Lihat ke Halaman Asli

Gue Singkong

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14178867861095269073

Gue, si trending topic. Pentolan club paling hot news sekarang. Ladies and Gentlement, We are “ Pangan Lokal!!!”. Kata mas Tukul, wajah ndeso rejeki kutho. Perkenalkan personil lainnya, ada Dik Telo, Bang Sagu, Kang Jagung, Mbak Talas, Pakdhe Pisang, Mas Ganyong, Tante Irut, Om Bentul, Budhe Sukun dan lainnya yang gak bisa gue sebutin satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat. Ya elah.

Jangan bilang gue artis dadakan, kenapa? Gue dah ada sebelum kalian nih generasi sekarang lahir. Gue asli pribumi, kalau gak percaya tanyain deh ibu pertiwi.

Gue sadar dar, sebelumnya, selama ini dikelas duakan, dipandang sebelah mata, walaupun thank you very much, dah ada beberapa Bupati, Walikota, Gubernur buat PERDA, agar gue and friends dijadikan menu yang wajib ada pada jamuan resmi dan acara-acara pemerintah daerah. Yang gue suer terharu, istilah yang dibuat tuh: Mengangkat Kearifan lokal. BKP pun dari awal dibentuk dah woro-woro, Kemenpan dari bahoela dah gembar-gembor supaya pada nyintai kami, istilah yang diangkat: “Kemandirian Pangan”. Walaupun kebanyakan pada gak peduli, gue mewakili pangan lokal ucapin full thanks, berjuta terima kasih.

Tapi sekarang, gara-gara edaran Kemenpan untuk PNS, plus edaran Ditjen Migas, seolah kaya ada yang niup balon gedhe banget, tulisannya: “Pangan Lokal”, lalu “Dorrr!!!!”, PNS rame, DPR ngikut rame, masyarakat rame, sampai ada anak TK yang biasa pada nyanyi buka sitik joss dan sakitnya tuh disini, ikut-ikutan nanya sama Bapak-Ibunya, Pak Buk, pangan lokal itu pizza ya? Kalau bukan, enakan mana? Ya, elah. Enakan pisang toh le, sambil mikir pangan lokal itu apa.

Gue sih tetap khusnudhon, kalau ada aja yang bilang ntar produktivitas turun, kinerja anjlok, matiin usaha cake, banyak pengangguran, ini zaman modern, hari gini, mau kembali ke masa lalu, dan bla-bla-bla.Ya, elah, weleh-weleh. Untungnya gue singkong, gak bisa sakit hati, hasil rontgen membuktikan gue gak punya hati, hehehe.

Tapi dengerin nih, gue mau ngomong: “No, No, No”. Buku sejarah mestinya ditambahain noh, waktu zaman kita dijajah, ketika sohib gue, beras lagi langka bingits, harga selangits. Gue and friends jadi menu utama, jadi darah dan energi para pejuang, mereka semua gagah berani, energik, mengangkat senjata mengusir para penjajah. Tokoh-tokoh besar bangsa pada rapat, kumpul-kumpul ngatur strategi, nyusun cara diplomasi, gue and friends yang menemani, hiksss. Plus karib gue kopi rada pahit dan teh tawar. Klo mau dihitung-hitung kinerja dan produktivitas mereka, ampun deh hebat bingits. Hasilnya nih kita sekarang disebut bangsa merdeka. Dari doelou sampe hari ini gue and friends gak berubah, tapi generasi penerus yang silih berganti yang berubah mentalnya. Gue jangan dikambinghitamkan, bakal mengancam produktivitas dan kinerja.

Ini kan zaman modern? Ya elah, modern itu apa sih? Makin modern harusnya makin mikirin pola hidup sehat, gue and friends terbukti loh rendah kadar gulanya, non kolesterol. Jangan nanti pada sakit baru mau sayang sama gue. Pada tahu gak sih, teman gue Si Gandum itu nyaris 100 persen impor, bukannya benci gandum atau anti impor tapi kalau buat cake, roti dan jajanan, bisa pakai kami. Paling sedih klo pada bilang gak gaul loh, gak modern loh, klo jarang nongkrong di franchise asing, sambil nikmati menu barat, hallow?

Kreatif, kreatif, kreatif. Gue ikhlas mau dibentuk kaya apa, mau diparut, dibanting, diulek, digoreng, direbus, diapain aja deh ikhlas. Dah banyak banget yang sukses. Makanya pada nyobain tuh Cake Talas dari Bogor, Beras jagung yang tak kalah dengan beras banyak tuh datang aja ke Depok, Pisang Ijo Makassar, Binte Gorontalo, Sinole, Kapurung, jajanan-jajanan pasar di Bali, di Padang, di Manado, di Ambon, dan diseluruh pelosok Nusantara yang mak nyuss, yang dibuat dari gue and friends banyak bingits. Yang usaha bikin cake musti kreatif. Apa ndak seneng klo kita bebas dari ketergantungan gandum, gak enak kan digantung-gantung terus.Ketahanan pangan itu penting!

Namun nih ada keanehan pada sebagian - sebagian besar ato kecil monngo dinilai sendiri - generasi di negeri tercinta ini, klo bukan impor dari Amerika, klo merknya tidak berbau Italia, tidak ada kata-kata asingnya, kalau bukan model Korea, namanya ndeso, direspon: Sorry la yaw!. Buktinya nih, Pepaya dari tegal gak laku dipasar-pasar, nanti diganti nama papaya California dijual dari pasar sampe mall-mall baru laris manis. Ikan emas, gurame, sekonconya yang masih bocah seumuran padi, karena hasil mina padi kagak laku, nanti dibungkus dengan merk Baby fish baru pada rebutan, sampe-sampe supermarket pada kehabisan stok. Gue dikripik gak pada nglirik, nanti dikasih label Super Cassava baru pada bilang enak, woy cassava itu ya, Gue!. Akhirnya personil gue, club pangan lokal nih dikasih stiker-stiker kecil nama-nama aneh, agar laku. Duh. Namanya usaha, ya bolehlah untuk saat ini.

Gue sangat berharap edaran ini ada tindak lanjutnya, jangan hanya pencitraan semata, anget-anget tahi ayam. Soalnya nih segelintir kepala daerah habis gembar-gembor pangan lokal, disulap nih pemukiman saudara gue sagu jadi apartemen sawit, tapi itu masih mendingan. Tapi pemukiman telo dianggap kumuh, disapu jadi perumahan pejabat, bahkan kerabat gue singkong nelpon ngasih kabar gembira mau dikembangkan, mau dibikin pabrik tapioka, besoknya sudah sekarat dibongkar untuk lahan pertambangan, katanya lebih simple lebih cepet datangin untung. Ini jelas penCITRAan, jangan dicontoh. Klo mau serius muliakan pangan lokal, buat roadmapnya, grand designnya, sosialisasinya. Sedih mendidih, lihat tanah subur produktif dengan hijauan dicakar-cakar jadi beton pencakar langit. Sakitnya tuh disini. Soalnya mikirnya pada mana yang gampang, mana yang nguntungin sekarang. Apalagi nih, klo gue and friends kedepannya sampai diimpor dari China atau darimana aja, gue sumpahin bener pada kualat, kelewatan.

Gue mau nyimpulin aja deh, kebanyakan omong ntar pada laper, syukur-syukur laper milih pangan lokal, klo pada lari ke franchise asing yang dibangga-banggain, malah bikin gue sedih. Dengerin please! Kesederhanaan akan membawa pada kebersahajaan, kearifan lokal mengangkat kemandirian pangan perlu dinasionalkan. Perubahan pasti membuat shock, yang penting bagaimana kita menyiasati dan membiasakan, kalau itu memang baik patut didukung. Tapi ingat jangan sekedar pencitraan, pasti kualat. Kurangi sebisa mungkin impor, terlebih yang memang bisa kita produksi. Bangsa yang mandiri, pasti disegani dan layak memimpin dunia. Pendiri bangsa berani menetapkan bahwa kita ikut menjaga ketertiban dunia, atau kita layak menjadi negara yang diperhitungkan, ketika itu mereka akrab dengan kami. So, jangan bilang gue sombong ya, gue singkong! Sekian.

Pal Batu III, 6 Desember 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline