Lihat ke Halaman Asli

Mas Nawir

Wiraswasta/Penulis lepas

Sepeda Ontel dan Gaya Hidup

Diperbarui: 22 Juli 2020   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pingpoint.co.id

Semasa saya kecil, jalan kampung masih berupa tanah yang keras, rumah berdinding papan dan anyaman bambu masih berserakan, banyak keluarga yang tidak memiliki WC dan kamar mandi sendiri, listrik belum masuk, angkutan umum dengan armada mobil kuno masih sedikit, saat itu juga belum banyak orang yang punya kendaraan.

Untuk keluarga kami, boro-boro punya sepeda motor, sepeda onthel saja harus meminjam tetangga. Jadi untuk bepergian selain jalan kaki untuk lokasi yang terjangkau, adalah menggunakan kendaraan umum yang lewatnya jarang-jarang.

Tahun 80-an saat saya berkesempatan belajar di pesantren daerah Kediri Jawa Timur, setiap pagi melihat rombongan sepeda ontel para karyawan pabrik rokok Gudang garam yang memenuhi jalanan. Para karyawan ini dengan penuh harapan dan berbekal semangat menggowes sepeda setiap hari, pulang pergi, dua kali sehari, berbaur dengan pedati, dokar, becak, dan sesekali bus umum dengan model kuno.

Saat hidup di daerah Purworejo Jawa Tengah saya juga menyaksikan para pedagang beras yang perkasa berkeliling menggunakan sepeda ontel untuk membeli dan menjual dagangan mereka. Para pedagang ini mengikat karung beras dengan berat ratusan kilo dengan tali tambang. Kiri kanan, dan dua tumpukan di atasnya.

Saat awal menikah, sepeda ontel adalah satu-satunya kendaraan yang bisa kami miliki. Membelinya di pasar loak dengan uang tabungan beberapa bulan. Dan sering rusak karena beberapa bagian sudah mulai aus.

Jaman memang terus berjalan. Keberadaan sepeda ontel dibutuhkan bukan sebagai sarana transportasi. Akan tetapi lebih berfungsi sebagai alat olah raga, sarana untuk rekreasi, menghibur diri, dan have fun together. 

Sehingga sepeda yang pada awalnya menjadi alat transportasi vital menjadi gaya hidup dan  simbol status sosial. 

Para pesepeda lahir bukan hanya dari kalangan atlit. Tapi juga berbagai komunitas, Organisasi profesi, dan berbagai kalangan dari tingkat ekonomi sosial yang beragam.

Sepeda merek lokal memenuhi jalanan setiap hari, dan di akhir minggu mengalami puncak. Sehingga jalanan kota dan jalanan pelosok kampung penuh dengan para pesepeda.

Salah seorang tetangga saya yang punya usaha toko sepeda menyatakan bahwa saat hampir semua merek sepeda laku di pasaran. Khususnya sepeda untuk dewasa.
Bukan hanya sepedanya yang lalu, tapi aksesoris kelengkapan sepeda juga banyak diburu pelanggan.

Kawan saya ini memang menjual berbagai jenis sepeda dengan ratusan merek. Dari produk lokal, buatan China maupun sepeda Eropa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline