Pandemi global memang kejam. Menyerang siapapun tanpa pandang bulu. Efeknya nyaris menghancurkan semua sisi ekonomi, baik yang berskala besar maupun yang berkala rendah.
Munculnya kelompok-kelompok orang miskin baru yang kebanyakan beban angsuran dan kehilangan pendapatan menghiasi linimasa media daring.
Di mana-mana merebak kejahatan akibat orang-orang tak menemukan jalan keluar walau sekedar untuk makan.
Pergerakan masyarakat dibatasi, dagangan ada tapi tak ada yang beli.
Orang-orang pun berusaha bertahan ditengah pandemi, asal bisa makan itu sudah mencukupi.
Teatangga saya seorang pegawai pegadaian bercerita bahwa kantor tempat ia bekerja tak pernah sepi pengunjung. Para nasabah menggadaikan apa saja barang dari rumah mereka. Televisi, kulkas, smartphone, kendaraan, emas, bahkan peralatan dapur digadaikan demi membeli beras.
Beberapa kenalan saya yang sebelum pandemi tampil kinclong dengan mobil keluaran terbaru dan menjadikan mall sebagai tempat kongkow, kini cukup mengendarai motor butut yang sebelumnya telah tersimpan lama di gudang. Bahkan istri-istri mereka dikerahkan untuk membuat makanan kecil untuk ditawarkan di internet dengan pola COD agar barang sampai dan bisa segera dibayar.
Ada juga beberapa orang yang setiap saat harus menyingkir dari rumah karena risih didatangi debtcollector, karena menunggak angsuran motor. Sementara motornya sudah tergadai ke orang lain.
Di pasar juga banyak orang-orang baru yang menjadi pembantu menjaga warung, melayani pembeli. Padahal sebelumnya mereka adalah karyawan pabrik. PHK telah membuyarkan harapan mereka, dan mereka harus berfikir taktis untuk bisa segera menyelesaikan masalah.
Konon masyarakat kita terbagi dalam 3 kelompok sosial. Masyarakat kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas.