Lihat ke Halaman Asli

[Cerpen Ramadhan]: Mas Pram

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kenapa Mas mau menikah denganku?” Tanyaku demi memecah kesunyian yang mulai menyelimuti sang rembulan.

“Karena kamu adalah jodohku,” jawab Mas Pram tanpa nada dan ekspresi.

“Dari mana Mas tahu kalau kita berjodoh?”Alisku mulai berkerut.

“Dari Allah.” Matanya masih terpejam.

“Mas yakin?”

“Insya Allah!”

“Terus dari mana keyakinan itu datang?”

Hening.Tak ada sahutan.

Dingin, kesan itu yang kutangkap.Hanya desahan nafas yang bisa kukeluarkan. Mungkin, dia, Mas Pram, laki-laki yang baru saja pagi tadi mengucapkan ijab kabul pernikahan dengan Bapakku, merasa kelelahan. Tak mungkin rasanya mengajaknya berbicara lebih lanjut meski hanya sekedar menyandarkan perasaan.Lantas kenapa aku masih tak yakin dengan Mas Pram?Ah, mungkin karena aku belum terlalu mengenalnya, kataku dalam hati mencoba menghibur diri.

Kuputuskan saja menyudahi percakapan dengannya dan memejamkan mata. Ternyata tidak mudah tidur bersama dengan orang lain, yang kini notabene menjadi suamiku.Sudah hampir 21 tahun aku terbiasa tidur sendiri di kamar ini, tepatnya sejak Ibu menghadiahkan kamar ini.Saat itu usiaku beranjak 5 tahun.Sekarang?Hmmm, ada sesosok makhluk asing yang tengah bernafas di sisiku.Risih.

Satu bulan berlalu.Alhamdulillah, rumah mungil telah kami tempati.Tapi, tak ada tawa.Tak ada canda.Namun tak pula ada pertengkaran.Hidup kami lurus lurus saja.Dia sibuk dengan pekerjaannya mengurusi perusahaan milik Ayahnya.Aku pun sibuk mengolah nilai yang harus kurampungkan agar dapat segera kutulis dalam raport murid-muridku.Kami masih terlena dengan dunia kami masing-masing.

Tiga bulan berlalu masih dengan suasana sama. Pergi pagi pulang sore. Setelah sholat maghrib berjamaah, tadarus, dilanjutkan dengan sholat Isya. Makan malam bersama tanpa percakapan berarti.Sekedar berbasa basi.Setelah itu sibuk dengan laptop masing-masing. Yang pada akhirnya akan ada salah satu di antara kami yang terlelap duluan. Karena kelelehan tak jarang laptop masih menyala sedangkan sang pemakai sudah terbang ke alam mimpi. Maka yang terakhir tidurlah yang bertugas mematikan laptop.Dan yang sering melakukannya tentu saja Mas Pram.Di antara kami seperti ada kesepakatan tak tertulis.Dilarang membuka buka data yang ada di laptop yang bukan miliknya. Makanya sampai sekarang aku tak pernah tahu, dan tidak ambil pusing, data apa saja yang ada di laptop Mas Pram. Karena aku yakin paling-paling isinya mengenai data-data perusahaan yang belum tentu aku pahami isinya.Begitu juga Mas Pram,dia tak pernah tahu, dan sepertinya tidak tertarik, untuk melihat isi laptopku.

Suasana tenang hidupku mulai terusik setelah tadi sore salah seorang teman lamaku, Wiwi, berkunjung.

“Maaf ya, Lies, waktu kamu nikahan aku ga bisa datang. Aku baru bisa datang sekarang.” Katanya sambil menggendong bayi cantik di pangkuannya.

“Ga, apa-apa Wi.Berapa bulan anakmu sekarang?” tanyaku sambil mengusap pipi bayi yang tertidur pulas.

“Ya, sama kaya usia pernikahanmu, 6 bulan.Aku memilih melahirkan di rumah Ibu, biar bisa minta sekalian diajarin ngurus bayi. Jadi waktu usiakehamilanku menginjak 9 bulan, aku ngungsi dulu ke Sumedang.Kamu nikah tanggal 4 Mei kan? Bilqis lahir tanggal 2 Mei.”

Kami pun asyik mengobrol ke sana ke mari. Wiwi adalah teman SMA plus teman sekampusku. Meski berbeda jurusan tapi kami sering terlibat kegiatan yang sama karena kami sama-sama aktivis dakwah kampus. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri.Sampai akhirnya Wiwi bertanya.

“Lies, kamu bahagia dengan pernikahanmu?”

Aku terkejut. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.

“Kenapa?”Aku malah balik bertanya.

“Kamu mencintai suamimu?”

“Apa?”Tanyaku heran kenapa tiba-tiba Wiwi menanyakan sesuatu yang begitu jauh berada dalam jangkauan hatiku.

Hening sesaat.

“Kok malah bengong?Kamu tidak bahagia?Kamu tidak mencintainya….”Wiwi jadi bertingkah serba salah.

”Aku tidak bilang begitu.Aku hanya terkejut mendengar pertanyaan seperti itu.Mana ada pernikahan tanpa cinta, Wi!”Kucoba menetralisir keadaan.

“Oh, syukurlah kalau begitu.Kamu kan nikah dadakan, baru satu bulan mengenalnya lewat biodata langsung memutuskan nikah. Ada lho yang selama mereka menikah, mereka tersiksa oleh perasaan mereka sendiri.” katanya datar.

“Maksudnya?” tanyaku heran.

Kemudian Wiwi bercerita tentang saudara perempuannya yang merasa menderita secara batin karena ternyata setelah 3 tahun menikah dia tetap saja tak mempunyai alasan untuk mencintai suaminya.Padahal sekarang dia sedang mengandung anak yang kedua.Dia memilih tetap bersama suaminya demi status. Ada pula teman lain yang bercerita, selama ini dia hidup berumah tangga seperti robot, bertindak hanya demi menyenangkan suaminya. Dia merasa terkekang oleh perasaannya sendiri.Pernikahannya tidak dihayati. Dan cerita pengalaman dari yang lainnya yang membuatku kembali bertanyapada diriku sendiri, apa kami, aku dan Mas Pram saling mencintai?Apa Mas Pram mencintaiku?Apa aku mencintainya?Cinta, mengapa harus ada cinta?

“Yang namanya menikah tanpa pacaran harus lebih kuat ikatannya.Komunikasi  kuncinya. Apapun yang kamu rasakan, jangan pernah hanya di simpan di dalam dada.Utarakan.Sampaikan sebijak mungkin.Cari waktu yang tepat untuk menyampaikannya.Hikmah itulah yang baru bisa aku ambil selama aku menikah.Hmmm, jadi kalian saling mencintai ya…” tanyanya menggodaku.

Perbincangan terputus karena terdengar suara mobilmasuk garasi dan pada saat yang sama pula Bilqis terbangun. Wiwi sibuk menenangkan Bilqis. Aku permisi ke depan menyambut kedatangan Mas Pram.

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya.Hening.Kunjungan Wiwi membangkitkan rasa ingin tahuku tentang perasaan Mas Pram kepadaku.Akupun kembali teringat dengan keyakinan Mas Pram, waktu awal menikah, kalau aku adalah jodohnya.Kami hanya bertemu sekali sewaktu acara ta’aruf.Satu bulan kemudian kami bertemu kembali, di pelaminan.Sungguh perkenalan yang singkat.Keputusan yang cepat.Sampai detik ini aku tak pernah punya keyakinan seperti Mas Pram.Aku selalu ragu dengan perasaan Mas Pram juga dengan perasaanku. Ampuni hambaMu ini ya Allah! Betapa sulit menerjemahkan ayatMu lewat hatinya…

“Mas…” panggilku berharap Mas Pram belum tidur.

“Ya…”

“Masih ingat pertanyaanku sewaktu kita pertama menikah? Tentang mengapa Mas menikahiku?”

Tanpa menunggu jawaban darinya aku terus berbicara.

“Aku hanya ingin tahu kenapa Mas begitu yakin kita berjodoh?Kenapa Mas begitu yakin Allahlah yang menyatukan kita?Aku ingin punya keyakinan seperti itu karena sampai saat ini aku masih ragu, benarkah kita berjodoh?”

“Haruskah?” tanyanya ragu.

“Tentu saja!” tandasku.“Harus!” susulku.

Mas Pram menarik nafas panjang.

“Sebelum ta’a ruf, Mas menerima biodata kamu.Setelah selesai mempelajari biodata, Mas sholat istikhoroh. Dan tahukah kamu, Lies, apa yang terjadi? Setelah mengucapkan salam, Mas berdoa. Ketika itu, antara sadar dan tidak, tiba-tiba kepala Mas tertunduk ke tempat sujud dan seperti ada yang memberi tahu, ‘dialah jodohmu’.Maka sejak saat itu, Mas yakin kamulah jodoh yang Allah kirimkan untuk Mas.”

“Jadi karena itu Mas menikahiku. Apa tidak ada alasan lainnya lagi?” mulutku maju sedikit ke depan karena berharap ada alasan lain yang selama ini kunantikan keluar dari mulutnya.

“Alasan lain apa?” kening Mas Pram berkerut.

“Ehmmm, cin…cinta misalnya…!” ujarku kembali dengan sedikit ragu.Kutatap matanya.Tak ada apapun yang bisa kutangkap dari matanya.Hanya sepi.

“Maksudnya?”

“Selama ini Mas ga pernah bilang cinta atau sayang.Jangan-jangan Mas bersamaku selama ini hanya karena aku jodoh Mas.Titik.Tanpa rasa apapun.Mas berbuat sesuatu karena Allah mewajibkan suami menafkahi lahir batin. Tanpa rasa juga. Apa aku seburuk itu sampai sampai Mas tidak mencintaiku…” Kenapa kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.Aku terkejut sendiri mendengar kata-kataku sendiri.Apa ini tandanya aku mencintai Mas Pram sehingga aku meminta balasan rasa untuk dicintainya.

“Mas tidak pernah bilang tidak mencintai ataupun menyayangi Lies.”

“Mas pun belum pernah bilang Mas cinta atau pun sayang sama Lies kan…” akhirnya air mataku keluar juga. Benar Ya Allah, hati ini mencintai makhlukMu yang kini ada di hadapanku.

“Lebih baik kita berwudhu dulu, tenangkan pikiran, kita sholat malam lebih awal yu!”Kata Mas Pram sambil memegang tanganku.

Aku melirik jam di dinding. Jarum jam hampir menunjuk angka 2.

“Selalu seperti ini.Menghindari pembicaraan.Apa tidak bisa kita selesaikan dulu permasalahan ini?” kataku sambil mengusap air mata.

“Mas janji besok pagi kita tuntaskan pembicaraan ini.Malam ini kita tenangkan hati kita terlebih dahulu. Ok?”  Seingatku Mas Pram bukan tipe orang pelanggar janji.Maka ku anggukan kepala.Kami pun sholat malam bersama.

Sang Mentari menampakkan cahayanya.Kicau burung turut meramaikan suasana.Setelah sarapan pagi, Mas Pram mengajakku berjalan-jalan ke taman. Satu hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya.Pepohonan yang rindang, udara yang sejuk sedikit mengendurkan otot otot tegangku.

“Kamu siap mendengarkan cerita Mas?Perlu kelapangan hati dan kebijakan sikap dalam menyikapi apa yang akan Mas sampaikan.”

Aku menarik nafas, mengiyakan dan menyiapkan diri menerima apapun yang akan Mas Pram katakan.

“Maafkan Mas selama ini Mas tak pernah mengungkapkan perasaan karena Mas sendiri bingung tak pernah tahu bagaimana perasaan Mas.Lima tahun yang lalu sebelum Mas memutuskan menikah denganmu, Mas sempat merencanakan pernikahan dengan yang lain.”

Mulutnya berhenti bicara.Matanya melirikku seakan ingin tahu reaksiku. Ah, itu kan masa lalu, Mas, batinku.

“Dia teman semasa kecil.Selama bersamanya tak ada satu pun kekurangan pada dirinya. Mungkin begitulah cara setan memperdaya manusia, dia terlihat begitu sempurna. Mas sangat bahagia bisa jalan dengannya. Kami pacaran seperti kaum jahiliyah. Orang tuanya pindah ke kota lain. Dia pun ikut pindah dan kuliah di sana. Kami masih tetap pacaran meski hanya lewat telepon.Sesekali aku berkunjung ke kotanya.Pernikahan kami makin dekat, aku pun sibuk menyiapkan segalanya.Sampai pada suatu hari, hal yang tak terduga terduga terjadi.Dia sakaw, dibawa ke rumah sakit dan meninggal seketika.Mendengar berita seperti itu, langit serasa runtuh.Dunia pun serasa kiamat.Mengapa gadis sesempurnanya bisa terjerumus ke dunia narkoba?Aku merasa sangat bersalah, mengapa aku tak pernah tahu semua itu?

Undangan baru selesai dicetak ketika tanah merah itu menguburnya utuk selama-lamanya.Berbulan-bulan Mas tak ingat apa-apa.Kata orang, Mas sering berbicara sendiri lalu menangis.Semua orang bingung.Atas saran Kakek, Mas dibawa ke sebuah pesantren. Di sana perlahan-lahan jiwa dan pikiran Mas terasa tenang. Satu tahun Mas di asuh di pesantren itu.”

“Lalu…” tak sabar ku ingin mendengar terusan ceritanya.

“Lalu Mas kembali pulang ke rumah.Teringat kembali peristiwa itu.Dulu sempat terguncang lagi. Tapi, Alhamdulillah, sejak ikut kajian rutin, banyak sahabat yang menguatkan dan memberi semangat. Akhirnya…”

“Akhirnya apa?”tanyaku lagi.

“Akhirnya datang biodata dan sholat istikhoroh yan semalam Mas ceritakan.Mas selalu yakin semua kejadian di atas dunia ini telah diatur oleh Allah. Begitu pula dengan jodoh.Mas yakin kita berjodoh. Tapi…”

Katanya tak berlanjut, tenggorokannya kering.Di minumnya air mineral daribotolyang dari tadi dipegangnya.

“Sekali lagi, tolong maafkan, Mas!Ketika awal kita menikah, ternyata Mas masih trauma untuk mencintai.Kebaikan dan ketulusanmu hatimu sedikit demi sedikit mengikis rasa trauma itu. Mas merasa nyaman bersamamu, Lies.” Jemarinya memegang jemariku.

Mas Pram, aku tak kan pernah tahu isi hatimu jika Mas tak pernah bercerita kepadaku. Entah perasaan apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline