Lihat ke Halaman Asli

Andi Nur Baumassepe

Adalah seorang dosen, konsultas bisnis Manajemen dan Peneliti

Investasi Bodong

Diperbarui: 14 Juli 2016   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kasus investasi bodong di media massa baru-baru ini kembali terkuak, sebagaimana yang diberitakan sebuah harian di kota kelahiran saya (Makassar-red) tentang penipuan berkedok investasi mata uang Dinar Irak. Nilai omzet diduga ratusan milyar rupiah yang terindikasi pelakunya berasal dari kabupaten Sidrap. Total ada 816 orang yang menjadi korban dan menderita kerugian dari “bisnis” tersebut. Diberitakan pula bahwa pelaku yang merupakan suami istri telah menjadi kaya raya akibat modus menghimpun dana masyarakat secara illegal yang berkedok investasi itu. Kasus-kasus serupa juga mewarnai berita nasional kita beberapa bulan terakhir ini seperti kasus di kota Bekasi, Manado, dan di Jawa Tengah.

Apa yang menyebabkan masyarakat cenderung menjadi korban investasi yang kategori bodong itu?  Apakah kata investasi merupakan suatu gaya hidup baru? Atau memang masyarakat kita punya kelebihan  uang sehingga merasa biasa saja kehilangan uang beberapa juta? Mungkin masyarakat kita senang dengar janji surga yang akan merubah hidupnya itu, tetapi malah sebaliknya membuat susah kemudian.

Dalam laporan OJK sampai tahun lalu kerugian masyarakat akibat adanya investasi bodong sekitar 45-46 trilyun rupiah, suatu jumlah yang cukup fantastik menurut saya. Sudah ada sekitar 2800 kasus yang melakukan pengaduan atas investasi penipuan yang dilaporkan ke OJK. Baru-baru ini juga OJK telah mendeteksi 300 perusahaan yang diduga bergerak di bidang investasi berkedok penipuan. Beberapa perusahaan itu seperti GBI, Lautan Emas Mulia, Raihan Jewelery, ASIAN Gold concept, PRIMAZ, Talk Fusion, Q-NET, Mavrodian Mondial Moneybook (MMM) untuk daftar perusahaan selengkapnya pembaca bisa melacaknya di OJK.

Perusahaan berkedok investasi ini apalagi sekarang juga bentuknya semakin canggih dengan sistem multi level marketing, member get member, menggunakan skema ponzi, memanfaatkan jaringan internet dan software memudahkan prosedur  usahanya sehingga jangkauannya semakin masif. Sekarang pun bentuknya berbagai modus dengan menggunakan emas, umrah haji, mata uang asing, coin virtual dan lainnya. 

Sekedar berbagi pengetahuan bahwa semua kegiatan yang bernama investasi atau menghimpun dana masyarakat harus mendapat izin dari OJK. Bila perusahaan tersebut tidak mengantongi izin dari OJK kita katakan itu illegal dinegara kita. Tidak cukup dengan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), dan TDP (Tanda daftar Perusahaan) dari kementerian perdagangan.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK (Otoritas Jasa Keuangan) mengatakan wewenang dan tugas OJK adalah mengawasi Lembaga Jasa Keuangan  (LJK) disektor pasar modal, sector industri keuangan non-bank seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan dan ditahun 2014 telah mendapat mandat mengawasi perbankan/bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

Saya juga kadang gerah hampir setiap saat ditawarkan produk-produk investasi katanya sangat prospek dan untung. Modusnya pun dengan skema setor uang, ditransfer kerening seseorang yang saya juga saya tidak kenal, lebih parah lagi uang kita disetor ke luar negeri, dan diminta mencari dua orang saja untuk keseimbangan disebelah kiri dan kanan. Kemudian kita pun akan mendapat imbalan yang besarnya cuman 10% dari total uang yang kita setor tadi. Kita baru mendapat pengembalian uang seratus persen bila dua orang tadi menduplikasi seperti kita sampai kedalaman ke lima atau lebih. Kalau skema sudah seperti itu kita tinggal menanti uang akan datang sendiri mengalir kerekening kita berkali-kali lipat..Dan katanya kita pun akan menjadi seorang milyader. Itu adalah “janji surga” yang begitu indah didengar. Itulah dikenal dengan skema ponzi yang sudah di larang dinegara asalnya.

Herannya, Sang investor yang menjadi “korban” itu pun masih saja membela mati-matian perusahaan berkedok investasi tersebut. Katanya pendiri perusahaan tersebut sangat mulia, baik hati, skema ini merupakan salah satu bentuk ekonomi kerakyatan, dan berbagai macam testimoni-testimoni lainnya untuk menyakinkan kita bahwa investasi ini berhasil dan memberi manfaat banyak orang.

Sang investor pun baru sadar tertipu setelah si pendiri yang dielu-elukan itu sekarang hilang ke negeri antah berantah, susah dihubungi kantornya, uang bonus sudah berhenti mengalir lagi, Upline juga kebingungan tidak bisa menjawab.  Sang Investor pun menyesal dan marah-marah ke semua uplinenya. Kata Upline berkilah bahwa ini kan bisnis semua ada resiko, begitu juga investasi ada resikonya. Sehingga teman saya pun cuman mengelus dada meratapi nasibnya.  

Tapi anehnya beberapa bulan kemudian, teman saya sang Investor itu pun kembali menelpon ke saya menawarkan produk investasi baru, katanya sistemnya lebih canggih, lebih adil, dan bukan penimpuan lagi. Saya tanya kepada dia apa tidak kapok? Jawabnya mumpung ini masih baru belum banyak yang bergabung, kemungkinan kita dapat untung lebih besar, biarkan orang yang belakangan yang bergabung jadi korban. 

Tanya saya kembali,  Anda mau berinvetasi atau mau merugikan saya dan orang lain? Dia pun buru-buru menutup telponnya.

Penulis

A.M.Nur Bau Massepe

Dosen FEB Universitas Hasanuddin  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline