Saya dilahirkan dari keluarga besar. Kondisi ekonomi yang serba kekurangan membuat momen berharga seperti Perayaan Natal atau perayaan yang lain biasa saja, tanpa kesan.
Keluarga kami heterogen, beberapa anak menganut agama Kristen protestan dan Yang lain menganut Agama Islam .
Hari raya kedua agama ini tiap tahun kami peringati tanpa acara yang berarti.
Saat natal kami tak pernah punya apa-apa, saat lebaran pun kami tidak punya apa-apa.
Tiap natal beberapa anggota keluarga kami macak klimis, bersiap berangkat ke gereja untuk merayakan kebaktian. Sementara kami yang muslim tetap di rumah dan menungggu barangkali ada sesuatu yang bisa dibawa saat pulang dari gereja.
Tak ada pohon Cemara dengan hiasan lampu-lampu natal yang indah. Tak ada musik merdu yang menghiasi ruangan keluarga. Semua terasa hampa dan biasa saja. Sebab kondisi ini terjadi karena keadaan keluarga kami yang miskin.
Saat natal tiba, tetangga yang memiliki kerabat jauh, biasanya mereka saling berjumpa dan berkumpul dalam satu rumah anggota keluarga yang dituakan.Tapi keluarga kami tidak ada acara seperti itu, karena keluarga kami yang lain memang tidak ada yang merayakan natal sebagaimana idul Fitri.
Bahkan sampai kami dewasa, perayaan natal yang digemakan secara nasional dan tayang di TV, tetap saja tak membuat keluarga kami memiliki acara tahunan seperti tetangga yang lain.
Tapi meskipun kami tidak pernah ada momentum perayaan natal, bagi kami toleransi itu lebih penting dari segalanya.
Bagaimana kami membenci orang lain yang berbeda agama, sementara semenjak kecil kami sudah dipersatukan dalam perbedaan?
Bagaimana kami bisa truth claim terhadap keyakinan kami, sementara kami dibesarkan dalam nilai Ketuhanan yang mengajarkan kami akan pentingnya cinta kasih sesama manusia ?
Kami tak pernah saling singgung berkenaan dengan masalah keimanan kami.
Lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Dan setiap manusia akan bertanggung jawab di akhirat sesuai amal perbuatannya masing-masing.