Jadi pejabat (siomay) publik seperti saya ini memang banyak suka dan duka. Asal bisa membawakan diri secara friendly sudah pasti jadi modal utama.
Mengenal berbagai kalangan dari pejabat sampai orang biasa, dari praktisi sampai politisi, bahkan anak-anak sampai orang dewasa.
Memang kalau lagi bawa dagangan banyak dan kebetulan pembeli ramai, bisa jadi kebanggaan sendiri, melihat istri menghitung hasil penjualan sampai dahinya berkerut karena nggak selesai-selesai.
Tapi terkadang agak sedih juga kalau kebetulan bawa dagangan tidak ada yang membeli. Bahkan langganan seakan lupa kalau sudah lama tidak menikmati siomay.
Dulu saya memang pedagang keliling. Tik-tok tik-tok bunyi bambu yang dipukul seakan menandai. Lalu di setiap gang, dibtempat yang sama, saya berhenti. Menunggu pelanggan yang tertarik dengan bunyi.
Anak-anak biasanya datang berebut, membawa uang masing-masing entah pemberian orang tua atau sisa bekal sekolah. Mereka membeli dengan suka rela, 2000-5000 rupiah per bungkus.
Ada juga anak yang bertanya, "berapa pak satu porsi?"
Saya menjawab, "Sepuluh ribu dik pakai telur satu".
Anak ini bertanya lagi, "kalau satu biji berapa pak? "
Saya pun kembali menjawab, "satu biji seribu dik".