Pak Sarpin (bukan nama sebenarnya) menatap cucunya yang saat ini sudah berumur 6 tahun. Cucunya sedang bermain bersama teman-teamannya di halaman rumahnya yang kecil. Bocah itu keberadaannya seperti saksi bisu yang menyisakan sebuah cerita sedih bagi keluarga ini.
Tujuh tahun yang lalu, Pak Sarpin menghelat sebuah acara pernikahan bagi anak semata wayangnya. Dari hasil tabungan beberapa tahun dan sedikit tambahan dari hasil anaknya bekerja.Keinginannya ini terlaksana tanpa halangan yang berarti.
Ratusan undangan memang datang, masyarakat sekitar juga menyumbang, tapi hasil akhir dari semua acara ini menyisakan hutang yang tidak sedikit. Total ada 56 juta hutang yang ia tanggung dan belum selesai sampai cucunya lahir.
Awalnya, mengingat kondisi ekonomi keluarganya yang pas-pasan. Pak Sarpin sebagai kuli bangunan dan istrinya bekerja sebagai asisten rumah tangga di beberapa rumah di perumahan. Dan bisa dibayangkan berapa hasil yang didapatkan oleh keluarga ini setiap bulan.
Pak Sarpin ingin agar acara pernikahan anaknya digelar secara sederhana saja. Tapi mungkin demi gengsi, anaknya yang bekerja sebagai karyawan sebuah toko bersikeras mengundang grup musik yang cukup ternama di Semarang.
"Koncoku akeh pak, mosok raono hiburane (teman saya banyak pak, mosok nggak ada hiburannya)", kata anaknya sedikit memaksa.
Prosesi pun mulai digelar. Melek Pasian (malam hari sebelum acara), diundang seorang kiai kondang.
Setelahnya ratusan teman-teman anaknya datang melekan sampai pagi. Tentu dengan jamuan makan malam dan makanan kecil yang tidak sedikit. Belum lagi beberapa krat minuman keras khas Semarang turut memeriahkan acara melekan.
Ijab kabul dilanjut acara resepsi semua berjalan dengan lancar. Bahkan langit terlihat cerah seperti harapan yang punya hajat. Acara selesai, amplop pun dihitung. Jauh api dari panggang. Hasil sumbangan tak sebanding dengan pengeluaran. Sangat jauh dari harapan.
Beras, gula, mie kering hasil sumbangan para tetangga dijual. Tapi juga tak menutup pengeluaran.