Siapa yang tak mengenal becak ? Kendaraan roda tiga sangat familiar di Indonesia khususnya di kota-kota di Jawa. Jakarta pada masa lampau juga dipenuhi oleh becak hingga membuat semrawut kota, lalu dihapuskan dan para becak ditenggelamkan ke laut untuk rumpon.
Semarang salah satu kota di Indonesia yang masyarakatnya sangat familiar dengan becak. Mengantar ke tempat dekat, atau agak jauh sedikit, dengan ongkos yang bisa ditawar memang seni menumpang kendaraan tradisional ini.
Becak memang memiliki segudang cerita yang bisa diolah oleh siapapun. Pengemudinya, kendaraannya, bahkan penumpangnya pun bisa jadi bahan cerita.
Sebagai alat angkutan tradisional, becak mengangkut orang tak pandang kasta. Orang kaya, orang miskin, pegawai kantoran, atau pedagang pasar sayur sering menggunakan jasa becak.
Kota Semarang memiliki topografi daerah perbukitan di bagian atas, seperti Banyumanik, Tembalang, Srondol dan Jatingaleh. Tapi kota bawah seperti Sekitar pasar Peterongan, seputar simpang lima, jalan Mataram, Pandanaran, Majapahit, adalah daerah landai yang masih banyak terdapat becak.
Memiliki roda tiga dan dijalankan dengan cara digenjot seperti sepeda, becak menjadi angkutan alternatif yang bisa mengantar penumpang sampai depan rumah.
Pengemudi becak, biasanya adalah orang urban yang merantau ke kota. Mereka biasanya tidak memiliki skill khusus sehingga kalah bersaing dengan para calon pekerja yang memiliki keahlian. Seperti menjadi tukang, atau pekerjaan lain.
Saat ini tak becak yang beroperasi di Kota Semarang sudah tak sebanyak dulu. Mbah Paring lelaki tua ini menuturkan kisah hidupnya sambil menggenjot pedal becak yang saya naiki. Ia bercerita bahwa dirinya dan istrinya adalah orang Semarang asli. Tinggal di seputaran kampung Lamper Mijen kecamatan Gayamsari. Membina rumah tangga dengan seorang istri yang memberinya 4 orang anak. Dan saat ini ia memiliki 8 orang cucu dari keempat anaknya.
"Saat ini penumpang sepi mas", ia memulai kisahnya. "Dahulu saya memiliki langganan sangat banyak. Biasanya saya ngetem di beberapa tempat", Mbah Paring melanjutkan ceritanya.
Mbah Paring adalah lelaki sederhana. Kondisi ekonominya yang sangat terbatas membuat dirinya tak mampu berbuat banyak.
"Dari dulu sampai sekarang ya jadi tukang becak mas, wong saya tidak punya keahlian apa-apa selain mengayuh becak", ungkapnya disela-sela gerakan kakinya yang terus memancal pedal memutarkan roda becak.