Setiap fajar, sebelum adzan subuh berkumandang, saya dibangunkan oleh Kokok ayam yang menggema dari belakang rumah.
Ayam Bangkok jantan itu memang berlaku seperti alarm yang berputar, lalu berbunyi di waktu yang tepat, membangunkan siapapun yang peka untuk segera bersujud menghadap Sang Khaliq.
Lalu setelah dari masjid saya menyiapkan bahan makanan untuk mereka. Nasi kering yang sebelumnya direbus dahulu, bekatul, dan pur ayam untuk campuran.
Tiga genggam nasi kering itu saat direbus akan menjadi setengah ember makanan siap saji untuk 30-an ekor ayam.
Saya merawat 2 jenis, ayam buras dan ayam bangkok dari satu ayah yaitu ayam Bangkok.
Kata kakak saya di Banyubiru, jenis betinanya boleh apa saja, yang penting ayam jantannya keturunan bibit unggul.
Saya sebenarnya lebih senang memelihara Sato kewan seperti kambing atau kelinci, tapi kalau melihat situasi di perumahan yang sulit mendapatkan pakan untuk hewan, akhirnya saya memilih memelihara ayam saja daripada tidak punya ingon-ingon.
Berawal dari hadiah pemberian keluarga besan berupa satu pasang ayam buras. Dilepas di belakang rumah, diberi makan dari sisa-sisa dapur, kemudian berkembang biak secara alami. Di betina sampai saat ini sudah menetas 9 ekor sejak itu, dan anak-anaknya sudah berpindah tangan ke tetangga untuk disembelih.
Kakak saya di Banyubiru memiliki puluhan induk ayam keturunan Bangkok, dan jantannya dari hasil juara dan menang di banyak kompetisi ayam aduan. Menurut keyakinan para peternak ayam bangkok, sang juara akan menghasilkan bibit unggul.
Waktu itu sekitar 24 ekor saya bawa dari Banyubiru, dan saya rawat sebagaimana kakak saya merawat. Kandang baru saya buatkan dan berkumpullah para ayam menjadi teman saya setiap hari.
Tak dinyana beberapa puluh ekor ayam kecil mati tanpa sebab, mungkin karena saya masih awam jadi kurang baik cara merawatnya.