"Allah Akbar!!" Kata Bung Tomo di radio pemberontak. Di front pertempuran, pemuda yang ketemu musuh bilang: "Djiancuk!" (Mengutip dagelan Sujiwo Tedjo)
Pertempuran hebat di Surabaya membuat rakyat sipil Surabaya mengungsi Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh di Jembatan Merah, Surabaya. Seorang pemuda belasan tahun tak dikenal dianggap penembaknya. Sama dengan pembunuh Mayor Jenderal Kohler di Aceh. Kohler tewas ditembak pemuda Aceh di depan Masjid Raya Aceh sekarang. Setidaknya, pemuda Indonesia jago bertempur. Bayangkan diantara mereka pernah membunuh jenderal Eropa yang pimpin pasukan tangguh. Perang Aceh berkobar hebat. Di Surabaya, Militer Inggris yang mungkin malu besar pun bombardir Surabaya yang dipenuhi pemuda nekad. A.W.S Mallaby, Komandan Pasukan Brigade Divisi India di Surabaya. Selama tiga tahun sebelumnya Mallaby hanya menjabat jabatan non komandan. Mallaby tampaknya terpengaruh laporan intelejen NEFIS yang menyebut orang-orang Indonesia akan menerima orang Belanda kembali. Laporan ini jelas keliru. Mallaby tak mengerti apa mau rakyat Surabaya. Dan jadi tewas di tengah gejolak revolusi Indonesia adaah harga yang harus dibayar atas kekolotan Mallaby sendiri. Serdadu Inggris bawahannya pun harus tegakan wibawa Inggris dengan menghancurkan pemuda Republik. Serdadu-serdadu Artileri Inggris dari India melayani meriam. Serdadu Inggris berasal dari beberapa kesatuan dan warna kulit. Banyak yang berkulit putih. Ada yang dari India (Sikh) dan Nepal (Gurkha). Tak semua orang Indonesia bisa membedakan antara Gurkha atau Sikh. Orang Sikh sering disangka Gurkha. Orang Indonesia selalu "sibuk" dengan dirinya hingga tak sempat kenali musuhnya. Diantara serdadu India kadang punya simpati pada orang-orang Indonesia yang ingin merdeka. Dua serdadu Inggris berbeda bangsa. Pasukan Inggris yang ada di Surabaya tergolong lengkap. Mereka punya banyak satuan Infantri yang tersebar di Surabaya dengan menyandang senapan bolt action jenis Lee Einfield atau senapan mesin ringan Stan Gun. Dalam gerakannya serdadu-serdadu Infantri Inggris biasanya dilindungi Kaveleri yang punya kendaraan lapis baja macam panser atau tank. Di belakang, artileri mereka memberi bantuan tembakan dari meriam-meriam mereka. Inggris adalah pasukan militer yang lengkap. Para serdadu Inggris berhasil mendapatkan keris milik orang Indonesia. Beda dengan musuhnya, gerilyawan Indonesia hanya bersenjata seadanya. Hanya bambu runcing, golok, panah atau keris saja dimiliki kebanyakan pemuda. Belum banyak yang punya senapan atau pistol. Bisa dipastikan banyak pemuda kena tembak dan roboh karena kalah senjata dan keahlian tempur. Musuh gerilyawan itu adalah tentara berpengalaman dalam Perang Dunia II di Pasifik. Mereka adalah pemenang perang dunia II yang bisa buat mereka besar kepala di Surabaya. Tapi 10 November 1945, adalah mimpi buruk bagi pemenang perang itu. Serdadu Inggris dari Batalyon Pertama Yorkshire Resimen minum birSurabaya. Serdadu-serdadu Inggris tadi, akhirnya hadapi perang kota yang tak kalah ngeri dengan perang mereka terhadap tentara fasis Jepang. Gerilyawan berjiwa merdeka yang Republikan itu memberikan perlawanan terbaiknya pada serdadu Inggris berpengalaman dengan senjata lengkap itu. Modal mereka adalah nekad. Mereka adalahbondo nekad alias bonek sejati. Dimasa kini bonek adalah pendukung klub sepakbola Surabaya yang masih nekad. Mereka bisa membuat kereta api ekenomi bisa berjalan cepat seperti kereta api kelas eksekutif. Lebih cepat dari jadwal. Belum ada Menteri Perhubungan atau Presiden RI yang bisa bikin Kereta api Ekonomi berjalan lebih cepat. Bonek dalam sejarahnya, dalam pertempuran 10 November 1945, tak kalah hebat dari tentara, mereka tidak sekedang bilang "Inggris kita linggis!." Mereka membuktikannnya, melinggis tentara modern dengan susah payah. Tidak cuma bilang, "Djiancuk!" Sumber foto: tropenmuseum.nl
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H