Tepat siang hari, 5 Juli 2006, bersama 19 kawan saya dalam tim KKN WAJAR 9 tahun UNY tiba di Nias. saya bayangkan Nias seperti Pedalaman Kalimantan. Nyatanya Nias tidak se-udik yang saya bayangkan. Nias sudah mengalami modernisasi. Produk coca cola sudah ada di pulau yang katanya terpencil ini. gempa telah luluh lantakan Nias. Kerusakan kecil saya lihat di kantor Dinas Pendidikan Nasional Nias di Gunung Sitoli.
Pada 12 Juli 2006, tim kami sudah dipecah menjadi 3 tim. 6 orang di Alasa, 6 orang di Lahewa dan 8 orang di Afulu. saya termasuk 8 orang di Afulu. Sejak itu banyak hal yang menarik disini. ini bukan sebuah keterbelakangan buat saya. sangat wajar bagi saya bial banyak anak-anak di wilayah terpencil Nias yang belum bisa berbahasa Indonesia.
Satu hal yang menarik dari anak-anak itu adalah mereka begitu bersemangat berangkat ke sekolah. mereka selalu ceria sambil menenteng tas biru dari Unicef( bantuan pemerintah Cina/RRT). Hanya saj sering dialami bocah-bocah itu adalah kekecewaan karena ternyata guru mereka tidak hadir di kelas. padahal bocah-bocah itu harus jalan kaki susur gunung, susur pantai juga lalui jalan setapak sepi namun masih hijau.
Sampai sekolah mereka harus masuk ke ruang kelas yang tentunya bukan ruang kelas normal seperti anak-anak SD di Jakarta, tetapi sebuah gedung reot bahkan sebuah tenda yang kondisi juga sudah memprihatinkan. Satu hal yang saya sukai di sini adalah susur pantai. suatu kali saya menyusuri pantai sampai Faekuna'a untuk mendata anak usia sekolah. malangnya kami menemui bocah-bocah SD yang belum bisa berbahasa Indonesia. kami bingung. untung saja ada salah satu dari mereka yang mengerti bahasa Indonesia. selamatlah kami. data akhirnya didapat. sepulang dari susur pantai dengan sepeda itu kami menikmati pemandangan pantai dan ladang-ladang yang hijau. tidak lupa kami punguti kerang-kerang yang terdampar di pantai-pantai yang kami susuri.
"Pantai disini sebenarnya Indah seperti Hawaii" kata kawan saya Mindiptono Akbar yang KKN di LAhewa. "memang" balas saya. Ombak disini cukup menantang. tidak kalah dengan Bali. hanya saja disini sepi tidak seperti di Bali. bagi kami sebagian besar panorama di sini (Afulu) masih asri dan nyaris belum terjamah. ini baik untuk Nias dimasa depan. memajukan Nias berarti harus memajukan pendidikannya. saya harap pemerintah kabupaten dan pusat (Jakarta). tim KKN Wajar UNY di NIas 2007 sudah memberi rekomendasi kepada pemerintah pusat. sebagai salah satu anggota tim KKN Wajar 9 tahun UNY yang ditempatkan di Afulu sangat berharap pemerintah mempertimbangkan rekomendasi kami tentang perbaikan kondisi pendidikan di Afulu juga di wilayah Nias yang lain.
Pembangunan jalan lintas Nias juga satu solusi menuju kemajuan pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Nias. Konon dari laporan kontrolir Belanda bernama Visser yang bertugas di Nias sebelum Perang Dunia II menyatakan sudah ada jalan Lintas Nias walau hanya sebuah jalan setapak. Kami pernah melintasinya dengan jalan kaki dan naik kereta (sepeda motor) maupun setengah berjalan kaki dari Lahewa ke Afulu yang berjarak 22 Km. Ketika kami disana jalan Lahewa Afulu jalur atas(gunung) lewat onozalukhu sedang diaspal. jalur bawah (pantai), separuhnya belum teraspal.
BERSEPEDA SUSURI PANTAI
Pagi ini (suatu hari diantaraJuli-Agustus, saya lupa tanggal pastinya), dengan sepeda pinjaman kami akan menyusur pantai. Kami akan mengambil data siswa di Faekuna’a. Kami perkirakan butuh 4 jam menuju kesana. Pertama kami harus bersepeda ke Lauru Fadoro. Kami mendata ulang siswa siswi di sekolah ini lagi. Gedung SD disini sudah hancur sejak gempa Maret 2005. Saat ini siswa-siswi-nya, sebnayak 4 kelas, belajar di gereja yang ada di Kampung Lauru Fadoro dan dua kelas lainnya di sebuah tenda yang tidak layak dipakai lagi untuk belajar. Bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya belajar dalam satu ruang yanag terdiri darai beberapa kelas ini.
Selesai disini Kami langsung menuju SD Turenamahesa. Disini kami hanya mempir mengambil data-data yang kurang saja, seperti SD Lauru Fadoro. Kondisi sekolah ini juga tidak jauh berbeda dengan Lauru Fadoro. Bedanya, siswa di Turenamehesa yang jumlahnya sedikit ini belajar dalam satu gedung yang bersekat-sekat. Tetap saja masih tidak kondusif karena sekatnya begitu tipis dan tidak rapat, sehingga suara dikelas sebelah akan terdengar. Siswa yang bersekolah disini sangat sedikit sekali. Tiap kelas tidak lebih dari 15 siswa. Jumlah ini masih lebih banyak daripada di SD Hilizoara. Untungnya, ketika kami mampir disana , gedung sekolah ini sedang diperbaiki.
Selesai di SD Ture, kami berangkat ke SD Sifaoroasi. Sekolah di Sifaoroasi masih lebih baik, disini para siswa bisa belajar dengan nyaman. Kerusakan di gedung SD ini tidak parah. Siswa disini sedikit lebih banyak dibanding di SD Ture.
Kami memacu sepeda dengan kecepatan penuh—karena diburu waktu. Hari hampir siang, kami bergegas ke SD Faekuna’a Untung saja sekolah masih belium sepi, jadi kami masih bisa melakukan pendataan. Siswa-siswi di SD ini jauh lebih banyak dibanding tiga sekolah sebelumnya.
Selesai mendata di SD ini kami menuju SMP Faekuna’a. jumlah siswa disini lebih sedkit dari pada di SMP Afulu. Faekuna’a berbatasan langsung dengan Alasa. Bila berjalan terus ke selatan kami bisa mencapai Sirombu. Tentu saja butuh nyali besar ketika kami disana, karena harus lewat kali Oyo yang banyak buaya.
Disini kami berbicara dengan Kepala Desa Faekuna’a—dia seorang tua berusia sekitar 50 tahun dan mulai serang penyakit. Bapak ini berbicara tentang LSM yang terlalu banyak memberi harapan tanpa bukti kepada orang-orang di Faekuna’a.
Seperti Ama Munandar, bapak ijni memiliki Kulkas dan menjual es. Jalan di Faekuna’a sering dilewati truk. Truk disini tidak akan melewati Fulu, melainkan ke Alasa. Jalan dari faekuna’a dengan Afulu tidak bisa dilewati kendaraan roda 4. jalan untuk mobil belum dibangun. Tidak heran daerah ini begitu tertinggal dari pembangunan.
Dongeng-dongeng Nias
Sukaeli Gulo punya cerita tentang 'Louwomaru'. Si raksasa jahat. Tidak ada manusia yang tidak kenal kejahatan Louwomaru. Kejahatan Louwomaru, harus dibayar dengan nyawa anaknya. Itu kata Sukaeli. Ada banyak versi dongeng di Nias.
Dokter Victor Zebua punya buku tentang mitologi Nias kuno. Judulnya "Ho Jendela Nias Kuno terbitan Pustaka Pelajar, Yogyakarta tahun 2007. Kata Victor Zebua, ada banyak mitologi Nias karena tradisi lisan antara satu desa dengan lain saling berbeda dan berproses lama. contoh: ada banyak versi tentang legenda Ho mungkin juga si Louwomaru. bisa saja ada cerita lain dari Febriani Zalukhu yang beda sama cerita Sukaeli.
Nias punya dongeng yang mungkin ratusan jumlahnya. Perbedaan versi harusnya bisa memperkaya cerita. Seru juga jika dongeng itu berkembang!!! Menarik kalau dongeng-dongeng dari Nias yang banyak itu dibukukan saja. Setidaknya ikut melestarikan budaya Nias kuno yang mulai menghilang.
Nonton Hömbö batu di Böwömataluö Akhir menetap di Nias, sekitar awal September 2006, kami menyempatkan diri ke Teluk Dalam. Tidak lengkap rasanya mengunjungi Nias tanpa melihat Hömbö batu atau lompat batu. Atraksi inilah yang dikenal masyarakat awam diluar Nias, tidak ada lainnya. Sisa-sisa Hömbö batu masih tertinggal dibeberapa desa Nias Selatan, termasuk Böwömataluö yang rencananya akan menjadi cagar budaya dunia seperti Prambanan atau Borobudur di Jawa Tengah.
Hömbö batu tidak menyebar dipenjuru Nias. Hömbö batu kini hanya kita temui di Nias Selatan, jadi jangan bermimpi menyaksikan Hömbö batu di Nias Utara, hanya ada pantai-pantai perawan saja di Nias Utara. Memang ada beberapa perbedaan antara Nias Selatan dengan Nias Utara.
Böwömataluö, yang berarti bukit Matahari, adalah sebuah desa diatas bukit indah di kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias. Kendati menyimpan peninggalan sejarah Nias kuno, Böwömataluö bukanlah Gomo yang banyak menyimpan peninggalan arkeologis Nias kuno. Hanya Böwömataluö yang mudah diakses sebagai daerah wisata di Nias.
Mencapai Böwömataluö dari Gunung Sitoli tidaklah sulit, bisa dengan kendaraan roda empat karena jalan menuju desa ini sudah aspal dengan baik. Lebih baik daripada daerah lain di Nias.
Sebelum masuk desa di atas bukit ini, kita akan melalui tangga batu yang curam. Tangga batu curam inilah yang menjadi gerbang desa Böwömataluö. Sampai diatas, kita akan lihat hamparan rumah adat Nias. Dengan pekarangan beralas batu andesit. Pola jalan desa di Böwömataluö berbentuk hurup T kapital. Kita akan memasuki desa dari sisi kiri huruf T tadi. Tidak jauh dari tangga, sisi sebelah kanan, omo hada (balai adat) berdiri sebagai tempat pertemuan masyarakat desa. Tidak jauh dari omo hada ada sebuah rumah besar tempat tinggal bangsawan Nias. Inilah pusat desa. Terdapat tugu batu untuk hömbö batu dan beberapa meja dan kursi batu. Dari rumah besar, berdiri sebuah geraja besar tempat mayoritas bila tidak bisa dibilang seluruhnya orang Böwömataluö yang kristen.
Böwömataluö bukan tempat wisata baru, berdasar catatan Visser—seorang Belanda yang menjadi kontrolir di Nias sebelum kudeta Nazi di Nias pada awal PD II—sebuah kapal wisata Amerika sering membawa wisatawan dari Amerika berkunjung ke Böwömataluö. Böwömataluö tidak hanya menyajikan suasana eksotik rumah kunonya dan suasana yang nyaris mistis, tetapi juga atraksi lompat batunya yang jelas kesohor. Dengan membayar tidak lebih dari Rp 200.000, maka akan ada dua pemuda dengan baju ksatria Nias siap melompat. Selesai mereka melompat, kita bisa meminjam baju mereka untuk berfoto, gratis. Sudah pasti kita bisa berbincang-bincang dengan mereka. Tenang aja mereka bisa bahasa Indonesia.
Ingin Kembali
Pertama kali menginjak Nias, saya tidak percaya bahwa saya ada di Nias. saya merasa mimpi. kedatangan saya di Nias adalah dalam rangka KKn wajar dari UNY untuk mendata anak usia sekolah di Afulu. Banyak ketakutan dari pembimbing lapangan tentang nasib kami di Afulu. Pembimbing lapangan kami khawatir kami dalam bahaya. sepuluh tahun yang lalu ada dua mahasiswa mati keracunan disana. akhirnya bersama 7 teman saya, sampai juga disana. Perlahan ketakutan pembimbing lapangan terkikis. sampai sekarang saya dan 7 kawan saya sehat-sehat saja. kami merasa Nias bukan lagi seperti awal abad XIX yang terisolir. bagai kami Nias adalah tempat yang indah. Kami, mahasiswa KKN dari Jogja seakan tidak peduli dengan bahaya disana. gempa atau racun. peduli setan buat kami. Tana Niha Banua Somasido. Sangat menarik bagi saya meneliti kehidupan orang Eropa yang masuk ke Nias pada abad XIX. bagi saya ini belum tergali. Salam untuk Nias dan semua penghuninya! Yaa'ahowu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H