"Genjer-genjer. Nong kedok’an pating keleler. Genjer-genjer. Nong kedok’an pating keleler. Emak’e tole, teko-teko mbubuti genjer. Oleh sak tenong. Mungkor sedot seng tole-tole. Genjer-genjer. Saiki wis digowo muleh. Genjer-genjer. Isuk-isuk didol ning pasar. Dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar. Dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar. Emae’ Jebreng. Podo tuku nggowo welasan. Genjer-genjer saiki wis arep diolah. (Muhammad Arief, Genjer-genjer)
Ini bukan lagu mars Partai Komunis Indonesia, ini hanya lagu rakyat Genjer-genjer.Tapi banyak orang menganggap ini lagu PKI. Seorang kawan pernah bilang, "aku bisa di tempeleng ayahku kalau nyanyikan lagu itu". Lagu itu biasa dinyanyikan sebagian mahasiswa nakal di kampus. Lagu tadi sudah menjadi lagu haram selama Suharto berkuasa. Kini, apalagi setelah sang diktator itu tumbang, lagu itu perlahan sudah tidak haram lagi. Hanya beberapa orang tua masih tabu dan menganggap itu "lagu PKI"
Memang banyak orang menganggap ini "lagu PKI". Sejarah Indonesia masa orde baru memang menggelikan. Sejarah orde baru seperti mencuri karya budaya Banyuwangi, untuk dijadikan "alat pembenci massa". Genjer-genjer yang awalnya jeritan berbentuk lagu rakyat miskin, lapar dan tertindas dijadikan "setan yang harus dibenci". Sama halnya, Das Kapital, yang merupakan buku anti kapitalisme. Oleh orde baru buku ini adalah "buku setan" padahal ini buku yang wajib dibaca mahasiswa Ekonomi. Pembodohan oleh negara selama 3 dekade ini sempurna sudah. Ada buku terlarang, lagu terlarang, mungkin juga keyakinan terlarang.
Budayawan Banyuwangi Fatrah Abbal, 76, menyatakan, lagu Genjer-genjer sebenaranya diilhami oleh masakan sayur genjer yang disajikan Ny. Suyekti, Istri Muhammad Arief di tahun 1943. “M.Arief heran, tanaman yang awalnya dikenal sebagai makanan babi dan ayam itu ternyata enak juga dimakan manusia, akhirnya ia mengarang lagu Genjer-genjer,” katanya. Lagu ini lalu menjadi lagu rakyat berjudul Tong Ala Gentong Ali Ali Moto Ijo. Lagu ini pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani ketika orde lama belum tumbang.
Bisa ditangkap dari lirik lagu ini, isinya seputar kelaparan. Dimana seorang ibu berusaha keras memberi makan anaknya dari tanaman genjer yang tumbuh liar. Malangnya sang anak tidak tertolong. Setelah orde lama tumbang, lagu yang kerap dinyanyikan orang-orang kiri Indonesia lalu diberi "lebel haram". Lagu ini dicap sebagai lagu PKI, setelah PKI dan segala hal yang berbau dengan PKI dilarang.
Segera, lagu yang bercerita tentang kelaparan itu dilarang. Entah. Lagu ini tidak bicara dan mengajak orang untuk melawan negera. Lagu ini tidak mengajak manusia untuk berhenti bersujud pada Tuhan. Lagu ini hanya cerita seorang ibu yang memperjuangkan anaknya yang hampir habis usianya dengan mencabuti genjer-genjer yang tumbuh liar dipekarangan.
Dosa lagu ini, dimana rezim orde baru dan simpatisannya, hanya karena lagu ini pernah dinyanyikan orang PKI. Bila lagu ini tidak pernah dinyanyikan orang-orang PKI, maka lagu ini tidak akan menjadi lagu terlarang dimasa orde baru.
Dosa sebuah lagu ini juga menjadi azab bagi penciptanya, Muhamad Arif sekeluarga. Muhamad Arif harus menjadi korban vandalisme massa orde baru. Dimasa selanjutnya, nasib anak Muhamad Arif, Sinar Syamsi. Sebagai "anak PKI" Syamsi kerap di PHK tanpa alasan jelas. G 30 S seperti dianggap dosa ayahnya yang harus menimpa dirinya, seperti yang diinginkan rezim Suharto. Pernah terpikir oleh Syamsi untuk menjadi warga negara Belanda atau China. Berharap lagu genjer-genjer akan memberikan kebahagian dari orang-orang kiri disana. Ibu pertiwi sudah tidak bisa memberinya ketenangan. Ibu Pertiwi hanya milik penguasa, bukan milik "anak-anak PKI".
Lagu ini, boleh saja dsingkirkan pendukung orde baru. Namun Lagu ini akan abadi dinyanyikan orang yang lapar dan tertindas. Mengutip kata Jimi Multazam, "Yang Terekam Tak Pernah Mati". Pastinya, Genjer-gencer juga tak pernah mati. Lagu ini akan terus bercerita penderitaan rakyat di nusantara. Lagu ini juga pernah disenandungkan lagi dalam film "Gie". Bukankah ini berarti lagu ini mengabadi dalam ingatan, setidaknya dalam benak beberapa orang saja.Tentu pada orang-orang yang tertimpa kelaparan dan penderitaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H