Semua orang menginginkan hubungan perkawinan bisa berterus, langgeng, dan sampai "kaken-kaken ninen-ninen".
Tapi seringkali aral melintang menghalangi proses proses perjalanan dan membuat pasangan terpaksa memilih jalan kehidupan sendiri-sendiri.
Kita tak bisa menyalahkan perceraian, karena itu sebuah pilihan untuk menentukan masa depan. Meskipun anak-anak jadi korban karena salah asuhan.
Anak tiri diperkosa ayah, anak-anak hidup di jalanan, atau anak terbentuk dengan karakter kekerasan adalah sebagian dari efek korban perceraian.
Saat tejadi perceraian ada yang siap dan ada yang tidak. Laki-laki bisa jadi duda berangasan atau perempuan ada yang jadi wanita jalang. Sebagai akibat depresi yang berkelanjutan dan mencoba mencari pengalihan perasaan.
Tapi ada juga yang langsung bangkit dari keterpurukan, mendapatkan jalan nyaman tanpa pasangan.
Jangankan orang biasa, sekaliber kiai kondang dan politikus besar pun juga tak bisa melepaskan diri dari jerat perceraian.
Meskipun orang-orang paham bahwa perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.
Perceraian adalah sebuah fenomena hubungan antar manusia yang berlainan jenis kelamin. Yang pada awalnya disatukan dengan ikatan perkawinan. Dalam undang-undang Siskah ( sistem pernikahan) diatur dalam NTCR (Nikah Talak Rujuk Cerai) yang proses pengesahan dokumennya melalui pengadilan agama atau catatan sipil.
Perceraian dilakukan sebagai sebuah solusi atas hubungan yang sudah tidak serasi lagi dan menemui jalan buntu saat dilakukan mediasi. Jadi buat apa dipersatukan kalau saling menyakiti dan mengakibatkan hal yang bikin rugi.
Banyak hal yang mendorong terjadinya perceraian. Konflik rumah tangga yang tak berkesudahan dan faktor ekonomi dituding sebagai pemicu perceraian.