Lihat ke Halaman Asli

Mas Nawir

Wiraswasta/Penulis lepas

Anak-anak Milik Perempuan Malam di Bandungan

Diperbarui: 21 April 2020   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pixabay

Kehidupan ini terus berputar.  Menggilas,  meremukkan apapun. Mereka yang bertahan akan berjaya.  Dan yang tak tahan akan menyerah kalah mundur dari sebuah percaturan kehidupan.

Kehidupan malam di kota Bandungan,  banyak menyisakan cerita pahit tak berkesudahan.  Perempuan-perempuan yang di stigma oleh masyarakat sebagai wanita nakal,  kehidupan dan aktifitasnya menjadi rejeki banyak orang,  memendam berbagai cerita kehidupan yang tak pernah lapuk dimakan zaman.

Ada diantara mereka yang dipersunting oleh penduduk lokal,  menjadi wanita baik-baik dan beranak-pinak,  lalu hidup sebagai masyarakat biasa.  Bahkan ada yang sukses mengelola berbagai usaha.

Ada juga yang terus bertahan menjajakan diri sampai tubuh mereka layu,  lalu pulang ke kampung halaman masing-masing.

Ada pula yang tetap bertahan dengan segala keadaan demi  kebutuhan perut  yang terus mendesak sementara mereka tak punya keahlian lain.

Di antara perempuan-perempuan panggilan ada yang terjebak dalam cinta serius dan merasuk hati hingga mereka hamil dan melahirkan.  Lelakinya hilang entah ke mana sementara ia butuh biaya untuk dirinya sendiri dan membesarkan anak mereka.

Di Bandungan, para perempuan ini menitipakan pengasuhan anak-anak ini pada warga sekitar. Mereka membawa anaknya ke kos,  atau ke kampung halaman bila sedang libur menstruasi.  

Mereka harus membagi penghasilan agar cukup untuk membiayai diri mereka sendiri.  Dari make up,  makan,  bayar kontrakan,  dan biaya pengasuhan anak.

Tak jarang,  anak-anak ini ditinggalkan oleh orang tua mereka begitu saja.  Sehingga sampai dewasa mereka tak pernah mengenal orang tuanya.  Atau mereka tetap dipelihara oleh penduduk sekitar dengan biaya secara rutin setiap bulan.  Bahkan sampai usia sekolah dan lulus menjadi sarjana.

Saat masih kecil,  dan menjalani hidup di Bandungan saya juga berteman dengan kawan-kawan semacam ini.  Anak dari para perempuan panggilan yang  diasuh oleh penduduk lokal. Mereka hidup normal dan bergaul dengan masyarakat biasa.  Dan mengikuti berbagai kegiatan agama orang yang mengasuhnya.  

Saya sebagai seorang muslim juga punya kawan yang ibunya bekerja sebagai wanita panggilan.  Anak-anak semacam ini bahkan terlihat lebih cerdas.  Terbukti saat mereka mengaji di Masjid lebih cepat faham dan lebih dulu khatam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline