Lihat ke Halaman Asli

Nuansa Bening

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dia adalah…..

Tak ada yang tahu darimana dia berasal. Tak seorang pun tahu. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Memang begitu indah. Illahi memang begitu Agung. Aku makin percaya itu.

Minggu pagi, dia melintas di hadapanku. Ketika aku terduduk di pinggir jalan dengan bukuku. Dan Gasalle disampingku. Aku tak melewatkan kehadirannya. Tepat mukaku dia melintas. Mataku hanya tertuju pada matanya. Dia bersama ibunya kukira. Dua wanita itu berjalan. Begitu anggun. Dan senyum tiba-tiba merekah. Aku lalu sadari itu senyuman terindah yang pernah aku lihat.

Dia berhenti bersama ibunya. Dan tanpa sengaja matanya menatapku. Kami bertukar pandang sebentar. Kunikmati tatap matanya juga. Dia lalu tersenyum padaku. Tidak. Langit sedang meruntuhiku. Aku tak bisa menerimanya kali ini. Kurasa ini untuk pertama kalinya dalam hidupku langit runtuh.

Selanjutnya dia menatap ke arah lain, lalu pergi. Dia berjalan pelan dengan keanggunannya. Dan bayangnya masih tersimpan di kepalaku. Lalu kucoba nikmati bacaan yang kunafikan karena kehadirannya. Ternyata itu sulit. Segera kututup bukuku dan bergegas pergi. Demi perayaan indahnya pagi ini. Kemudian, aku tak pernah melupakan pagi itu. 

Aku selalu bertanya-tanya, kenapa Illahi harus menciptakannya? Dia begitu berbeda. Aku tidak bisa mengingat yang lain ketika bersamanya. Aku seperti masuk dalam sebuah dunia yang mungkin terlalu asing bagiku. Namun itu tetap sesuatu yang menyenangkan.

Ada mata yang sulit dilupakan darinya. Sesuatu yang belum pernah kutemui sebelumnya. Senyum yang sesejuk embun pagi. Mata dan senyumnya selalu dalam pikiranku. Tidak akan lepas dari mataku.

***

Belakangan, sampai juga ke kupingku. Tentang dia yang mengganggu mata dan otakku itu. Dia datang dari jauh. Tepat di seberang pulau ini. Celebes dulu orang sebut. Sebuah pulau dimana besi begitu dihormati, begitu paman pernah bilang.

Dia siswa baru di sekolah kami. Satu tingkat denganku. Pastinya, aku lebih bodoh darinya. Itu adalah kenyataan, mungkin juga takdirku untuk selamanya. Tak apalah aku terima saja dia lebih pintar dariku. Tidak ada yang salah jika wanita jauh lebih pintar daripada pria. Bagaimanapun juga, pria sejak puluhan abad silam lebih bisa berkuasa, juga mendorong wanita urus dapur.

Dari sumber terpercaya, kuketahui dia yang mengganggu mata dan pikiranku itu anak pegawai BPM dulunya. Itu tidak terlalu penting bagiku. Senyum dan matanya adalah segalanya bagiku. Ya. Mata dan senyumnya selalu menari di kepalaku, setiap hari. Yang selalu rasuki hariku dan merusak tidurku yang biasanya lelap.

Aku selalu bersepeda tiap sore. Itu setelah aku membaca buku dan tak sengaja terlelap dibawah pohon dekat bunker Jepang dekat Melawai. Aku baru terbangun ketika sore datang. Setelah itu bersepeda ke Jalan Sekolah. Mengitari lapangan kota. Itu yang kulakukan sepulang sekolah.

Aku biasa melihatnya jalan kaki. Bersama adiknya yang lucu dan menggemaskan. Mereka jelas tak sadari kehadiranku. Semoga tidak. Kepengecutanku, membuatku hanya melihatnya dari kejauhan. Terbesit keinginan untuk mendatanginya dan bergabung. Tapi, aku takut kedatanganku merusak semuanya. Juga merusak senyumnya sore itu. Menatapnya dai jauh jelas lebih indah.

Kepengecutan menguasaku. Aku pengecut beruntung di kala sore. Hanya menatapnya dari kejauhan. Seperti telik sandi mengintai. Dan, pengecut adalah pemenang sore ini. Lalu kukayuh lagi sepedaku pulang. Ketika langit hampir gelap, aku beranjak pulang. Bersepeda sumringah. Dengan mata dan senyum itu.

***

Di pagi yang lain, langit runtuh lagi. Sekolah kami kedatangan mahluk manis. Pikiranku pada pelajaran segera bubar. Aku menatapnya dari jendela. Dia memasuki kelas lain. Langit benar-benar runtuh pagi itu.

Kami satu sekolah. Bodohnya. Aku tidak pernah tahu namanya. Meski mata dan senyum tersimpan aman di kepalaku. Benteng pertahananku semakin terbuka. Aku tak lagi leluasa di sekolah. Aku kehilangan tempat membaca. Takut dia melintas. Aku selalu takut dia ada di sekitarku. Lebih aman dia di dalam kepalaku saja. Dan, aku kehilanga separuh diriku.

Dia, yang mencuri pikiranku, selalu jadi buah bibir minggu-minggu awal dia di sekolah. Semua siswa membicarakannya. Mulai dari anak terpintar hingga terbodoh. Mulai dari siswa-siswa rupawan hingga yang tanpa rupa sepertiku. Aku memilih diam.

Kebisuanku hanya sebuah topeng. Tak seorangpun merasakannya. Aku merasa nyaman dengan kebisuanku. Tentang dia, siswa baru yang kurekam keindahan mata dan senyumnya itu, aku memilih menjadi pendengar saja. Aku merasa jadi semakin bodoh.

Dari mulut orang-orang, aku segera tahu tentang dia yang mencuri separuh diriku. Dia ternyata punya nama. Nuansa Bening namanya.

Kerajaan Surga

Sore ini, kupu-kupu hinggap di kepalaku. Dia hinggap pula di kemaja lusuhku. Dia lalu kitari taman. Dia menari begitu indah di taman itu. Hingga akhirnya, kupu-kupu itu menghilang. Aku mencarinya. Dia lalu muncul tiba-tiba. Dunia begitu damai ketika hanya ada kupu-kupu. Tak ada yang bergejolak dalam diri.

Kunikmati bacaanku lagi. Dimana hanya ada kupu-kupu. Dan, tariannya saja di udara. Itu tak terlalu mengganggu. Tak ada yang lain. Sisanya adalah keheningan disela desir ombak menghantam batu.

Bening muncul seketika. Aku hanya bisa terperanjat. Seperti biasa, aku tak ucapkan sepatah kata pun padanya. Hanya mimik aneh di wajahku. Dan, dia berikan senyumnya lagi. Untuk kedua kali dia muncul.  Mata dan senyumnya tetap saja indah, seperti pertama kali.

Kupu-kupu, lalu muncul di sekitarku lagi. Kupu-kupu seperti sebuah firasat. Kupu-kupu membuat kita merasa. Dunia juga menjadi indah karena kupu-kupu. Kurasa inilah kerajaan Surga.

“Hai,” Bening menyapa. Dan keheningan indah seketika pula muncul. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Dia hanya tersenyum dan mata sendu itu terus mengacau pikiranku. Lalu kupaksa diriku untuk membalas, “Hai.”

Dia tersenyum lagi. Aku segera menyadari keberadaan mahluk lain yang bersamanya. Mahluk mungil yang Illahi ciptakan juga. Aku pun membagi senyum mereka berdua. Mahluk mungil itu melupakan ketakutanku. Aku suka anak kecil, meski tak biasa bermain bersama mereka. Aku takut membuat mereka menangis. Aku sadar wajahku tidak menyenangkan bagi anak kecil.

Aku tidak mau membuat mereka menangis. Tangis adalah siksaan hebat bagi anak kecil. Tangis kadang jadi hal terindah bagi orang dewasa. Aku heran, kenapa anak kecil ini tidak menangis melihatku. Ini kejadian luar biasa. Apalagi anak kecil itu bersama Bening. Tidak, langit runtuh. Rasanya, tata surya sedang porak-poranda saat ini.

Aku menikmatinya. Ini begitu indah. Saatnya kuputuskan agar langit runtuh selamanya. Soal porak-porandanya tata surya ini, tak kuizinkan seorang pun membenahinya. Aku akan marah pada siapa yang membenahi rerunIllahi langit itu. Biarlah dunia berkata. Aku ingin mereka biarkan saja aku bahagia sekarang.

“Kamu sering membaca disini?”tanyanya. Aku segera mendadak kikuk luar biasa mendengarnya.

“Ya. Pulang sekolah aku selalu disini,” jawabku malu. Dia terseyum dan melihat arah lain. Tatap matanya berpaling ke arah kupu-kupu.

“Bagus. Warnanya bagus,”katanya. Dia berhenti bicara sejenak. Sementara aku memilih diam. Mendengarnya lebih menyenangkan. “Baru sekarang aku bisa melihat kupu-kupu sebagus itu,” lanjut Bening.

“Ya. Bagus. Dari tadi dia disini,” kataku memberanikan diri berontak dari kebungkamanku. Bening hanya tersenyum dengan kebeningannya.

“Aku ingat Bantimurung. Banyak kupu-kupu disana. Kupu-kupu dimana-mana,”katanya halus. Aku menyimak seksama. “Kupu-kupu mungkin terasa nyaman disana,” lanjutnya.

Sementara itu, aku menerawang pada sebuah negeri khayalan para kupu-kupu. Dimana sebuah berdaulat negeri tanpa raja. Hanya ada rakyat yang hidup damai. Bunga-bunga tumbuh di negeri itu. Dimana tak akan ada kelaparan karena bunga-bunga bertebaran disana. Aku bayangkan itu indah.

“Dimana Bantimurung itu?”tanyaku. Aku memang tidak pernah tahu dimana Bantimurung sebenarnya. Aku mulai gelisah pada tempat itu.

“Dekat Makassar. Di seberang laut ini.”balas Bening. Mataku segera tertuju ke laut. Aku bayangkan itu jauh. Butuh waktu berhari-hari dan bermalam-malam mendayung kesana dengan perahu kecil.

“Kamu suka laut?”tanya Bening. Sebelum aku menjawab, ia terseyum dan lalu bicara lagi, “aku sering melihatmu disini.” Seketika aku terkejut. Kukira dia tak pernah sadari kehadiranku. Aku seperti ditampar oleh perkataannya. Dia melihatku selama ini.

“Ya. Aku suka pohon, laut dan langit biru, juga buku,”balasku sambil tersenyum padanya. Adiknya hanya asyik dengan bonekanya.

“Aku harus pulang,”katanya sambil tersenyum. Seketika bunga-bunga indah di hatiku segera layu. Langit runtuh pun harus kembali tertata. Sedikit menyakitkan juga. Aku hanya bisa sembunyikan kesedihan kecilku dengan senyum. aku merasa harus sadar, beginilah hidup. Tak mungkin dia terus bersamaku. Tak mungkin juga selamanya dia terus buat aku bahagia. Dan, tak mungkin juga langit runtuh setiap hari. Ada bahagia dan derita dalam hidup. Begitulah kenyataannya.

Sementara, Bening berjalan lamban menuntun mahluk kecil lucu itu. Dia begitu anggun. Sebelumnya, aku belum pernah melihat wanita seperti dia sebelumnya. Ini pertama kali dalam hidupku. Ya rasanya begitu indah. Seperti Bantimurung negeri kupu-kupu itu.

“Hai, aku suka cerita Bantimurungnya,”kataku pada Bening. Dia berbalik dan tersenyum. Dia lalu lambaikan tangannya tanda perpisahan di hari itu. Adiknya yang lucu itu juga ikut lambaikan tangannya yang mungil. Aku hanya balas membalas lambaian tanga mereka dengan senyum. Mereka berbalik dan berjalan lagi hingga hilang dari mataku.

Segera kurobohkan tubuhku ke hamparan rumput hijau. Dimana rumput menyambut tubuhku. Baru saja, kualami peristiwa luar biasa. Dan, aku berjanji untuk terus menyapanya. Masa depan makin cerah sekarang.

Dunia semakin indah saja rasanya. Apalagi semua yang ada padanya. Nuansa Bening. Itulah kata yang tepat untuk mewakili sebuah keindahan dan perasaan yang nyaris tak bertepi.

***

Illahi sudah begitu adil dan juga sayang padaku. Illahi buat hidupku selalu punya arti, meski aku jarang ke langgar. Jelas sekali Illahi adil padaku, setiap hari, aku selalu nikmati ciptaannya yang tiada tara. Itu Illahi berikan dengan percuma.

Illahi membiarkanku bodoh di kelas. Bukan kerugian besar buatku. Beruntung Illahi membiarkan manusia membuat buku dalam sejarah manusia. Itu barang berharga. Aku hanya punya beberapa buku bacaanku. Aku suka sekali pada roman-roman. Terbayang olehku suatu hari aku jadi pujangga. Seperti Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Mereka begitu hebat di kepalaku. Jauh lebih hebat daripada Descartes atau Einstein. Merangkai kata hal luar biasa bagiku, ketimbang membelah atom.

Aku adalah mahluk yang tidak percaya jika Illahi bertahta di langit. Jelas sekali Illahi berbeda dengan raja-raja dimasa lalu yang doyan bercinta. Dimana raja selalu ingin diatas dan tidak ingin dibawah. Illahi yang jauh lebih heibat, maha heibat bahkan tak menginginkan punya kelakuan. Illahi selalu ada.

Illahi, kata pengikut Jesus, punya kerajaan di Surga. Bajingan Romawi pernah bertanya pada Jesus. Sebelum menyalibnya, “Mana kerajaanmu?” Tanya bajigan Romawi. Kerajaanku bukan di dunia, tapi di Surga. Bajingan Romawi kesal dan bermaksud menghina Jesus. Diberikan pada Jesus sebuah mahkota tanaman berduri. Itu adalah mahkota terindah yang pernah ada. Meski remeh, karena Jesus memakainya, mahkota itu pun indah.Aku bukan Kristiani. Tapi, aku suka cerita itu. kerajaan Surga begitu menarik perhatianku.

***

Aku suka menulis puisi. Ketika aku menulis, tak seorangpun bisa menghentikanku. Aku merasa terlahir untuk itu. Meski aku selalu merasa puisi selalu buruk dimataku. Tapi menyenangkan ketika menuliskannya

Aku selalu mengirim puisiku ke Koran-koran. Aku tidak pernah yakin mereka mau menerima. Dan tak ada jawaban mereka memuat atau membuang puisiku ke tong sampah. Tapi aku tak pernah berhenti menulis. Ini adalah duniaku yang sebenarnya

Nuansa Bening, rasanya aku mulai menulis karenanya. Juga untuknya. Hanya dia. Sebelumnya aku hanya hidup dan menulis untuk apa yang aku tulis. Sekarang adalah untuknya. Ini karena dia begitu berharga.

Dan lainnya membuatku ingin terus menulis. Aku seperti ingin menulis tentang kerajaan Surga. Dimana hanya ada damai, aku dan Nuansa Bening saja. Yang lain hanya penonton sekaligus tontonan bagi kami.

Kerajaan Surga, seperti negeri Utopia. Seperti cerita orang Merah kota ini padaku. Negeri dimana semua adalah sama. Damai seperti dunia kupu-kupu di taman berbunga. Sekaligus dunia yang mustahil dan tidak pernah ada, begitu kata pamanku.

Di kepalaku, negeri itu ada. Tidak di kepala orang lain. Dan taman ini adalah negeri itu ketika tidak ada orang lain. Negeri utopia. Kerajaan surga itu. Aku adalah raja di tempat ini. Dan, ketika Nuansa Bening datang, dia adalah putri dari Negeri Nun Jauh dari seberang. Dia tamu teragung di taman ini. Tentu saja, dia adalah tamu terindah di hatiku. Kupu-kupu, adalah rakyat yang kulayani. Mereka bebas berkeliaran di taman ini. Mereka tidak perlu bayar upeti padaku. Tidak ada titah-titah yang bikin susah.

Mereka, rakyat kupu-kupu yang kumuliakan boleh mengganggu ketika Raja mereka—tak lain adalah aku, dan tuan putri—yang tentu saja Bening, ketika kami berduaan di taman. Setelah berhitung untung-rugi ala Yahudi, aku jelas untung ketika kupu-kupu itu berada diantara kami berdua. Mereka terlihat seperti dayang-dayang dan pengawal yang menjaga kami berdua. Dan itu akan tampakkan wibawaku bersama Bening. Dan, aku akan seperti raja sejati yang bertahta dalam singgasana Kerajaan Surga ini.

Nuansa Bening, yang mata dan senyumnya paling indah sejagat ini, hanya dia yang berhak bersanding denganku. Begitulah sejarah yang akan aku buat. Sejarahku, ada ditanganku. Sejarawan dimasa depan akan mengenang kejayaan ini. Kerajaan surga adalah yang terbaik dari semua kerajaan yang pernah ada di dunia. Tak akan ada yang bisa menandingi kerajaanku, kerajaan Surga.

Aku jelaskan lagi. Tidak ada polisi. Tidak ada hukum yang bisa dibeli. Itu karena semua rakyat dan juga aku sebagai raja, selalu berusaha sampai mati untuk berpikir adil.

Pertama kali Langit Runtuh

Inilah kotaku. Begitu menyengat ketika matahari melintas tepat diatas kepala. Angin lautnya akan berhembus sejuk kala sore. Kota kami punya sungai-sungi kecil yang kering. Kami jarang berenang di sungai. Kecuali jika hujan datang. Kami lebih suka bermain ditepi pantai-pantai kecil yang lingkupi Balikpapan. Sebenarnya, kota kami adalah kota pantai yang begitu tenang. Aku lebih suka habiskan soreku disebuah tepian dekat pelabuhan.

Aku biasa bersepeda kesana. Gasselle milik paman selalu bersamaku. Kemanapun. Dan, pamanku yang baik hati itu selalu lupa bahwa dirinya pernah punya gasselle, vespa telah membuatnya terlupa akan gasselle-nya itu. Gasselle ini dibeli dari tabungan gajinya. Ketika itu paman kerani muda BPM. Dia rasakan kemakmurannya yang terlalu belia.

Aku bukan anak pintar di kelas. Hanya buku saja kawan setiaku, tiada lain. Kawan yang lain terlalu sibuk dengan pelajaran mereka. Aku tidak. Aku hanya bocah beruntung setiap kenaikan kelas. Tidak pernah tinggal kelas. Meski beberapa guru tidak menyukaiku, karena keacuhanku pada pelajaran mereka.

Di kota ini, aku adalah mahluk aneh. Tak seorangpun hiraukan aku. Setidaknya, aku terbebas dari gangguan mereka. Aku bisa membaca lebih tenang. Bisa menulis puisi di kertas-kertas kosong. Sudah pasti di kerajaan surga. Dekat bekas bunker serdadu Jepang yang kalah puluhan tahun silam.

Beberapa hari terakhir, dia selalu hadir dalam puisi-puisiku. Bayang-bayangnya juga selalu menyapa sebelum aku terlelap. Aku kadang mengharapkannya hadir di kerajaan Surgaku. Tapi aku tak mau berharap lebih agar dia selalu datang ke kerajaanku. Terlalu berharap akan membunuhku suatu hari nanti. Lagi pula, langit tidak mungkin runtuh setiap hari. Aku takut dia akan bosan padaku jika langit runtuh setiap hari.

Hari-hariku kuhabiskan seperti biasa. Ke sekolah, lalu bertahta di kerajaan surga, lalu habiskan sore berkelana dengan Gasselle keliling Balikpapan yang mungil. Setelah pengembaraan seharian itu selesai, aku kembali pulang ke rumah paman yang mungil. Setelah makan malam bersahaja dengan paman dan istrinya yang penyayang itu, aku terlelap hingga pagi. Sebelum terlelap, buku selalu dalam mataku tiap hari.

Belakangan bayangnya, dengan mata dan senyum indah itu, selalu mengganggu pikiranku. Biasanya, dalam dua atau tiga hari, aku bisa rampung membaca satu buku, maka tak satu pun buku selesai kubaca dalam seminggu. Aku tampak kacau. Bening telah mencuri separuh diriku. Sebuah kehilangan yang begitu indah. Sebenarnya aku rela dia mencuri semuanya. Biarlah dia membawanya separuh saja. Dan dia boleh mengambil sisanya kapan saja dariku. Karena dia adalah permaisuri dan juga ratu atas kerajaan Surga, tempatku bertahta nanti.

***

Aku mengayuh Gasselle ku seperti biasa. Aku berpapasan dengannya lagi. Becak mengantarnya ke sekaloh. Sial, dia melihatku. Langit serasa runtuh berkeping-keping. Tidak. Dia begitu indah. Masih manis senyumnya. Matanya tetap indah.

Aku ingin selalu menjadi awan putih yang lucu baginya. Yang memastikan Dia tersenyum kapan saja. Yang dari atas menyaksikan pancaran auranya dari atas. Dia seperti embun yang menyejukan. Aku tak mau menjadi panas matahari yang memecah sejuknya embun itu.

***

Sore  mulai datang. Terusir sudah siang terik yang seharian membakar Balikpapan. Aku baru saja tinggalkan singgasana dan rakyat kupu-kupu di kerajaan surga. Aku melintasi Melawai. Dimana air laut perlahan mulai naik.

Hatiku ceria taktertahan. Nuansa Bening disana.  Menatap ke timur. Kami berbagi senyum. Lalu duduk berdua dibawah naungan sore. Aku ingin membuka pertanyaan. Jangan dia lagi.

“Apa yang sedang kau pandangi?”tanyaku.

“Negeri indah di seberang sana.”katanya

“Pernah kesana?”tanyaku.

Aku dari sana, katanya. “Dulu orang-orang dari injakan kaki ke Pulau ini. Mereka kemari dengan kapal kayu.

“Ada apa saja disana?” Tanyaku dengan wajah bodoh.

“Sebulan sebelum kemari, ayah mengajakku ke Bantimurung. Banyak kupu-kupu disana,”katanya. Aku segera ingat dia pernah cerita soal negeri itu.

“Ya. Negeri kupu-kupu. Seperti kerajaan surga dalam khayalku,”kataku spontan. Bening segera menatapku. Dia tampak heran dan juga agak tertarik.

Bantimurung adalah negeri serangga. Ribuan bangsa serangga hidu di sana. Dimana serangga hidup damai bersama manusia.

Suatu Sore

Aku selalu nantikan sore. Dimana semua terasa damai. Penuh keceriaan tanpa dosa. Anak-anak tertawa riang. Ada yang berlarian di taman. Ada yang sedang disuapi ibunya sambil bermain. Dunia anak kecil begitu menyenangkan.

Konser bubar. Semua penonton kembali pulang. Tapi pikiranku tidak ingin pulang. Bersamanya akan jauh lebih indah. Itu yang aku harap akan terjadi. Aku pandangi segala penjuru. Mencarinya. Aku menemukannya.

Aku lupa langit makin mendung. Aku terlalut terbuai, jika bersamanya pertanda langit sedang cerah. Bahkan, menurutku pula, langit sedang runtuh. Jadi tidak penting langit mendung atau cerah bagiku sekarang.

Hujan datang. Seluruh kota bersuka-cita. Aku mengajaknya pergi. Gazelleku meluncur ke rumahnya. Entah kenapa pikiranku kesana? Tanpa kutanya dulu padanya. Aku lupa, harusnya aku bisa mencari tempat untuk berteduh. Tapi itu tidak mungkin. Hari hampir senja.

Hujan membuat kami basah. Tetap saja itu tak hentikan kakiku terus mengayuh pedal gasalle. Jarak rumah Bening dengan Benua Patra tak begitu jauh. Jadi bukan mesalah mengayuh gazelle, demi mengantarnya.

Sampai depan rumahnya sepeda kuhentikan. Langit akan tertata kembali sepertinya. Aku mulai takut. Aku harus kembali pada kesunyianku.

“Terimakasih,” katanya. Aku tersenyum. Rupanya dia belum selesai bicara. “kamu lucu katanya.”

Aku tak percaya jika aku telah melakukannya. Aku melambung. Jauh ke angkasa. Setara awan sekarang. Aku merasa bahagia. Aku merasa jadi awan putih lucu. Dan kuputuskan dari sekarang, aku ingin menjadi awan putih lucu untuknya. Selamanya.

Kepadanya, aku ingin menulis: “Senyum pagi melintas bersama tetesan embun. Dalam sejuknya menanti hangatnya matahari. Lalu melintasi sore ceria di taman kupu-kupu. Hidup jadi terasa indah jika setiap hari seperti itu.

Awan Putih Lucu

Aku terlahir dengan rupa jauh dari tampan. Tidak hebat pula. Tak satu harta pun aku punya. Semua milik Illahi yang dititipkan pada pamanku. Jika ada yag bertanya, “aku punya apa?” Aku hanya bisa bilang, “yang aku punya hanya diriku.”

Inilah diriku. Aku hanya nikmati alam raya ini setiap hari. Dalam hembusan angin. Dalam rintik-rintik hujan. Dibawah naungan teriknya matahari.

Aku tahu kau jauh lebih dariku. Itu mungkin tak berarti bagimu. Illahi itu adil. Itu juga mengapa aku selalu percaya padaNya. Dia ciptakan semua adalah sama. Hanya sebagian menusia menyukai kasta. Dimana mereka bangga jadi lebih dan yang lain lebih rendah. Aku dan dia adalah sama. Lupakan soal dia yang manis dan aku yang buruk rupa.

Padamu, Nuansa Bening: Aku hanya bisa berusaha menjadi yang terbaik untukmu. Aku ingin menulis puisi-puisi untukmu. Jauh lebih monumental dari yang ditulis Amir Hamzah atau Chairil Anwar. Bersama sepedaku pula, aku akan memboncengmu kitari Balikpapan yang mungil ini. Semua orang akan melihatnya. Semua orang akan iri. Semua orang akan cemburu padamu jika waktunya tiba.

Dulu, banyak wanita terpelajar bisa dipikat dengan puisi. Kian lama, daya pikat puisi mulai menghilang. Meski beberapa wanita masih cinta pada puisi. Tapi itu bukan alasan mengapa aku menulis puisi.

***

Kota ini begitu panas meski sedang musim penghujan. Tetap saja kami harus masuk sekolah. Meski keresahan melanda separuh kota, sebagai anak-anak kami tetap bisa tersenyum. Jelas saja kami bisa. Kami bukan bagian dari kegelisahan kota. Kami hanya bocah-bocah yang ingin belajar dan tertawa pada banyak hal. Gasella dan aku masih bisa berkeliling kota. Meski begitu ada rasa kehilangan pada kota ini. Seketika keramahan hilang.

Beruntung, langit masih mau runtuh padaku. Meski tidak setiap hari. Bening masih bisa tersenyum padaku. Aku belum kehilangan dunia ini. Aku sering melihatnya naik becak. Bersama adiknya. Dia dari arah pasar Klandasan menuju rumahnya. Aku melihatnya dari jauh. Tentu saja aku tak ingin dia melihatku.

Meski pernah mengantarnya pulang ketika hujan akan datang, tetap saja aku malu. Aku yakin tidak akan bisa melakukan itu lagi. Itu semua terjadi hanya sekali. Hal terindah itu mungkin pertama dan terakhir bagiku. Aku tidak yakin akan terulang lagi. Langit tak mungkin runtuh lagi. Yang pernah terjadi ketika hujan datang, kupikir adalah kebetulan. Segera aku terjebak dalam ketidakyakinanku itu.

Aku mulai bertanya pada Illahi. Kenapa dia (Nuansa Bening) harus diciptakan? Aku belum temukan jawaban atas pertanyaan itu. Aku masih mencari jawaban itu. Dalam hidupku, ini adalah pertanyaan terbesar yang paling sulit. Illahi sudah ciptakan banyak hal, mulai dari langit, lautan, pepohonan hijau dan lainnya. Semua begitu indah. Tapi, mengapa Illahi juga ciptakan dia juga. Dia, sebagai ciptaan Illahi yang tidak kalah indahnya daripada ciptaan Illahi yang lainnya.

***

Siang begitu panas seperti biasanya. Seperti biasa, aku keluar kelas paling akhir. Sambil kunikmati bacaanku. Setelah memastikan semua kosong, halaman kutandai dengan sebuah kertas kecil lalu buku kututup. Kelas kutinggal.

Kususuri koridor sekolah kami. Hijau pepohonan kutatap. Pemandangan yang begitu menyejukan mata. Dan, gerombolan berandal sekolah sedang berkumpul di sarang mereka. Dibawah pohon besar. Itulah kuil suci mereka. Tak satupun siswa mau ke pohon itu. kecuali pegikut gerombolan. Mereka sedang tertawa. Dunia mereka penuh tawa. Ketika aku lewat mereka masih tertawa sambil menatapku.

Aku hampir mencapai gerbang. Mataku langsung tertuju ke arah luar. Aku terperanjat dan berjalan mundur. Gerombolan segera memperhatikanku.

“Kenapa Bung? Takut ya?”kata ketua gerombolan sekolah kami. Dia jago berkelahi dan berwajah sangar. Aku terperanjat lagi mendengar kata si ketua. Anggota gerombolan lain hanya tersenyum namun dengan mata tertuju padaku. Mereka tahu jika aku tak berani melangkah ke depan karena Bening. Aku menatap ke arah mereka dan tersenyum. Aku percaya mereka tak akan menggangguku.

“Sudahlah Bung, sana datangi saja. Dia tak akan mengigitmu!” kata ketua gerombolan sambil tertawa. Diikuti anggota lain yang juga tertawa. Benar juga kata mereka.

“Ayo Bung! Nanti Bung nyesal?”kata anggota gerombolan menimpali.

“Sudah Bung, kali saja dia sedang rindu padamu,” kata anggota lain.

Seruan jahil itu seperti membakarku. Segenap keberanianku kukumpulkan lagi. Aku maju lagi perlahan. Dengan langkah sedikit lebih pasti. Dengan detakan jantung yang tak seperti biasanya. Dengan kaki yang seperti akan copot.

“Kami merestuimu anak muda!!! Illahi bersamamu selalu…”kata ketua gerombolan dan anggotanya tertawa. Sebuah hiburan untuk mereka lagi. Mereka seperti sudah tahu isi hatiku pada Bening. Meski aku tak pernah beritahu siapapun.

***

Aku meraih Gaselle-ku. Lalu menuntunnya perlahan ke gerbang. Bening berdiri disana. Dia tersenyum padaku. Pada wajahku yang selalu bodoh didepannya. Aku berhenti tepat di depannya. Langit rntuh lagi hari ini.

“Masih disini?”tanyaku. Bening tersenyum seperti biasa. “Nunggu becak?”tanyaku padanya lagi.

“Iya. Sudah setengah jam,”jawabnya. “Kamu masih disini?”tanya Bening padaku. Aku tak menjawab dan hanya tersenyum. Dia tampak tak kecewa ketika tak kujawab pertanyaannya. Dia cukup mengertiku. Cukup dengan membaca senyumku.

Aku mendadak jenius padanya. Aku punya ide. Tapi sulit mengatakan padanya. Dan, kukumpulkan lagi keberanianku. Perlahan kucoba bicara padanya. Aku nyaris gagap kali ini.

“Mau, kuantar?”akhirnya selesai juga kuucap meski terpatah-patah. Bening tersenyum.

“Kamu tidak pulang?”tanya Bening dengan logat Bugisnya.

“Bibiku tak akan marah jika aku terlambat pulang,”kataku dengan lancar.

“Ibumu?”tanya singkatnya karena penasaran. Aku tak menjawab dan mencoba tersenyum. Dia berhasil membacaku lagi. Dia tahu aku tak suka pertanyaan itu.

“Tidak apa-apa?”tanyanya padaku atas tawaran mengantarnya. Aku hanya tersenyum.

“Iya. Ayo,”ajakku. Dia pun beranjak ke sepedaku. Dia lalu mengambil buku yang masih kugenggam. “Aku pegangkan,”katanya. Dia lalu segera naik ke sepeda. Langit runtuh lagi siang ini.

Segera kukayuh sepedaku. Gasalle menggelinding di aspal kota kami yang mungil. Sepeda meluncur agak kencang menuruni Gunung Pasir dan menuju jalan ke kantor kota Praja.  Berharap walikota akan jadi saksi bahwa aku sedang membawa gadis paling manis di jagat ini. Gadis yang punya mata dan senyum paling indah dimuka bumi ini.

Rupanya, Bening membaca kulit muka buku yang kubawa. Nyanyian Laut. Karya hebat Yukio Mishima. Aku baru membacanya separuh. Halaman-halaman pertama meyakinkanku bahwa karya ini hebat.

“Yukio Mishima, apa dia dari Jepang?”tanyanya. Meski sedang asyik mengayuh aku tetap mendengarnya.

“Ya. Dari Jepang. Dia penulis hebat. Dia juga menulis Kuil Emas. Sudah perah baca?”tanyaku.

“Tidak. Aku jarang baca novel. Aku lebih suka tumbuh-tumbuhan,”jawabnya.

Kami berdua tertawa diatas Gaselle.

“Tak sempat baca novel?”tanyaku sambil mengayuh.

“Begitulah,”jawabnya sambil tersenyum.

Gazelle terus meluncur. Sampai depan rumahnya, dia turun. Seperti biasa dengan senyumnya yang manis. Juga matanya yang tak ada penandingnya.

“Terimakasih,”katanya. Aku hanya membalas senyum dan menghilang dari matanya.

***

Matahari pun berarak dari arah timur. Sore hampir tiba. Kami errsepeda seperti mengejar matahari sore sebelum dia menghilang di ufuk berat sana. Berharap kami dapat menjemput senja bersama. Tapi, aku tak bersama Benang sore itu. Hanya laut yang tersaji dimataku. Aku habiskan sore seperti yang sudah-sudah. Di kerajaanku yang damai. Tamanku. Bersama rakyat kupu-kupu yang damai.

“Masih disini?”suara indah seketika muncul dari belakangku. Segera kukenali suara itu sebelum aku berpaling ke belakang. Sosok pemilik suara itu muncul tiba-tiba. Aku segera menyadari kehadiran Bening. Seketika langit runtuh lagi sore itu. Bening datang. Dengan senyum dan sebungkus sanggar.

“Ya. Selalu sampai sore,”balasku. Bening tersenyum. Menatapnya seperti menatap rerunIllahi langit. Kesombongan langit seketika runtuh ketika Bening ada disekitarku. Aku serasa memiliki segalanya. Tak kuinginkan lagi seisinya. Hanya dia. Dimana lidahku seketika kaku.

“Ibu bikin sanggar ini tadi,”kata Bening sambil menunujukan sanggar dalam bungkusannya.

“Ya, ayo kita makan di tepian,”ajakku dengan berhati. “Matahari sore begitu hangat disana,”lanjutku.

“Ayo,” kata Bening. Seperti biasa dia selalu tersenyum.

Aku meraih Gazelle. Bening lalu naik dibelakangku. Kami meluncur ke tepian Melawai. Tidak jauh dari kerajaan Surgaku. Sore begitu menghangatkan. Hatiku luar biasa cerah. Namun sulit aku perlihatkan kesumringahanku atas apa yang kualami. Aku serasa masuk dalam novel Nyanyian Laut karya Mishima yang kesohor itu.

“Disini,”kataku. Gazelle kuhentikan dan kutaruh. Bening sudah duduk diatas pasir. Dia begitu manis. Dan, aku ingin jadi awan putihnya sore ini.

“Ayo makan,” ajak Bening. Aku segera menu padanya.

Perlahan dia gigit dan kunyah dengan lezat sanggar bikinan ibunya. Sanggar masih hangat. Sehangat sore ini bersamanya.

“Apa di tanah Bugis ini disebut Sanggar?”tanyaku sambil menunjukan pisang goreng dan mengunyahnya.

Disana, orang bilang ini Sanggara,” balas Bening.

Kami tak saling menatap. Kami begitu malu bertukar pandang. Mataku, juga matanya tertuju mata laut. Namun, dalam birunya laut aku melihat matanya. Begitulah dalam benakku. Tetap saja dia begitu indah.

“Kamu tidak dicari ayah-ibumu?”tanyaku.

“Dia malah suruh aku antar sanggar ini untukmu. Dia tahu kamu selalu disana,”kata Bening sambil menujuk arah tamanku. Kerajaanku.

“Itu tempat terindah di kota ini,”kataku sambil tersenyum.

“Kenapa begitu?”tanya Bening.

“Taman itu tenang. Banyak kupu-kupu hinggap. Meski tak sebanyak Bantimurung yang kau ceritakan. Aku merasa itu seperti kerajaanku. Aku merasa seperti raja disana,”jelasku sambil tertawa kecil. Bening juga tertawa mendengarnya. Mataku jadi kurangajar mendengar tawanya. Aku segera menatap matanya. Dia tidak peduli dengan kekurangajaranku. Matanya begitu teduh. Setelah laut tenang dibawah purnama.

“Ya. Aku suka tempat itu,”kata Bening. Matahari hampir hilang. Terpikir olehku untuk segera ajak Bening pulang.

“Sudah sore,”kataku. Dia tersenyum dan mengerti hari akan jelang senja.  “Kita harus pulang,”lanjutku.

“Ya, waktunya mandi,”balas Bening.

Bersama Gazelle kami meluncur pelan ke rumah Bening. Sore serasa begitu indah besamanya. Aku tak merasa takut ketika kami akan berpisah sore itu. Tetap saja itu indah. Sampai depan rumahnya, Bening turun. Ibu dan adiknya sedang bermain di halaman depan rumah mereka. Sore juga begitu indah untuk mereka.

“Sampai jumpa lagi sang raja,”canda Bening dengan senyumnya yag luar biasa teduh.

“Sampai besok Tuan Putri,”candaku yang agak kurangajar.

Gazelle lalu membawaku susuri kota Balikpapan yang damai. Melintasi Pasar Klandasan lalu menuju sebuah jalan besar yang dulu disebut Erakan Straat. Sepanjang jalan kukayuh gazelle seperti pemenang perang. Terlintas dalam pikiranku untuk menuliskan sebuah puisi lagi untuknya.

***

Aku sulit terlelap malam ini. Ada yang berontak di otakku. Gelisah juga melingkupiku. Aku harus menuliskan sesuatu. Kamarku gelap, jadi aku harus keluar. Kuraih buku harianku. Segera aku mengendap-endap keluar rumah. Aku menuju kebawah tiang Aniem. Dimana kutemukan cahaya.

Sejenak aku berusaha menata isi hati dan kepalaku. Aku tak pedulikan gonggongan anjing. Malam menuntunku dalam naungan bintang. Bayangan Nuansa Bening yang sedari tadi mengganggu tidurku segera mempengaruhiku.

Aku segera menulis. Bukan lagi dengan tanganku, tapi juga dengan hatiku. Aku tahu puisi ini tidak aka sehebat Karawang Bekasi-nya Chairil Anwar dua dekade silam. Tak juga seindah puisi-puisi Amir Hamzah.

Akhirnya, sebuah puisi pendek kurampungkan. Tergores dalam buku harianku. Sudah pasti, puisi ini kupersembahkan untuk Nuansa Bening. Karena itu, judul puisinya Untuk Nuansa Bening, setelah lama memikirkan judul apa yang paling bagus. Namun, aku kemudian aku hanya memilih judul yang sederhana saja.

Untuk Nuansa Bening

Kemarin,

Ada yang lain ketika kau melintas

Dimana langit runtuh

Dan, puing-puingnya melingkupiku

Kini,

Langit tertata kembali

Langit begitu angkuh

Dalam doaku,

Kupinta padaNya slalu

Runtuhkan langit untukku

Setelahnya, tak seorangpun boleh menatanya kembali

Balikpapan, Januari 1965

Puisi itu bukan hal terbesar yang akan kuberikan padanya. Pastinya, aku ingin menjadi awan putih lucu yang memastikannya tersenyum setiap hari. Selamanya. Senyumnya adalah hal terindah di muka bumi yang Illahi ciptakan.

Padanya, aku hanya berani bergumam, “Nuansa Bening, akulah awan putih lucu untukmu.”

Februari Kelabu

Februari datang lagi tahun ini. Bulan kasih sayang katanya. Entahlah? Aku tak pernah peduli soal itu. Kata orang itu dari barat. Orang Timur tak kenal bulan semacam itu. Kasih sayang adalah bagaimana berbagi rasa, bukan bagaimana merayakannya. Kata orang lagi, Februari itu indah.  Rasanya, Februari tahun ini begitu berbeda.

Bulan ini begitu berbeda bagiku. Meski aku masih sama seperti masa sebelumnya. Aku tergolong manusia tak tahu malu. Itu anugerah terindah dari Illahi. Aku punya kelakuan ala orang Yahudi, yang tak tahu malu. Terserah apa kata orang! Tak tahu malu membuat orang Yahudi cerdas dan unggul. Semua orang juga tahu, tak tahu malu membuat mereka menguasai dunia. Tak apa jika disamakan dengan mereka. Sebenarnya, aku merasa minoritas di kota ini. Bukan karena bahasa atau warna kulit. Ini karena ketidakacuhanku pada kotaku. Aku seperti orang gila yang tidak layak jadi perhatian warga kota kecil ini.

Usiaku membuatku tidak menyadari apa yang terjadi. Kaum merah mulai panas. Mereka inginkan sebuah perubahan. Dimana tidak orang miskin. Semua orang punya rumah. Tak seorang pun akan jadi gelandangan. Dunia yang begtu indah.

Kaum merah selalu mengajak orang beparade. Orang-orang yag merasa merah sering berkumpul. Mereka mendengar agitator berteriak, sama rata sama rasa.

Kota kami punya seorang jenderal. Dia orang penting di Borneo. Dia begitu dihormati disini. Ada yang bilang dia merah. Dia perwira yang cukup dihormati. Dia suka berburu. Dia rela menyusuri hutan Borneo yang begitu lebat. Jederal Kecik jago tembak juga. Dia bekas mahasiswa sekolah dokter yang terjebak revolusi Indonesia. Dia ikut dalam perang hebat 10 November 1945. Revolusi membuatnya jadi Pahlawan Perang. Dia lalu pilih jadi tentara. Dia sangat setia pada Bung Karno. Tentara memang harus setia kepada Pemimpin Besar Revolusi kita.

Ada yang bilang Jenderal Kecik merah. Dia dekat dengan kaum merah. Jenderal juga tak suka pada orang-orang asing yang rakus. Jenderal tahu ada jenderal main belakang. Itu jenderal tidak setia pada Presiden. Itu jenderal bisa dibilang kaya. Kalau Jenderal Kecik mau, dia bisa ikut kaya. Tapi jenderal Kecik pilih setia pada Bung Karno. Karena selayaknya tentara setia dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi.

Suatu hari Kecik ke Jakarta dan tak pernah kembali lagi ke kota kami. Kaum merah pun kehilangan. Jenderal baru datang. Dia tak terlihat seperti tentara. Dia terlihat seperti juragan ikan kaya di kampong Baru. Jenderal baru tidak disukai beberapa perwira bawahannya. Mereka tampak kurang hormat. Hingga suatu hari sang jenderal kurung perwira-perwira tak setia itu.

Kepergian Jenderal Kecik, jelas bikin kaum merah kehilangan. Suatu hari kaum merah bikin merah kota kami. Kebun Sayur dibakar. Setelah itu kaum merah ditangkapi. Hingga terdengar kabar ada jenderal dibunuh di Jakarta. Katanya ulah kaum merah. Diantara jenderal yang terbunuh, ada jenderal yang tak setia pada Pemimpin Besar Revolusi. Yang terjadi kemudian adalah, mereka saling bantai. Tapi karena tak seimbang pembantaian itu menghabiskan banyak kaum merah.

Aku tak bisa menghindari percakapan orang-orang tentang panasnya kota. Selalu ada yang bilang: “orang merah kasih beras. Orang merah baik hati. Orang merah peduli pada kita.” Begitu kata mereka. Aku tak paham apa kata mereka. Aku hanya merasa hidupku baik-baik saja. Ya. Mereka, orang yang simpati pada kaum merah itu memang susah dapat beras. Belakangan aku baru tahu, Marx pernah bilang: perdamaian dunia terletak pada masalah perut. Aku belum sadari itu.

Aku memilih tak peduli dengan apa yang terjadi. Keramaian berhawa panas ini agak mengerikan. Aku tidak menyukainya. Bukan karena tak ingin mengerti atau tak peduli, seperti separuh isi kota ini. Hanya karena aku tidak suka keramaian. Aku benci pada keramaian. Keramaian semakin menggangguku. Kota ini semakin ramai. Aku semakin terganggu.

Beruntung kerajaanku tak terganggu. Tak satu pun dari kaum merah tahu. Mereka tak menyentuh sedikitpun kerajaanku. Kaum merah hanya bersorak di siang hari. Sore mereka lebih memilih pulang ke rumah dan bercengkrama dengan keluarga mereka.

Di kerajaanku, rakyatku masih tentram. Mereka masih bahagia dengan negeri mereka yang mungil. Bunga-bunga masih terhampar indah.

Untung aku belum cukup umur. Jadi, politik yang makin panas bukan perkara penting. Tiada yang lebih menyenangkan selain sastra. Itulah yang membebaskanku. Aku belajar pahami hidup dengan itu. Sastra seperti rangkuman hidup dalam sebuah bahasa yang indah. Dan imajinasi adalah bayangan hidup.

***

Februari kali ini begitu aneh. Kota panas. Firasat melingkupiku. Langit seolah tak biru lagi di benakku. Seolah hal buruk akan datang padaku. Meski ada ketakutan, aku menjadi tidak sabar apakah buruk itu. Aku tahu hal buruk itu tak lagi bisa dihindari.

Seperti biasa, aku tetap jadi diriku. Bersama buku, bersepeda dan juga bayang-bayang Bening yang selalu menyapa kapan saja. Aku ke sekolah setiap hari. Tanpa beban meski hanya duduk dan pikiran melayang kemana-mana.

Aku tak pernah membawa tas ke sekolah. Hanya ada beberapa buku ditanganku. Seperti biasa, setelah kutaruh sepedaku dan menguncinya, aku akan berjalan susuri koridor gedung sekolah kami. Dimana aku bisa melihat murid-murid lain berkumpul. Seperti biasa, para pelajar akan berlarian atau bersenda-gurau sebelum guru masuk ke dalam ruangan.

Aku berjalan pelan. Tiba-tiba aku tersadar. Bukuku terjatuh. Aku balikan badanku. “Tidak!”kataku dalam hati. Bening sudah memungutnya dan berlalu. Aku mendadak jadi pengecut lagi. Aku tak berani mendekati Bening dan meminta buku itu padanya. Aku mendadak kacau.

Dalam kekacauan aku hanya bisa bersembunyi. Seketika jantungku berdetak kencang.Dari tempatku bersembunyi aku mengintip. Gila. Dia sudah membacanya. Mungkin hatinya sedang digerakan untuk membuka lembaran demi lembaran dalam buku itu. Dan dia membacanya tanpa gangguan dari siapapun. Buku harianku. Dimana semua perasaan dan hatiku tertumpahkan disana. Aku serasa ditelanjangi. Aku merasa malu. Lebih takut lagi jika akhirnya dia marah. Menaruh hati padanya adalah hal yang paling kurang-ajar bagiku.

Aku masih mengintip. Aku perhatikan raut wajah Bening diam-diam. Ketika guru masuk kelas, pelan-pelan buku itu dia masukan ke tasnya. Bening masih memperlihatkan wajah tenangnya. Tapi aku merasa dia menyimpan amarah besar padaku. Aku semakin ketakutan.

Sepanjang pelajaran pikiranku kacau. Aku hanya diam. Tak seorang pun tahu kekacauanku. Semua tahu aku hanya bocah pendiam.

Ini memalukan. Dia sudah tahu. Dan, aku diantara seisi kota kecil ini, aku adalah yang paling memalukan. Sepanjang hari aku mengutuki diriku. Hari ini adalah yang terburuk dalam hidupku. Aku segera takuti banyak hal. Dia mungkin akan marah padaku. Atau setidaknya dia memperolokku. Ini adalah kiamat besar. Dunia benar-benar berakhir. Langit tak akan perenah runtuh lagi.

Dia masih di kelasnya. Aku memandang penuh kegelisahan dari kejauhan. Siang ini tampak begitu aneh. Aku tak berani berpapasan dengan Bening. Aku membiarkannya berlalu begitu saja. Aku baru keluar sekolah begitu yakin dia sudah tidak lagi di sekolah.

***

Aku tak merasa nyaman kembali ke singgasinaku. Di kerajaan kupu-kupu, taman membacaku. Aku putuskan menyusuri sisi kota yang lain. Seperti biasa bersama Gasalle. Dari sekolah aku perlahan  menyusuri jalan di Lapangan Merdeka. Aku menyusuri Jalan Pelabuhan, Jalan Minyak lalu Kebun Sayur. Bagian teramai di kota ini. Tak jauh dari kantor perusahaan minyak. Tidak dalam kecepatan penuh.

Beberapa kali aku berpapasan dengan banyak orang-orang. Aku menyapa mereka jika mengenalnya. Diantara mereka adalah kawan-kawan paman.

“Hai. Belum pulang?” tanya kawan sekantor paman ketika melihat aku memakai pakaian sekolahku.

“Nanti Om,”jawabku sambil tersenyum.

“Ambil ini sanggar! Masih panas,”tawar kawan paman yang baik hati itu.

Tanpa pikir panjang dan tanpa malu. Kuambil sepotong sanggar dari bungkusan. Setelah meraihnya, aku hanya bisa bilang, “terimakasih Om.” Dan kawan paman itu hanya tersenyum sebagai ganti kata ‘iya’. Dia lalu menghilang.

Aku menikmati sanggar sambil memegang sepeda. Enak sekali. Gratis pula. Aku bisa tersenyum sedikit. Ketika melihat ke arah lain, jantungku berdegub kencang seketika. Bening melintas dimataku lagi. Dia tak memperhatikanku sepertinya. Dia menuju arah Kampung Baru—kampung tua di kota Balikpapan dimana orang Bugis dan Makassar bermukim disana.

Aku lalu beranjak pulang. Bersepeda. Malam akhirnya tiba. Malam semakin menyadarkanku pada kehilangan yang teramat sangat menyiksaku.

***

Pagi datang lagi. Aku masih gundah seperti kemarin. Seperti biasa gasalle kukayuh ke sekolah. Siang masih kulalui seperti biasa. Ada yang aneh. Aku tak melihat Bening. Pertanyaan besarku adalah, dimana dia sekarang?

Hingga akhirnya kudengar kabar Kebun Sayur dibakar. Kata orang, itu perbuatan orang-orang merah. Aku tidak begitu peduli. Kondisi kacau. Apa saja bisa terjadi. Aku tidak mau jadi orang percaya pada apa yang belum aku lihat dan rasakan.

Hari ini juga semakin mengerikan. Tak ada Bening. Aku merasa dia benar-benar marah padaku. Hingga dia tak datang ke sekolah. Begitulah perasaanku. Aku benar-benar kehilangan kekuatanku lagi. Ini begitu menyiksaku. Aku harus lakukan sesuatu. Aku tidak ingin tersiksa seperti ini selamanya.

Kukumpulkan semua tenaga yang tersisa. Aku mencoba ke rumahnya. Meski aku tak tahu apa yang harus kulakukan ketika bertemu dengannya di rumahnya nanti.

Aku berhenti di depan rumahnya. Pintu rumahnya terbuka. Aku berusaha tersenyum namun malu. Kupaksa mulutku untuk bilang, “hai.” Bening keluar namun dia segera berbalik arah. Tak setitik senyuman kulihat memancar dari wajahnya. Ada yang lain di wajahnya. Aku tidak tahu karena apa? Mungkin karena buku harianku. Aku segera kayuh Gaselle lagi. Tak ingin dia melihatku lagi dan menambah kebenciannya padaku.

Sore begitu hancur kali ini. Tak seindah biasanya meski langit begitu cerah. Sesekali aku menatap ke belakang. Dan kulihat Bening di teras rumah, memegang sebuah buku. Gaselle ku sudah mengayuh jauh dari pintu rumahnya. Kehancuran masih bersamaku. Februari kelabu bagiku. Perlahan aku gagal menjadi awan putihnya. Hidup seperti segera berakhir.

Aku begitu kehilangan kendali. Aku tak sadar kendaraan yang melintas di depanku. Dan tabrakan terjadi. Aku terlempar. Gazelle ringsek. Sepeda motor yang menabrak lalu berhenti. Si pengendara menolongku. Dia mengatarku pulang dan menenteng gaselle diatas sepeda motornya.

Gasselle ku rusak. Paman memarahiku habis-habisan. Rasa memiliki paman pada Gasselle pun timbul setelah sekian lama menghilang. Aku merasa bersalah sekali. Itu sepeda penting bagi paman.

“kanapa masih keluar?”tanya paman dan aku hanya terdiam.

“Sudah tahu tidak aman masih juga keluar,”kata paman lagi. “Lihat Kebun Sayur terbakar! Jangan sampai mereka juga menyeretmu! Semua kacau nak! Semua orang bisa disembelih!”

“Sudah,”kata Bibi yang tidak pernah tahan terhadap amarah apapun.

“Besok tetap di rumah! Sekarang pergi makan lalu tidur!” Amarah paman mereda. Dia agak cerewet sebenarnya. Tapi dia sulit marah padaku. Sepertinya dia tak pernah punya alasan untuk memarahiku. Hanya kali ini dia marah. Tapi itu juga tidak terlalu buruk bagiku karena ini memang salahku.

***

Sejak sore itu aku tak pernah lihat Bening ke sekolah lagi. Hari-hari pun jadi semakin buruk. Masih lebih baik dia tak mau melihatku kemarin sore. Tapi ketidakhadirannya di hari-hari sekolah jelas begitu mengerikan.

Aku tidak tahu kemana dia pergi. Sore kemarin adalah sore terakhir aku melihatnya.

Ini seperti kehilangan terbesar dalam hidupku. Aku begitu menyesali hidupku. Buku harianku adalah sumber malapetaka itu. Setiap hari aku hanya menyalahkan diriku. Hanya aku yag terburuk di dunia ini, begitu pikirku. Aku sudah membuat orang lain yang harusnya selalu ada disini harus hilang pergi.

Surya Kelam

Kota kami tenang kembali. Pekerja sudah kembali ke bengkel. Pasar juga kembali ramai. Kota memang butuh kegiatan. Semua kembali seperti sediakala. Kecuali hari-hariku terasa berat. Aku memang kehilangan sepeda. Aku tak lagi bisa keliling kota lagi. Senyumku sirna begitu februari kelabu lalu. Parahnya, Bening juga menghilang.

Aku merasa berdosa padanya. Entah dimana dia sekarang? Kuharap dia sedang tersenyum di suatu tempat. Aku hanya bisa berdoa padaNya. Pada Hyang Kuasa. Aku jarang berdoa padaNya. Bukan karena tak bersyukur, tapi karena tak ada yang kuminta. Hidupku baik-baik saja. Semua seperti telah dianugrahkanNya padaku. Kecuali Nuansa Bening. Hanya dia yang tidak kumiliki. Seperti saat ini.

Bulan telah berganti. Lama setelah februari kelabu. Bulan-bulan yang begitu berat bagiku. Bulan-bulan dimana untuk pertama kalinya aku begitu merasa kehilangan. Rasa memiliki itu muncul setelah kehilangan.

Begitulah, meski aku tak pernah secara nyata memilikinya, tetap saja aku kehilangan dia ketika dia menghilang seperti ini. Meski belum memilikinya, aku merasa takut jika kehilangan. Aku seperti kehilangan lebih dari separuh diriku. Ini begitu konyol. Terutama senyuman dan mata itu. Jauh mengerikan daripada kehilangan yanglain.

Hari-hariku masih ditemani buku. Bedanya, hanya pandangan kosong saja pada buku itu. Aku selalu memaksakan diri membaca. Tetap saja Nuansa Bening di kepalaku. Tentu saja ini menyiksaku. Suatu kali, aku berjalan kaki. Melewati sebuah rumah besar. Dimana piringan hitam diputar. Lagu itu mengalun. Perasaan gundahku terwakili dalam lagu itu.

Segera langkahku terhenti. Kubiarkan lagu itu mengalun. Masuk lewati telingaku lalu hinggap di kepala dan hatiku.

Why does the sun go on shining?
Why does the sea rush to shore?
Don't they know it's the end of the world,
'Cause you don't love me any more?

Why do the birds go on singing?
Why do the stars glow above?
Don't they know it's the end of the world.
It ended when I lost your love.

I wake up in the morning and I wonder,
Why everything's the same as it was.
I can't understand. No, I can't understand,
How life goes on the way it does.

Why does my heart go on beating?
Why do these eyes of mine cry?
Don't they know it's the end of the world.
It ended when you said goodbye.

Why does my heart go on beating?
Why do these eyes of mine cry?
Don't they know it's the end of the world.
It ended when you said goodbye.

Aku mendengarnya sampai habis. Sampai aku tak bisa berpikir apapun kecuali kehilangan. Semua begitu gelap. Dimana ketakutan dan kehancuran seakan menungguku di depan mata. Mengerikan. End of the World. Tiada yang lebih mengerikan daripada itu semua.

Hari-hari adalah rentetan kehilangan yang begitu mengerikan. Sebuah mimpi buruk panjang. Aku tak lagi melihatnya sejak kekacauan itu. Ya. Dia benar-benar menghilang.

Gairah hidupku berkurang. Aku seperti mayat hidup yang mengitari kota di siang bolong. Hanya saja, separuh kota tak pernah sadari itu. Aku jadi hantu yang tak berarti bagi mereka. setiap

Kepada Illahi, yang entah bertahta dimana pun, aku bertanya: “Kenapa kau ciptakan dia? Kenapa Nuansa Bening harus diciptakan?. ” Aku begitu kehilangan tanpa pernah sedetikpun memilikinya. Ini adalah siksaan luar biasa untukku.  Aku tidak pernah tahu, apakah nantinya aku harus memilikinya atau sekedar menikmatinya dari kejauhan. Lalu, ketika aku harus mengejarnya sekarang, aku tak tahu dimana dia sekarang.

Tak pernah ada jawaban dari Illahi. Barangkali belum. Aku hanya meminta tanpa berharap penuh untuk dijawab. Biarkan Illahi dengan kuasanya. Dia tetaplah Maha Bijaksana dengan tidak menjawabnya.

***

Dengan apa ang tersisa dalam diriku, aku berusaha bertahan. Meski dalam ketidakpastian. Aku tetap berusaha untuk tetap punya semangat hidup. Bulan-bulan kelam tahun 1965 ini membuatku banyak termenung.

Aku mulai sedikit memikirkan hal baru, perkara politik yang sebelumnya tidak terlintas dalam kepalaku. Aku tetap tidak tertarik dengan politik meski masih memikirkannya. Tidak peduli pada hal itu mungkin lebih baik bagiku sebenarnya. Toch, aku hanya butuh damai.

Kulihat lagi tepian Melawai. Sesuatu tertinggal di tepian ini. Kenangan tak terbeli. Yang tak mungkin kembali padaku. Benar kata paman, sejarah tak akan berulang. Meski De Javu berkali datang, tak mungkin itu mengembalikannya.

Mata itu, mata meruntuhkanku. Sepertinya, hatiku yang sekeras tembok Berlin sudah runtuh. Senyuman itu pun lebih hangat dari mentari sore di Melawai.

Aku tidak akan lupakan sore itu. Kenangan itu begitu indah. Pelan-pelan juga kenangan menyiksaku. Kenangan itu seperti pisau tajam bergagang gading. Rasanya, kenangan sebagai pisau datang belum muncul padaku.

***

Suara vespa congo menderu. Aku yang termenung ke arah laut, di kerajaan surgaku, segera membalik badan. Aku mulai menebak, itu paman. Paman tersenyum. Dia nampak senang bisa menemukanku.

“Sedang apa nak?”tanya paman. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban atas pertanyaannya. Paman adalah orang yang paling paham atas tabiatku yang tak banyak suara.

“Bibi bilang, kau selalu disini habis sekolah?”lanjutnya. Ya Bibi juga tahu lebih banyak tentangku. Tentu saja tidak ada manusia lain yang tahu banyak tentangku, kecuali aku sendiri.

“Ya. Tiap hari paman,” jawabku.

“Bersama buku-buku?”tanyanya sambil tersenyum. Dia juga memperhatikan buku-buku berserakan di atas rumput. Sebuah pemandangan indah bagiku.  Mendengarnya aku hanya tersenyum lagi.

“Kau pasti jalan kaki kemari. Terlalu jauh nak dari sekolahmu? Kamu gak apa-apa?”katanya.

“Ya.”jawabku singkat dengan menyembunyikan rasa kehilanganku. Paman tidak perlu tahu hal konyol itu. “Semua baik-baik saja Paman,”lanjutku. Paman tersenyum.

“Kamu sembunyikan sesuatu,”kata paman. Aku terkejut mendengarnya. “Aku pernah sepertimu,”lanjutnya. Aku hanya terdiam saja.

“Tetangga kita pernah bilang, kau membonceng gadis manis kan?”katanya untuk mengorekku. Paman yakin tetangga itu benar. Hingga dia hanya tersenyum.

“Baiklah kalau kau memilih diam? Itu tidak merubah apapun. Yang terjadi terjadilah,”kata paman.

Paman melihat kea rah lain. Aku memilih jadi pendengarnya. Begitulah biasanya. Dia bicara aku hanya dia mendengar. Sebenarnya, dia sangat ingin dengar aku bicara. Pamanku bukan orang yang timpang. Dia berusaha adil. Sejak dari dalam hatinya. Aku selalu bangga padanya.

“Dia menghilang?”tanya paman dengan tenang. Aku hanya terdiam dan kemudian mengangguk. Paman makin paham.

“Dia di tempat yang aman sekarang. Tak seorangpun akan menyentuh ayahnya. Termasuk dia. Ayahnya bersih,”kata paman.

“Dimana mereka?”tanyaku. Paman tersenyum mendengarnya.

“Di Samarinda. Mereka punya famili di Samarinda. Banyak orang Bugis disana. Mereka aman,”jawab paman.

Aku percaya pada paman. Karena ayah Bening sekantor dengan paman. Aku mulai tenang. Senyumku perlahan kembali. Hidupku mulai cerah kembali.

“Ayo kita pulang. Sudah sore. Bibi tadi masak ayam goreng. Kau pasti suka?”kata paman.

“Ya, paman,”kataku.

“Kamu terlalu nyaman disini. Lupa dengan sepedamu yang hilang? Terlalu lama disini bisa membuatmu pulang terlalu malam karena harus berjalan kaki terlalu jauh,” kata paman.

Aku hanya tersenyum dan menurut. Buku-buku yang berserakan segera kupungut. Aku segera ke jok belakang setelah mesin vespa berbunyi. Vespa congo segera meluncur mulus ke jalanan kota kami yang kecil. Kami menuju ke rumah. Langit begitu cerah. Sore tetap indah. Meski tanpanya.  Tentu saja kehilangan itu tersimpan kuat dalam diriku.

***

Seperti siang yang lain, aku bertahta kembali di Kerajaanku. Kerajaan kupu-kupu yang mungil. Sekarang aku hanya berjalan kaki. Gaselle tak bisa bersamaku lagi. Kembali ke cara purba lagi. Berjalan kaki. Aku bisa berjalan cepat. Aku seperti serdadu infanteri.

Sekelebat bayangan putih melintas. Di siang bolong. Sesosok wajah menyebalkan seketika muncul. Dengan senyumnya yang menyebalkan pula. Lalu dia menghilang seketika. Lalu muncul lagi. Lalu hilang lagi. Lalu muncul lagi. Dan hilang lagi. Sudah pasti dengan wajahnya yang menyebalkan pula.

Terkejut juga awalnya. Kejutan itu seketika berubah menjadi hal menyebalkan.  Pelan-pelan tapi pasti dia makin menyebalkan.

“Anak muda, kenapa kau kesana tiap hari?” goda mahluk menyebalkan itu.  Aku memilih diam saja mendengar pertanyaan yang tak perlu kujawab itu.  Lalu aku melintas juga di lapangan Merdeka. Dari kejauhan, terlihat juga  sebuah rumah. Rumah siapa lagi? Rumah Nuansa Bening yang entah dimana. Aku merindukannya dalam kehancuran.

“Masih berharap jadi awan putih lucunya?”goda sosok itu lagi. Gila dia tahu isi kepalaku. Aku mulai kesal padanya sekarang. Sosok itu berbisik disebelahku. Dengan gaya sok akrabnya. Aku masih memilih diam.

“Dia memang cantik dimatamu. Tak ada yang mengalahkan dia. Aku setuju. Ya, mata dan senyumnya terindah di jagat ini kan?”godo sosok itu lagi. Senyum merekah dari wajahnya. Tanpa dosa. Dia tersenyum diatas kekesalanku.

“Sayang, langit tak pernah runtuh lagi beberapa waktu ini ya,”goda sosok itu lagi.  Aku mulai naik darah.

“Tutup mulutmu!”kataku. Sosok itu pun segera terbang. Dia masih tersenyum. Dia tahu aku akan marah padanya. “Siapa kau? Itu bukan urusanmu!” lanjutku.

“Tenang anak muda,”kata sosok aneh itu sambil terbang di sekitarku. Dia mulai tertawa. Aku jadi makin kesal karenanya.  Dia sebenarnya sudah bisa membaca kekesalan di wajahnya.  Aku lebih memilih diam pada sosok yang aku tidak tahu siapa. Aku memilih tidak pedul padanya. Dia setan dari neraka pun aku tak akan hiraukan dia.  Illahi seperti sudah mengirim Dajjal untukku sekarang.

“Kau bisa sebut aku, Awan Putih Lucu,”jawabnya dengan wajah agak kurang-ajar.

“Kau lebih terlihat seperti Dajjal ? Siapa yang mengirimmu kemari?”tanyaku

“Hahahah itu bukan urusanmu anak muda. Intinya, aku adalah Awan Putih lucu,”jawab sosok itu. wajahnya memang menyebalkan, tapi dia berlagak semanis peri. Illahi seperti menjatuhkn kutukan padaku sekarang.

Sejak itu, aku tak lagi sendiri. Meski dia jarang muncul. Bersama mahluk yang aku tidak mau peduli dari mana dia berasal. Dari surga atau neraka tidak begitu penting. Kehadirannya yang tidak kuharapkan tidak berakibat buruk padaku. Dia peduli denganku dengan caranya yang membosankan itu.  Aku tidak yakin jika dia seperti jin milik Aladin yang akan berikan aku tiga permintaan.

Dia tak pernah tawarkan apapun. Aku juga tak akan mau minta apapun padanya. Sempat terbesit agar si sosok aneh serupa jin cap botol itu hadirkan Nuansa Bening. Setelah kupikir, aku tak butuh itu. Lagi pula aku sudah terlanjur kesal dengan jin botol itu. Aku hanya mau Nuansa Bening datang kembali padaku karena hatinya ingin.  Bukan karena dibawa jin cap botol itu. Biarkan Nuansa Bening datang oleh gerakan hatinya untuk muncul di mataku lagi.

Bukan Akhir Dunia

Awan hitam melingkupi Ibu Pertiwi. Dari radio, disiarkan jenderal-jenderal AD dibunuh di Ibukota. Dulu, ada berita bilang itu jenderal yang terbunuh adalah anggota Dewan Jenderal. Mereka tidak loyal pada Presiden katanya. Lalu paman, yang pernah ke Ibukota, sempat liahat kalau salah satu dari Jenderal-jenderal itu hidup mewah dan punya istri simpanan. September begitu mencekam. Aku ketakutan. Pembantaian akan sampai kemari. Entah siapa bantai siapa? Pembantaian adalah buta. Tak pandang bulu. Semua bisa

Orang-orang komunis ditangkapi. Mereka lalu ditahan. Sebagian dibawa keluar kota. Kaum merah yang malang. Kesedihan seolah tanpa akhir.  Orang-orang merah yang malang. Hidup tak lagi berpihak pada mereka.

Aku berpikir lagi soal sejarah manusia. Aku teringat beberapa buku yang kubaca. Perang adalah lumrah. Kadang harus. Ada manusia yang ingin segalanya. Ada yang ingin bela harga dirinya. Apapun alasannya perang tetaplah hal yang mengerikan.

Orang Macedonia bangga pada Alexander Agung. Romawi bangga ada Caesar. Banyak bangsa selalu kagum panglima-panglima mereka.  Banyak kagum pada pembunuh-pembunuh seperti mereka. Aku berusaha tidak menjadi salah satu dari mereka.

Manusia adalah yang paling penuh nafsu dari semua mahluk yang diciptakan.  Mereka mencintai kuasa ketimbang damai. Itulah kenapa kupilih mengasingkan diri ke taman tapi laut.  Di kerajaan Kupu-kupu. Di singgasanaku yang damai. Bersama buku-buku. Sesekali dengan kunjunannya.

***

Aku kembali kutuki kesepianku. Masih di kerajaaan kupu-kupuku. Semakin menyiksa juga. Meski sekeras apapun usahaku melupakannya. Memori begitu menyiksaku. Menjadi manusia pelupa begitu mustahil. Bayangan itu selalu datang seperti hantu cantik yang menggodaku. Memori begitu menyakitkan kali ini. Sedihnya, aku tak sanggup lagi menangis. Aku tak lagi miliki air mata untuk menangis. Kelenjar air mataku rusak sedari kecil. Hingga orang-orang tak pernah tahu hatiku menangis.

Atas hal buruk yang menimpaku, aku hanya bisa menangis. Aku jadi begitu cengeng. Bagaimana tidak? kabarnya saja ku tak tahu. Tahun ini banyak orang berubah jadi manusia haus darah.  Aku takut Nuansa Bening tersakiti.

Tiada yang lebih menyakitkan selain kehilangan. Begitu kata banyak orang. Hingga akhir dunia pun, orang percaya hal ini. Seperti kehilangan yang kini kurasakan. Aku merasa berjalan dengan memikul gunung dipundakku. Semua terasa berat. Aku lalui hari-hari buruk.

Lalu terdengar derap langkah halus. Makin lama makin jelas ke arahku. Mataku, yang sedari tadi hanya ke arah laut, segera mencari sumber suara. Aku terkejut. Buku yang sedari tadi kupegang pun terlepas. Aku takut.

Aku tak bisa percaya. Nuansa Bening. Dia muncul. Ini nyata. Bukan lagi khayalan. Tanpa setitik amarah. Dia berjalan ke arahku. Aku tak tahu harus bersikap apa? Kecuali merasa bersalah padanya.

“Hai, kenapa kau menghilang di muka rumahku? Aku mau kembalikan sesuatu untukmu,” kata Bening. Aku terdiam dan bingung harus berkata apa.  Beberapa detik kemudian, aku baru bisa menjawabnya.

“Aku takut kamu marah,”kataku. Dia masih tersenyum.

“Kenapa aku harus marah?”tanya Bening.

“Mungkin aku begitu lancang padamu. Seperti tertulis dalam buku harianku itu,”kataku.

Bening tersenyum. Dunia damai. Langit runtuh lagi hari ini. Seolah O Sole Mio sedang mengalun. Lagu dari Napoli itu mengiringi hari ini. Dukaku tak abadi ternyata. Dalam sekejap telah berakhir rasanya.

“Aku suka tulisanmu. Indah. Aku tak pernah membaca yang seperti itu. Kamu tidak lancang,”kata Bening dalam senyumnya yang penuh malu. Tidak. Langit semakin runtuh saja. Biarlah. Biar saja, ini setimpal dengan derita yang kulalui beberapa waktu ini.  Aku suka langit runtuh sore ini.

“Tulisanku buruk,”kataku.

“Kamu salah. Barangkali, kamu berbakat jadi penulis. Seperti penulis Jepang itu,”katanya.

“Yukio Mishima,”kataku. “aku tidak yakin bisa seperti dia. Aku menulis bukan untuk seperti dia. Aku hanya suka menulis. Aku tidak bisa jadi siapapun yang pernah ada,”lanjutku.

“Lalu apa cita-citamu besok? Kau kan bisa menulis?”tanya Bening. Seperti biasa, dengan senyumnya yang tiada tara. Tak sengaja, aku tatap matanya yang teduh.

“Aku tidak yakin dengan tulisanku. Aku tidak tahu akan jadi apa di masa depan,”jawabku tak yakin.

“Pernah berpikir jadi penyair atau novelis?”tanya Bening dengan tersenyum.

“Pernah,”kataku sambil tertawa kecil untuk menyimpan malu.

“Bagaimana kau akan hadapi masa depan?”tanya Bening lebih jauh hidupku.

“Apapun yang kukerjakan nanti, aku ingin tetap menulis. Bahkan, aku rela jadi kuli asal masih bisa terus nulis,”jawabku.

“Illahi mengirimmu ke dunia untuk menulis. Aku suka tulisanmu,” kata Bening. Jantungku serasa copot mendengarnya. Pada Illahi, aku berkata dalam hati: “Illahi, kau telah runtuhkan langit untukku. Terimakasih atas sore indah ini.”

“Entahlah. Biarkan Illahi berkehendak. Illahi telah berikan yag kumau selama ini,”kataku. Suasana hening, kamu berdua memandang ke arah laut. Meski sesekali saling berpandangan. Dia begitu indah. Semua keindahan ciptaan Illahi terdapat dalam padanya.

“Bagaimana denganmu?”tanyaku padanya.

“Aku hanya ingin belajar jadi perawat atau dokter. Lalu tinggal di sekitar Bantimurung yang indah. Punya rumah kecil. Cuma itu cita-citaku, hidup dalam damai.”kata Bening. Aku segera menilai, betapa sederhananya dia.

Sore lagi-lagi hampir habis. Langit akan tertata kembali. Kami harus pulang. Bening lalu keluarkan buku dari tas mungilnya. Buku harianku.

“Aku masih ingin membacanya. Tapi aku merasa harus mengembalikannya,”katanya sambil tersenyum. Lagi-lagi mataku kurang ajar. Kutatap matanya dan bilang, “Kau boleh kembalikan kapan saja.”

Kami lalu berjalan pulang. Dibawah naungan sore. Sore ini indah. Kuasa Illahi telah meruntuhkan langit untukku. Aku sadari apa yang terjadi hari ini. Semuanya belum berakhir. Bumi jelas masih berputar. Berputar untukku. Putarannya begitu indah bagiku. Ternyata derita-derita kualami bukan akhir dunia. Jin botol lalu muncul dari balik semak-semak. Seperti biasa tersenyum. Senyum yang jelas menyebalkan.

“Kau pasti bahagia. Langit runtuh lagi hari ini. Haahahahaha. Hidup begitu indah hari ini untukmu. Entah besok. Tapi aku percaya, kau akan tetap bernafas dan menulis puisi-puisi cintamu yang tanpa akhir ini,” kata mahluk itu. Dia benar dan aku takkan marah padanya.

“Mahluk aneh, kau benar. Sebenarnya kau berasal dari mana? Atau kau terbuat dari apa?”tanyaku. Dia tersenyum. Kali ini senyumnya begitu berbeda. Tak lagi menyebalkan. Aura gurunya memancar.

“Aku dari cahaya anakku. Kau sudah lalui dan kutuki hari-harimu yang buruk. Jangan pernah kutuki apapun lagi, termasuk dirimu. Semua manusia memang punya hari-hari buruk, namun hari baik juga akan datang juga pada mereka,” kata mahluk yang ternyata malaikat itu.

“Ya. Aku percaya hal baik dan buruk pasti akan menimpa kita. Karena Tuhan itu Adil,”kataku dan aku sadar malaikat itu sudah menghilang lagi.

Satu Hari di Bulan Desember

Seketika Balikpapan basah siang ini. Hujan yang begitu rata menyapu Balikpapan.  Hujan pertama di bulan Desember.  Aku masih tertahan di Sekolah. Tak sedekitpun nyali kumiliki untuk tinggalkan gedung sekolahku. Baru saja kupinjam Max Havelaar. Aku tak akan membiarkannya basah.

Selintas nuansa bening melintas dimataku. Bukan hanya dalam pikiran. Nuansa bening yang begitu nyata, bukan hanya khayal. Melihatnya, langit seperti runtuh. Nuansa Bening adalah sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku. Sesuatu yang membuatku selalu bertanya, “Kenapa Illahi menciptakannya?”

Tak kunjung datang jawaban Illahi atas pertanyaanku yang bodoh itu. Seolah aku lupa bahwa Illahi Berkehendak atas ciptaanya. Dia bisa menciptakan apa saja. Dia lebih besar dari apa yang dia ciptaan. Tapi, Nuansa Bening yang dia ciptakan seperti masalah besar bagiku.

Rintik hujan pun jadi tontonan. Kupaksakan membuka lembaran-lembaran Max Havelaar. Tepat didekat jendela. Sesekali rintiknya mengenai kulitku. Hujan seakan menyapaku. Aku pun berkhayal. Malaikat  hujan menghampiriku.

“Hai,” malaikat menyapa. Sambil menyeka wajahnya yang jernih. Tak lupa malaikat tersenyum padaku juga.

“Hallo,” balasku dalam keterkejutan akan kemunculannya. Wajahnya begitu asing.

“Kenapa kau hanya disini?”tanya malaikat dengan ramah.

“Hujan menahanku pergi,”balasku membalas keramahannya.

“Kau tidak suka hujan? Lalu apa yang kau lakukan bersama Max Havelaar-mu?”tanyanya lagi.

“Aku hanya membacanya, itu yang aku bisa sekarang. Tak ada yang lain. Darimana kau berasal?”kataku.

“Aku tidak perlu jawab pertanyaanmu anak muda. Nuansa bening melintas?”tanyanya menggodaku. “Begitu indah anak muda. Bodoh sekali jika hanya membiarkannya lewat. Apa kau membiarkannya lewat dalam sekejap mata? Kau tidak ingin menatapnya selamanya?”

Si Malaikat tampak makin kurangajar padaku dengan provokasinya. Dia tersenyum. Aku membisu. Kebimbangan melingkupi kepala.

“Kenapa kau membicarakannya Ki Sanak?” tanyaku. Malaikat masih tersenyum. Wajahnya begitu penyabar. Aku masih memandangi si malaikat.

“Aku tidak akan menjawabnya juga. Perginya selagi hujan,”katanya.  “Biarkan Max Havelaar disini. Dia aman bersamaku. Kejarlah Nuansa Bening-mu!” provokasi Malaikat bukan saja sampai ke telingaku saja. Tapi juga mempengaruhiku. Malaikat sukses mempengaruhiku. Aku pun memandang ke arah jalan.

“Dia belum jauh. Selagi masih hujan,”katanya.

Aku pun berlari dan berhenti sebentar. Malaikat pembisik itu tak terlihat lagi. Aura memancar dari Max Havelaar-ku. Aku hanya tersenyum melihatnya. Segera aku berlari lagi. Menembus derasnya hujan. Aufklarung seperti melingkupiku. Berlari dibawah hujan buat aku alami pembebasan.

Pikiranku hanya tertuju pada Nuansa Bening. Hati menuntun pelarianku. Hentakan kaki seperti  pukulan  kendang kaum pagan. Deras hujan mebuat irama makin riuh. Nuansa Bening mendengarnya dan berbalik. Dia menatapku dan tersenyum.

“Orang jatuh cinta suka hujan. Berlari menujumu membebaskanku,”kataku pada Nuansa Bening. Dia berjalan kearahku. Membagi payungnya bersamaku. "Langit serasa runtuh," kataku pada diriku.

“Jatuh cinta membuatmu bodoh,”katanya sambil tersenyum.

Matanya segera menusuku begitu dalam. Mata dan senyumnya adalah yang terindah. Sial, aku lupa bertanya pada malaikat kenapa Illahi menciptakannya. Aku tak bisa menyebut nama lain lagi. Hanya ada Nuansa Bening. Kami pun berjalan. Ada luar biasa di hari ini. Hujan.

Kami menuruni Gunung Pasir dan melintasi Klandasan yang mendadak sepi. Balikpapan mendadak mati. Bening sesekali menatapku. Dalam perjalanan aku memegang payung menggantikannya. Bening pun bertanya padaku.

“Apa kau setenang ini?”

“Hanya hujan kali ini dan bersamamu,” jawabku.

"Apa yang kau lakukan jika langit runtuh seperti ini?"tanyanya lagi.

"Aku tidak akan membiarkan orang lain menatanya lagi,"jawabku.

Nuansa Bening hanya tersenyum. Dimatanya, aku merasakan sesuatu yang tiada tara indahnya. Tangannya lalu menggenggam tanganku yang memegang payung. Langit benar-benar runtuh.

Petrik Matanasi, Penulis dan backpacker dari Balikpapan, tinggal di Jogja.

Sanggar: sebutan untuk pisang goring di Balikpapan dan Samarinda sekitarnya.

Erakan Straat: sekarang adalah Jalan jenderal Ahmad Yani.

Tiang Aniem: tiang listrik. Aniem adalah nama perusahaan listrik Belanda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline