Lihat ke Halaman Asli

"Istri Muda," Jenjang Karier?

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit senja menggeliat malas, mencoba menarik selimut malam serapat mungkin. Semburat jingga warna selimut semakin membuatnya jengkel. Sebenar lagi hamparan sunyi pasti akan datang. Sendiri dalam kesepian yang terpenjara.

Inikah kenyamanan yang kau janjikan wahai dewa cinta?

------

Cantik sekali Keke memindahkan  jenjang kaki mungilnya, sembari memantik korek kayu kesukaanya, dan pelahan api menjulur ke sudut bibir mungil yang lembut mengulum mild kesukaanya.

Kami sadar, kami tak mampu mencintai dengan sempurna. Tapi, selalu saja ada lelaki bodoh yang memaksa kami untuk berpura-pura mencintai. Mereka seperti bangga ketika mampu mengurung kami di sangkar mewah dengan banyak mimpi dan kemanjaan semu. Mereka juga seperti bangga ketika datang seperti membawa rindu dan cinta, meski itu juga hanya sesaat. Karena setelah itu, mereka akan pergi lagi meninggalkan kami yang mungkin masih telanjang dalam keniscayaan.

Ayah tahu? itu selalu kami ceritakan setiap malam manakala tak ada melodi cadas memaksa kami terhuyung-huyung dengan perut mual setelah seribu tetes alkohol kami nikmati. Cerita itu begitu menyihir kami hingga seakan-akan, itulah cita-cita kami yang paling masuk akal, Jadi gundik.

Barangkali, memang hanya itu yang layak kami dapatkan, yaaah.... apa boleh buat?

Keke tersenyum, mungkin berusaha tersenyum, karena yang nampak di mataku, senyumnya seperti seringai serigala malam yang selalu memandang curiga setiap yang mendekatinya. Hempasan asap mild dari bibirnya menunjukkan resah yang berkepanjangan, tajam dan menyengat.

Masih ada satu sloki hidangan penutup yang dibiarkannya menunggu. Sepertinya Keke ingin episode lain dari seluruh bayangan mimpinya.

Pelahan kugenggam tangannya, kupandang wajahnya yang tak sedikitpun bergeser dari rasa angkuh dan curiga, "Kau pun ingin seperti itu?".

"Maunya ayah?", hanya sedikit ia melirik wajahku. Tapi itulah yang aku suka dari Keke, itu lah yang membuatku selalu cemas jika mengingatnya, itulah yang membuatku selalu rindu ingin mendengar celotehnya tentang rumah, tentang ibunya dan tentang anaknya yang selalu membuatnya terbangun dari keresahan. Sepertinya itu hanya celoteh liar penghapus resah, tapi aku menangkapnya sebagai sebuah cita-cita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline