Lihat ke Halaman Asli

Tentang Iba dan Duka yang Tiba-tiba Hadir

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13300570902046172766

Melihatmu datang dengan wajah polos mungil dan senyum ragu, penuh tanya tapi pasrah, sama sekali membuyarkan ingatanku  tentang rupa yang kulihat ketika  kita bersama terbahak mendengar hiruk pikuk dentuman musik cadas itu. “Assalamualaikum Ayah…”, dan kemudian kau terdiam setengah merunduk mendengar kata demi kata yang kususun dengan cermat, karena aku tahu, kau hanya gadis mungil yang terjebak oleh kebohongan cinta, dan aku pun tahu, kau takut terjebak lagi pada cinta bohong dan kebohongan cinta. “Aku hanya ingin kau tahu, kalau aku sangat menyayangimu”, itu pun aku masih ragu, dan semoga ini benar hanya sayang, karna memang itu yang aku rasakan, karena hanya iba yang aku lihat dari sorot matamu yang bening sedikit kuyu, mungkin karena itu mata malam, bukan mata yang biasa aku lihat bersinar tapi bohong. Mata kuyumu lebih jujur, jujur, bahwa kau memang benar-benar sakit. “Ayah aku pamit…!!”, dan aku semakin merasakan sakitnya dada ini melihat linangan di ujung matamu yang menetes membasahi punggung tanganku. Aku merasakan hangat yang indah, yang belum pernah aku rasakan hingga batas usia hampir berakhir. Keke perempuan mungil dengan wajah mungil, aku tak tahu nama aslinya, ah!  itu tak penting, aku lebih penting melihat wajah aslinya, dan ia benar-benar mungil diusianya yang 22 tahun, dengan anak tak berayah berusia 2 tahun, kehidupan aslinya. “Klasik…!!!” begitu jawabku ketika pertama berbincang tentang hal itu, dan aku hampir tidak peduli dengan kehadirannya yang tiba-tiba dalam sebuah malam sendiri. Ombak pantai Tuban yang merdu bak orkestra malam, mendayu-dayu seakan ingin memaksaku untuk tetap diam di kamar menikmati alunannya, dan bintang-bintang yang menari, dan panglima-panglima laut yang siap menebar layar menuju RahmatNYA, memanjakan mata dan angan dalam duduk diamku setelah seharian lelah menjamah. “Ayah… aku pengen mabuk”, pesan singkat Keke membuatku melewati ekor bintang jatuh yang sempat menggoda mata. Ada rasa iba lagi yang tak mampu ku buang begitu saja. Masih kuperiksa hati ini, antara iba atau sok iba atau bahkan seperti buaya yang begitu tenang membuka mulutnya di depan mangsa yang buta. Tidak…. aku tidak boleh terbuai dengan binalnya, Keke bukan perempuan binal, bahkan itu sudah aku katakan sebelumnya, Ia pasti sedang benar-benar resah, Ia pasti hanya butuh teman yang dipercaya, yang mampu membuatnya menjadi bunga harum, bukan bunga bangkai, dan aku harus bisa memenuhi harapannya. “Tapi Ayah nggak boleh ikut minum yaa… Ayah temenin Keke aja”. Dan malam berlalu begitu indah (?)….. Satu pitcher mansion plus bir bintang plus kratingdaeng masih tidak membuatnya berhenti berjingkrak-jingkrak. Dipantiknya korek di tengah kegelapan yang hingar bingar, “Ambilin satu set lagi, tapi ganti chivas…!!!”, dan ketika tubuhnya sudah mulai nampak lelah, ku coba tuang satu sloki untukku, sekedar ingin meringankan bebannya. “Ayaaaah….. !!!”, di tamparnya tanganku yang hampir sampai ke mulut, dan Keke menangis di pelukku. ——- “Keke…. tugas Ayah di kota ini sudah selesai, Ayah besok balik ya?”, ku kirim sms dini hari itu. “trus…?”. Mungkin kepalanya masih pusing setelah melahap dua pitcher tadi. Tapi aku tak peduli, sudah kuputuskan untuk berbuat sesuatu untuk Keke. “Mungkin Ayah nggak balik lagi”, lama diam tak ada balasan. “Besok kita ketemu di Cafe ya? di sana kebetulan ada ATM juga”, kukirim sms susulan, mungkin Keke masih bengong. “Maksud Ayah?”. Yaaaah… begitulah anak-anak, apalagi dalam kondisi mabuk seperti itu, tak mampu mencerna dengan baik setiap keinginan orang. Mungkin itu lah akhirnya yang menjadikan banyak gadis menjadi hancur hidup dan masa depannya. “Pokoknya besok aku tunggu jam 6, sebelum kamu berangkat kerja, sekarang kamu segera tidur dan nggak usah banyak tanya, oke?” Tak ada jawaban, karena aku pun tak perlu jawaban, aku perlu Keke yang asli, bukan Keke yang selalu pamerkan tatto kecil entah gambar apa di punggung kanannya, bukan Keke yang alisnya panjang bagai lukisan bulan sabit, bukan Keke yang wangi oleh bedak dan gincu tipis. Dan kuhabiskan dini hariku dengan angan-angan, sambil menunggu panglima laut yang satu-persatu merapat di dermaga, mengawali terbitnya surya merah di batas laut sana. —– “Ayaaah….!!”, Keke turun lagi dari boncengan motor kawan yang mengantarnya, ia mencium lagi punggung tanganku, yang belum kering, lalu sejenak memandang tajam mataku. “Ayah… terima kasih, Keke akan berusaha segera tinggalkan ini semua untuk anak Keke, Ayah do’akan Keke ya?”, dan kukecup keningnya, dan tangisnya semakin deras. “Jangan sampai lupa telephone Keke setiap hari ya Yaaah…?” Motor Keke sudah tak nampak, tapi wajah polosnya, tutur kata santunnya dan hangat air matanya masih tertinggal, di sanubari. “Selamat berjuang anakku….!!” —— :moko, 24-02-12 Keke hanya satu dari sekian ribu bahkan sekian juta (mungkin) wanita yang bekerja sebagai pemandu tamu di tempat-tempat karaoke yang ada, mereka biasa di sebut sebagai “Purel”, sebuah istilah yang sedikit melecehkan ilmu menejemen. Umumnya mereka berkerja di situ hanya sebagai pelampiasan, namun mengingat penghasilan yang dirasa mereka cukup menggiurkan, membuat mereka akhirnya berusaha menjadi profesional. Ironinya, tuntutan profesionalnya adalah jalan menuju kehancuran yang lebih dalam. Sementara para purel itu meningkatkan profesionalitasnya, menejemen mengimbanginya dengan berbagai bentuk perlindungan, namun sayangnya perlindungan yang diberikan hanya besifat demi keuntungan menejemen, bukan kepentingan masa depan purelnya. Masih banyak yang ingin aku tulis tentang semua ini, tapi sayang bahan belum cukup, semoga masih ada kesempatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline