanya. Langit tak lagi angkuh jika Dias tersenyum. Aku merasakan kenyamanan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya dalam hidupnya. Aku merasakan bahagia yang begitu luar biasa itu. Tuhan memang maha besar, pikir Aku. Aku bersyukur atas kebesaran Tuhan itu.

“Ya Tuhanku. Terimakasih sudah biarkan dia tersenyum padaku. Langit serasa runtuh hari ini.”

Aku selalu nikmati pertemuannya dengan Dias. Aku tahu dan sadar kalau laki-laki sebloon Aku tak mungkin dapatkan gadis semanis Dias. Kalau Aku bisa dapatkan Dias, itu berarti langit runtuh berkeping-keping.

Makin hari hati Aku tertambat pada Dias. Latihan perang jadi agak acau. Tembakan Aku sering melesat dari sasaran. Aku pun jadi penembak Bren terburuk di dunia. Untung saja tak seorang pun jadi korban. Sudah pasti komandan kesal. “Godverdomme. Jij bikin habis itu pelor!”

16

Balikpapan, Desember 1945

Aku pun timbul pikiran buat nyatakan niatnya jadikan Dias pacar. Ini rencana gila. Bisa marah orang sejagat raya ini. Laki-laki bloon jadi pasangan perempuan manis macam Dias. Langit benar-benar runtuh jikalau itu terjadi.

Kali ini Aku nekad. Kekacauan sudah lama terjadi. Sebelum niat gila itu muncul, dunia dan hidup Aku sendiri sudah kacau. Aku pun bulatkan niat dan tekadnya. “Biarlah langit runtuh. Runtuhkan langit untukku, Ya Tuhan. Runtuhkanlah langit untukku, Dias.”

Suatu sore, Aku nekad ke kantor Dias, numpang jeep serdadu yang akan pergi ke kampung baru. Jam pulang Dias masih kurang satu jam. Aku pun melangkah ke kantor BPM dengan gagah berani.

Bak seorang pahlawan perang yang bawa kemenangan buat perempuan pujaannya. Aku bawa bunga kamboja. Bunga yang dipetiknya di kuburan Belanda sebelum berangkat numpang jeep serdadu Australia yang sedang ingin kelayapan sore ke Kampung Baru. Bukan Aku kalau tidak segila itu.

Begitu Dias terlihat.  Di taman depan kantor BPM mereka bertemu. Aku sodorkan bunga itu pada Dias. Dias tersenyum seperti biasanya. Apalagi waktu lihat Aku tersenyum dengan bunga kambojanya.

“Dias.  Kau tahu bunga ini tanda apa?”

“Kematian.”

“Betul. Tapi bunga tetap saja tanda kasih.

“Ya. Bunga-bunga itu indah, Nyo. Termasuk bunga kamboja ini.”

“Bunga ini buat Dias. Karena aku cinta mati sama Dias.”

Dias mendadak bengong dan tak tahu harus bilang. Dan Aku pun mulai merasa awan mendung melintas. Semua akan menjadi buruk baginya.

“Dias, aku suka padamu. Aku ingin jadi orang yang selalu ada untukmu.”

“Maaf, aku tidak bisa.”

“Jangan minta maaf. Aku yang salah. Aku merasa tidak pantas sebenarnya. Aku terlalu paksakan diriku. Maafkan aku.”

Aku lalu mundur perlahan. Bunga kamboja pun jatuh di rumput. Seperti hati Aku yang setipis daun jatuh di tangan. Begitu peka. Hatiku perlahan seperti daun kering yang jatuh di tanah dan rusak berkeping-keping. Dengan mata masih tertuju pada Dias. Akhirnya, Dias pun angkat bica

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline