Merebaknya virus corona membuat semua orang prihatin. Tak hanya orang-orang kota tapi keprihatinan juga muncul di kampung-kampung. Di warung wedangan biasa tempat kami berkumpul.
Orang-orang kampung yang jauh dari alat informasi pun ikut merasa terusik dengan kehadiran virus corona yang yang terus menerus menghiasi berita di televisi.
Bahkan salah seorang tetua dari kampung Rejosari bercerita bahwa dahulu di tahun 70-an pernah terjadi pagebluk berupa penyakit kolera.
Orang-orang kampung yang terjangkit penyakit ini jarang yang bisa tertolong. Dua tiga hari sejak terjangkit korban langsung menemui ajal tanpa bisa berbuat lebih banyak.
Tenaga kesehatan, dokter maupun puskesmas belum banyak. Satu-satunya perawatan yang ada hanya Rumah Sakit dr. Kariadi yang jaraknya puluhan kilometer.
Bahkan untuk menjangkaunya harus dilalui melalui jalan kedungmundu. Karena di dinilah jalur colt dengan bak terbuka bisa mengantarkan sampai ke rumah sakit.
Orang-orang yang terjangkit kolera di kampung Rejosari kebanyakan tidak dapat tertolong. Selain rumah sakit yang jauh dan taraf ekonomi yang masih lemah, kepedulian warga tentang pentingnya kesehatan juga belum tumbuh.
Kata Pak Nur Kasan (68) dulu orang kampung Rejosari masih banyak yang buang air sembarangan, karena tak punya wc. Mandi Cuci dan buang air sekalian di Kali sekalian ambil air untuk keperluan memasak dan peralatan memasak. Bahkan warga yang punya sumur masih bisa dihitung dengan jari.
Pak Nur Kasan berkisah bahwa di Kampung Rejosari sangat banyak yang terjangkit kolera. Penyakit ini menyebar begitu saja. Terkadang satu keluarga ada yang terkena lebih dua orang. Muntah-muntah, buang air darah, lalu beberapa hari kemudian meregang nyawa.
Terkadang memang ada tenaga kesehatan yang datang dari kota dengan menunggang kuda, dan meletakkan serum suntikan dalam termos berisi es. Tapi karena waktu itu belum ada alat komunikasi yang memadahi, seringkali pasien terlambat untuk mendapatkan pertolongan.