Lihat ke Halaman Asli

Mas Nawir

Wiraswasta/Penulis lepas

Kisah Mak Tini Penjual Gado-gado di Kampung Kami

Diperbarui: 5 Januari 2020   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warung Sederhana Mak Tini/dokpri

Mak Tini perempuan tua di pojok gang itu menatap dengan  dagangannya diantara tetes air hujan yang membasahi penutup warungnya yang sempit.

Kursi pelanggan terlihat basah. Beberapa kali ia mengelapnya dan basah lagi terkena tetesan hujan.

Sehari ini hujan memang tak berhenti. Pelanggan tetapnya yang biasanya mampir hari ini tak seorangpun yang menampakkan batang hidungnya. Gorengan yang biasanya laris manis sampai tengah hari, masih utuh jumlahnya dari ia menggorengnya tadi pagi.

Pelanggan dari kantor sebelah--dokpri

Lalu datanglah serombongan orang dari kantor sebelah ia berjualan. Mereka memesan beberapa menu sambil berdesakan menghindari hujan di warungnya yang sempit

"Alhamdulillah", ujar Mak Tini.
"Akhirnya Allah kirim rejeki".

Mak'e, demikian Mak Tini dipanggil oleh para pelanggannya. Adalah seorang pedagang tahu campur di perumahan kami.

Ia hidup bersama anak semata wayangnya yang bekerja sebagai guru di Sekolah ternama di Semarang. Menantunya juga seorang guru.

Mak'e telah ditinggal suaminya pergi untuk selama-lamanya menghadap sang Pencipta sejak anaknya masih kecil. Lalu ia membesarkan anaknya sendiri tanpa bantuan siapapun, sampai anaknya besar, sekolah, kuliah hingga bekerja dan memiliki istri.

Gado-gado buatan Mak Tini--dokpri

Pekerjaan membuat makanan dan menjualnya itu telah ia lakoni selama puluhan tahun. Kadang ia membuat makanan ringan berupa roti basah, arem-arem, lemper, nagasari untuk dititipkan di warung-warung.
Saat bulan puasa ia pun dengan penuh semangat berjualan takjil.

Saya mengenalnya dengan sangat akrab. Saya terkadang mampir sebentar di warungnya hanya untuk minum segelas setup buatannya.

Melayani pembeli--dokpri

Tangan mak'e yang mulai keriput, nampak tergopoh mengambil bumbu, terkadang ia meletakkan bumbu tidak dicobek, kacang dan cabe berantakan di luar tempat ia mengulek bumbu.

Kasihan memang, setua ini masih memiliki semangat berkarya entah untuk apa.

Padahal anaknya bisa dibilang sudah mapan. Rumah type 46 dengan dua lantai sudah berhasil dibelinya beberapa tahun yang lalu, yang sebelumnya mereka tinggal di rumah kontrakan yang sempit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline