Pagi ini saya bersama istri baru saja menengok tetangga depan rumah di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang.
Bu Wiwik, tetangga kami yang telah memiliki 2 orang putra yang telah dewasa ini harus menyerah pada keadaan karena tergolek lemah di tempat tidur.
Beberapa waktu yang lalu pernah juga mengalami hal yang sama. Tapi kali ini kondisinya lebih parah. Karena ia hampir tak dapat berdiri.
Berawal dari noda dalam pakaian dalam Bu Wiwik yang terus terus menerus mengganggunya. Dan mengira ini hanya efek biasa dari wanita aktif.
Maklum pekerjaan Bu Wiwik sebagai guru, pendongeng, serta instruktur dan motivator anak-anak, menuntutnya untuk bergerak aktif.
Berawal dari flek, lalu berlanjut keluar darah semperti darah haid yang lebih kental dan warnanya lebih pekat. Malam itu pak Totok membawa Bu Wiwik ke Rumah sakit karena karena ia terus mengerang kesakitan sambil memegangi perut bagian bawahnya.
Sampai di Rumah Sakit, Bu Wiwik langsung diperiksa, dan diketahui bahwa alat kontrasepsi IUD (Intrauterine Device) yang bersarang di rahimnya telah kedaluwarsa.
Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan membuat keluarga ini lalai. IUD yang ada di rahim Bu Wiwik telah berusia 18 tahun, sepantar dengan usia anaknya yang nomor dua.
Padahal seharusnya 5 tahun sejak IUD ditanam, Bu Wiwik harus memeriksakan diri dan melakukan penggantian. Pak Totok bercerita bahwa setelah mereka berdua lulus kuliah ASRI Yogyakarta, lalu menikah.
"Awal kehidupan yang berat", kata Pak Totok memulai kisahnya.
Pasca menikah mereka hidup di Bandung sampai punya anak satu. Berbagai pekerjaan ia lakoni dari buruh kasar, pelayan toko, buka usaha makanan kecil. Tapi semuanya tidak ada yang menjanjikan masa depan lebih baik.