Lihat ke Halaman Asli

Ada Apa dengan Saya, Dokter?

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Arek'e telpon ambek  nangis-nangis, gak direken dokter mergo arek karaoke"

Masih saja hidup ini membutuhkan simbol-simbol untuk saling mengenali dan menghormati. Tidak sadarkah kita kalau bulan tidak pernah memilih langit sebelah manapun untuk tempatnya bersila, bahkan juga tak pernah memilih siapa pun untuk ia sinari, semua hanya atas kehendakNYA.

Rasa sakit, rasa senang atau rasa apapun, hadir tidak serta merta, tidak karena ia miskin, tidak karena ia kaya, tidak juga karena ia cantik dan rupawan, dan rasa adalah anugerah termulia dari sang Maha Kuasa atas takdir kita sebagai manusia.

Lantas... kenapa mesti kau lipat kehendakmu dalam rasa dan memberi rasa? hingga nampak begitu lucunya tingkahmu di antara hati dan jiwa-jiwa liar sepertiku.

"Ayaaaah....!!!", pesan singkat yang tidak mampu ku respon dengan sama singkatnya. Ku tunda jawaban hingga motor setia yang sedang mengantarku perjalanan menuju batas neraka dan sorga, menepi di tempat rimbunan pohon yang selalu berbaik hati tanpa memilih.

"Ada apa...?", tak bisa kuhindari pula untuk menyulut sebatang wismilak, karena ini pasti akan panjang.

"Aku ini sakit betulan, tapi aku jengkel sama dokternya", aku bayangkan mulut Keke yang bertambah lancip dengan sikapnya itu, belum lagi hidung mungilnya yang selalu membuatku ingin ketawa ketika memandangnya. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin membayangkan wajah itu, pikiran ini mulai menerawang tentang hal buruk yang dilakukan si dokter terhadap anak perempuanku yang sedang sakit.

"Iya.... terus kenapa dengan dokternya???", kuhembuskan dengan kencang asap di mulut yang sebentar tertahan.

"Mosok aku nggak ditanyain apa-apa, langsung di kasih resep gitu aja"

"Hahahaha..... lha terus maumu diapain?", sejenak ketegangan mereda.

Rupanya itu cuma hiburanku sesaat, tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, tanpa menunggu hembusan wismilak yang mulai menggumpal di mulutku, bahkan tanpa menunggu malam ketika biasa kami berbincang-bincang. Telephone berdering, Keke ada di situ.

Mulanya aku hanya ingin minta surat istirahat dokter agar menejemen percaya kalau aku sakit betulan, padahal tanpa surat dokter pun menejemen tak akan berbuat apa-apa dengan sakitku yang telah diperbuatnya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline