Akhirnya Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa lewat referendum pada Kamis (23/06). Hasil akhirnya kurang lebih 52% penduduknya memilih untuk keluar dibanding 48% memilih tetap bersama dalam Uni Eropa. Ini akan menjadi faktor penghambat pemulihan kondisi ekonomi global, termasuk bagi Indonesia.
Pemerintah Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa (Baca: Masyarakat Ekonomi Eropa), berbanding terbalik dengan pemerintah kita yang tengah bersemangat dengan adanya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Suatu anomali saat negara-negara lain gencar membentuk atau bergabung dengan blok ekonomi regional, Inggris malah hengkang dari blok ekonomi terbesar di dunia itu.
Setelah referendum tersebut, reaksi dunia pun bergejolak. Bursa Saham di London turun 8%. Hal ini akibat ambruknya harga saham-saham perbankan di sana. Nilai tukar mata uang Inggris, Poundsterling terpuruk beberapa hari ini sekitar 10% menjadi $ 1,37 merupakan level terendah dalam 31 tahun terakhir, atau sejak 1985. Gejolak bursa dunia pun juga terpengaruh seperti Dow futures turun 500 poin. Di kawasan Asia, Nikkei Jepang merosot 7,9%, dan indeks utama Hong Kong turun 4,3%. Bagaimana nasib IHSG? Pada perdagangan Jumat (24/6) kemarin bursa dibuka dengan zona merah menjadi melorot 2,2% dengan nilai 110,942 poin ke level 4.763,367. Seluruh indeks sektoral memerah. Sektor aneka industri paling tajam penurunannya sebesar 4,83%. Inilah respons awal dari referendum yang terjadi di Britania itu.
Bila menengok ke belakang, Inggris di tahun 1975 sudah pernah mengadakan referendum serupa, tetapi hasilnya mayoritas menginginkan agar Inggris tetap berada dalam Uni Eropa. Namun, kondisi sekarang ini berbeda. Masyarakat Inggris lebih ingin berdiri sendiri. Ada sebagian kelompok berpendapat bahwa Uni Eropa justru mengekang sendi-sendi kehidupan masyarakat Inggris.
Kelompok yang tidak puas menilai bahwa tidak banyak manfaat yang diperoleh dari Uni Eropa selama ini. Alasan yang paling kuat adalah masalah imigran. Adanya Free Movement membawa dampak banyaknya imigran yang datang dan menetap ke Inggris. Jumlah imigrasi di Inggris tahun 2015 mencapai 333 ribu orang, selalu naik 100 ribu setiap tahunnya sejak 1998.
Kini Inggris menanggung hampir 3 juta pekerja Uni Eropa di negaranya. Adanya imigran dari negara kurang maju dari Uni Eropa seperti Polandia, Rumania, dan Lithuania berdampak terhadap masalah-masalah sosial dengan warga asli Inggris. Warga asli Inggris merasa kedatangan mereka memperkecil lapangan pekerjaan, memberatkan pemerintah Inggris akibat tanggungan biaya jaminan sosial yang lebih besar. Selain itu, kaum imigran dinilai menjadi perusak budaya masyarakat lokal serta berkonstribusi terhadap meningkatnya angka kriminalitas.
Beberapa alasan lain fundamental lainnya seperti defisit perdagangan dengan negara-negara anggota MEE (Uni Eropa) yang berlangsung lama. Kebijakan pertanian bersama berdampak semakin tingginya tagihan makanan masyarakat senilai 1.200 poundsterling per tahun yang memberatkan warga. Kebijakan perundang-undangan Uni Eropa dinilai lebih banyak merugikan kebijakan pemerintah Inggris.
Masyarakat di Inggris merasa yakin akan jauh lebih demokrasi bila keluar dari Uni Eropa. Pemerintah Inggris lebih bebas dalam deregulasi dan lebih kompetitif dibanding terus bergabung. Keputusan untuk keluar dari Uni Eropa membawa risiko yang tidak kecil bagi pemerintah Inggris. Risiko pertumbuhan Inggris akan anjlok, Inggris harus berusaha keras agar nilai Poundsterling untuk kembali menguat khususnya terhadap Dollar US.
Masalah deportasi pekerja imigran harus diatur sedemikian rupa, kaum ekspatriat yang bekerja di Inggris harus siap-siap hengkang, hal itu berlaku sebaliknya pekerja Inggris yang berada di negara Uni Eropa lainnya. Belum lagi berbagai macam perundang-undangan harus diatur ulang bagi pemerintah.
Apa dampak dari Brexit bagi Indonesia? Melihat neraca perdagangan Inggris ke Indonesia tidaklah begitu besar.
Menteri Keuangan RI Bambang Brodjonegoro menilai bahwa dampaknya tidak terlalu signifikan sifatnya hanya sementara dan jangka pendek. Hal senada disampaikan oleh Wapres Jusuf Kalla. Namun, hal tersebut tetap perlu kita waspada, pemerintah perlu melakukan kajian strategis akan dampak yang belum bisa kita prediksi.