Lihat ke Halaman Asli

Mas Nawir

Wiraswasta/Penulis lepas

[Nostalgia Ramadan] Ikat Pinggang yang Terlupa

Diperbarui: 12 Mei 2020   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi  : sasang.co.id

Lelaki sepuh yang punya rumah besar di pinggir sawah itu sangat dihormati di kampung kami.  Di halaman rumah beliau yang sangat luas terdapat surau tempat kami mengaji.

Konon Mbah Bahrun adalah keturunan ketiga yang mewakafkan ilmu agamanya setelah kakek dan ayahnya di surau itu.  

Kami, ayah kami,  bahkan kakek kami semua belajar baca alqur'an  di surau milik keluarga Mbah Bahrun.  

Mbah Bahrun dulunya adalah seorang guru sekolah dasar.  Setelah pensiun beliau fokus menggarap sawahnya yang sangat luas dibantu oleh anak-anak dan menantunya.

Oleh karena itu mbah hanya Mbah Bahrun yang menjadi Imam sholat rawatib dan sholat tarawih di surau itu.  

Sejak pulang dari haji setahun yang lalu, ada perubahan yang cukup mencolok.  Mbah Bahrun sudah tidak pernah memakai celana panjang.  Melakukan kegiatan apapun selalu memakai kain sarung,  bahkan saat beliau memetik kelapa.

Bahkan kolor pun beliau jarang memakainya,  "sumuk" katanya.

Ke pasar, ke sawah,  ke kelurahan,  kegiatan kampung,  semua dilakukan dengan memakai sarung. Apalagi saat melakukan ibadah sholat lima waktu di surau.

Salah satu kebiasaan Mbah Bahrun adalah mengenakan sabuk berwarna hijau untuk mengikat sarungnya agar bisa mapan membalut pinggangnya.  Sekaligus sebagai kunci agar sarungnya tidak melorot.

Mbah Bahrun bilang,  sabuknya memiliki multi fungsi karena bisa sekalian untuk menyimpan uang,  kartu identitas,  bahkan surat kendaraan. Jadi kalau pergi-pergi tak perlu membawa dompet yang merepotkan karena harus mengeluarkan dan memasukkan kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline