Sesungguhnya harta itu hanya amanah Allah. Sebagai kepemilikan yang dipinjamkan sementara kepada manusia sebagai kebutuhan untuk menjalani hidup di dunia.
Semua sudah terukur secara pasti berapa yang akan diterima oleh manusia selama hidup, tidak akan lebih atau kurang.
Sebanyak apapun harta yang diterima oleh manusia, suatu saat akan diminta kembali, bahkan harta yang sudah dipakai di dunia akan dipertanyakan di akhirat, dari mana hartanya didapatkan, dengan cara apa, dan digunakan untuk apa.
Setiap manusia tidak dapat mengelak dari pertanyaan di akhirat akan keberadaan harta benda yang dimiliki. Sehingga dalam sebuah hadist disebutkan bahwa Kampak seorang tukang kayu menjadi alasan penundaan masuk surga selama 40 tahun karena belum ada kejelasan mengenai dari mana asal kapak tersebut.
Harta akan menjadi fitnah bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Seorang manusia memiliki keyakinan bahwa harta yang ada saat ini adalah miliknya, yang telah usahakan. Bahkan tak menyadari bahwa harta hanyalah titipan dari Sang Pemilik Rejeki yang suatu saat harus dikembalikan.
Saat lahir, manusia tak membawa apa-apa, bahkan nama pun ia belum punya. Dan saat meninggal manusia juga tidak membawa apa-apa selain kain kafan tidak berjahit yang menjadi pakaiannya.
Memang tidak dipungkiri bahwa untuk menjalankan syariat agama dibutuhkan harta benda. Untuk sholat dibutuhkan pakaian untuk menutup aurat, untuk zakat dibutuhkan harta benda yang sudah mencapai nishab, dan untuk bisa menunaikan ibadah haji dibutuhkan banyak biaya.
Sehingga untuk itu dibutuhkan berbagai upaya agar bisa mewujudkan harta benda sebagai pendukung ibadah.
Akan tetapi seringkali manusia lupa, saat ia sudah sibuk dengan harta bendanya. Orang memperoleh harta benda seperti minum air laut. Semakin banyak minum semakin kurang. Semakin banyak hartanya semakin kurang. Karena ada sifat tamak yang melekat pada diri manusia. Ingin lebih, ingin menguasai dan merasa selalu kurang.