Lihat ke Halaman Asli

Mas Nawir

Wiraswasta/Penulis lepas

Ke Mana Perginya Pedagang Es Tung-tung?

Diperbarui: 11 April 2020   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi  wikipedia

Tung.. Tung.. Tung...

Itu suara sebagai penanda es tung-tung lewat.  Suaranya menggema di seantero gang.  Membuat anak-anak kecil  merengek meminta untuk dibelikan.  

Es tung-tung,  demikian anak-anak menamainya,  diadopsi dari bunyi tung-tung dari alat  musik  traditional bernama bende.
Pemukul dari kayu yang  dibalut ban dalam sepeda membuat suara bende menggema.

Pak Sardi (56), demikian nama penjual es tung-tung ini.  Saya mengenalnya karena sering  bertemu dan mengobrol di jalan.

Kami sering duduk di pos ronda sambil menunggu pembeli.  Bahkan duduk sangat lama bila hari sedang hujan.

Awal tahun 2000 pak Sardi menjual es tung-tungnya dengan harga rp.300/ contong. Atau cup menaruh es dari  bahan semacam sempe yang bisa dimakan.  Dan menetapkan harga Rp. 500 untuk es tung-tung yang  dioleskan pada roti tawar yang  ditekuk.

Pak Sardi bercerita kalau sehari ia bisa mendapatkan uang Rp. 150.000 waktu itu bila dagangannya habis. Dengan modal sekitar Rp. 75.000. Tapi kalau saat hujan ia kembali ke rumah membawa uang Rp. 25.000 saja sudah bersyukur.

"Yang penting bisa buat beli beras dan nyangoni anak sekolah", kata pak Sardi kalem.

Pak Sardi pernah bercerita,  bahwa ia menderita penyakit lambung.  Sakit mag yang akut karena sering  membiarkan perutnya kosong.

"Saya lebih baik pulang membawa beras mas, bisa untuk makan kami  sekeluarga,  daripada cuma jajan  sendiri di warteg,  sementara di rumah anak istri kelaparan"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline