Truk yang dibawa sopir dari luar kota itu berhenti di sebuah rumah dengan halaman luas. Lalu seorang perempuan setengah tua, sebut saja mbok Karmi namanya, memilih jagung dan menempatkannya di karung yang ia persiapkan dari rumah.
Tahun lalu ia juga memperoleh jagung manis dari tempat ini. Seorang pedagang besar bernama Sukri yang pandai memanfaatkan situasi. Di malam Tahun baru setiap tahun, pak Sukri kulakan jagung dalam jumlah besar dan mendistribusikan kepada para pedagang kecil yang menjadi langganannya dengan harga yang cukup terjangkau. Yang penting para bakul yang datang tidak ngutang, ia akan melayaninya.
Bersama suaminya sebut saja Mbah Karto, lelaki yang terlihat sudah berusia lebih dari 60 tahun, mbok Karmi menjajakan dagangannya yang ia tata di sebuah meja kecil di pinggir jalan depan sebuah minimarket.
Jam 12.00 siang mbok Karmi membuka lapak, dan belum seorangpun yang menengok dagangannya. Lalu sampai pukul 14.00 siang, terjual beberapa biji, dan turunlah hujan. Ia berkemas dan pulang ke rumah dengan terburu.
Hujan di malam tahun baru itu telah membuyarkan angannya. Uang dari hasil buruh tani yang ia kumpulkan untuk kulakan jagung manis dengan harapan bisa berpinak untuk menyambung hidup, jadi terberai.
Onggokan jagung manis yang masih berkulit itu dipandanginya dengan nanar. Ia berguman, "andai saja uang itu kemarin aku belikan beras dan lauk pauk, pasti suami dan dan cucuku hari ini sudah bisa sarapan".
Tapi sudah terlanjur, harapan yang ia tumpukan pada seonggok jagung muda itu telah sirna begitu saja.
"Andai saja hari kemarin tidak hujan", gumannya.
Tahun lalu ia memang mendapatkan banyak keuntungan dari berjualan jagung. Cuaca yang cerah menghantarkan rejeki yang berlimpah untuk keluarganya.
300 potong jagung manis yang ia jual ke pembeli laku per-bijinya Rp.4000,- dari nilai kulakan Rp.1000/biji. Keuntungan yang lumayan.