Kekeliruan, kesalahan, bahkan kesalahpahaman itu lumrah terjadi dalam sebuah rumah tangga. Sebab ibarat mengarungi laut lepas dengan biduk berdua, tak mungkin medan yang ditempuh akan tenang sepanjang perjalanan. Angin topan, badai hujan, dan ombak bergulung pasti akan menerpa. Apalagi perjalanan sangat jauh dan butuh waktu yang Lama.
Suami ibarat nahkoda yang memimpin perjalanan, dan anak istri adalah para penumpang. Keputusan apapun boleh tetap di tangan suami, tapi suara anak istri juga patut dengarkan sebagai bahan pertimbangan.
Kalau perlu demi kenyamanan bersama istri pun boleh pegang kendali sebagai pengambil keputusan, bila suatu saat nahkoda istirahat atau tak dapat menentukan pilihan. Yang penting biduk tetap berjalan dan tidak goyang.
Di Indonesia, kehidupan rumah tangga masih lekat dengan tradisi. Tradisi penghormatan terhadap suami sebagai sosok yang memang harus dihargai. Karena tetes keringatnya, semua anggota keluarga bisa makan dan keperluan hidup tercukupi.
Pun demikian, istri juga memiliki peran yang sangat penting. Makanan yang tersaji, keperluan anak dan suami, rumah yang bersih dan asri tak lepas dari tangan istri.
Jadi dalam rumah tangga tak satupun anggota keluarga yang tak mempunyai fungsi.
Anak adalah pelengkap rumah tangga. Sebab bila tanpa anak kebahagiaan takkan lengkap. Sebab anak juga berfungsi sebagai perekat, saat badai datang memunculkan sekat.
Lalu bagaimana seharusnya rumah tangga Yang baik, ukuran apa yang digunakan sebagai baroneter untuk menentukan baik dan buruk? Kita yang sudah berumah tangga, tentu sudah semua mengalaminya. Dari Yang tenang-tenang saja, sampai yang terpisah karena mengalami prahara.
Tiap keluarga memiliki cara yang berbeda untuk mempertahankan rumah tangganya. Selain komunikasi rumah tangga yang harus berjalan baik juga ada beberapa hal perlu diketahui. Meskipun hal ini bukan juga ukuran standar bagi semua rumah tangga. Karena masing-masing keluarga juga terikat dengan adat dan tradisi yang berbeda di setiap wilayah.
Kami membina rumah tangga baru 21 tahun, jauh dari waktu yang sudah dilakoni semisalA, Pak Tjiptadinata yang telah mengarungi masa perkawinan selama 55 tahun.
Tapi 21 tahun juga bukan waktu yang singkat dibanding mereka yang menikah lalu bercerai saat usia perkawinan masih seumur jagung.