Rempah-rempah asal nusantara sudah diyakini masyarakat dunia sebagai bahan obat tradidional yang kaya manfaat.
Bahkan formulasi rempah Indonesia dikolaborasi dengan senyawa obat buatan pabrik berupa cairan atau bubuk ekstrak menjadi sebuah produk berkasiat, multi manfaat dan menjadi genre bisnis yang menjanjikan.
Kita mengenal produsen jamu tradisional berskala besar Yang sampai saat ini produknya masih berjaya di Indonesia. Air Mancur, Jamu Djago, Nyonya Menner, Sido Muncul, adalah merek terkemuka yang namanya masih melekat erat dalam benak masyarakat Indonesia bahkan mancanegara.
Jamu pegel linu, jamu pusing, jamu sakit perut, bahkan jamu untuk keperluan persalinan diproduksi oleh pabrik-pabrik ini.
Juga jamu pembangkit stamina pria yang bisa dinikmati oleh pria khusus dewasa.
Konon efek jamu memang lebih lambat menangkal segala macam penyakit. Tapi karena senyawa jamu yang tak menggunakan obat kimia, menjadikannya tanpa efek samping dan tak menjadikan peminatnya jadi ketagihan.
Saat virus corona merebak, para penjual jamu tradisional seperti mendapatkan berkah khusus. Orang-orang Yang sebelumnya tak pernah akrab dengan jamu mendadak jatuh cinta menikmati jamu.
Jaman dahulu, saat saya masih kanak-kanak, penjual jamu gendong yang berkeliling kampung menggunakan bakul yang digendong menggunakan selendang.
Bakul ini berisi botol-botol yang berisi racikan jamu tradisional seperti; beras kencur, temu lawak, kunir asem, jamu paitan dari daun kates, brotowali, dan terkadang jamu pabrikan yang diseduh dengan air termos.
Bahkan beberapa mbak jamu menyeddiakan jamu khusus lelaki dengan bungkus gambar seronok yang membuat penasaran para pelanggannya.
Para penjual jamu ini biasanya menggunakan pakaian berupa balutan jarik dan baju tradisional jawa. Dengan tampilan bokong yang mlidit, dan pelayanan ramah, sudah cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelanggan. Apalagi kalau penjual jamunya cantik, berkulit putih, sedikit kemayu, menambah pesona jamu makin kinclong.
Di kampung saya Bandungan, para penjual jamu adalah warga pendatang yang berasal dari wonogiri. Mereka mengontrak rumah sederhana secara berombongan. Dan biasanya mereka pulang kampung pada akhir pekan untuk bertemu keluarga.
Para penjual jamu gendong di tempat kami ada juga yang membawa serta keluarga. Suami bekerja sebagai buruh harian lepas, dan istri menjadi penjual jamu gendong.
Saat saya tinggal di Semarang, para penjual jamu tak lagi dengan balutan jarik untuk pakaiannya. Melainkan memakai rok atau baju kurung lengkap dengan jilbab. Dan sesuai kemajuan jaman, mereka tak menggunakan bakul atau tenggok untuk menjajakan jamu, melainkan menata botol jamu dalam gerobak kecil di atas kendaraan bermotor.