Lihat ke Halaman Asli

Iklim Industri Suburkan Budaya Koruptif di Tuban

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Opini, kabartuban.com –Korupsi menjadi persoalan krusial yang hingga kini terus menjadi virus yang perkembangannya kontinyu. Dari berbagai kajian, persoalan korupsi ternyata tidak hanya melanda jaman ini saja. Pada jaman mesir kuno, persoalan korupsi juga sudah menjadi persoalan yang cukup serius. Tidak hanya di Indonesia, saat ini korupsi juga melanda negara – negara maju, tidak terkecuali Amerika.

Bahkan di dalam hukum Islam, agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia khususnya di Tuban, hukum suap menyuap yang disebutrisywahtegas dilarang dan diatur aturan hukumnya. Itu artinya, sejak berabad – abad yang lalu, persoalan korupsi ini telah muncul dan menjadi permasalahan serius.

Pada jaman yang cenderung mengarah pada sikap materialistis masyarakat ini, korupsi tidak hanya menjadi sebuah kejahatan. Namun korupsi dan suap menyuap seakan telah menjadi budaya, kebiasaan, bahkan secara ekstrim mengarah pada lingkaran ‘adat’.

Dalam berbagai kajian, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa korupsi merupakan sikap kelompok masyarakat yang menjadikan uang sebagai standart kebenaran dan kekuasaan, untuk mencapai sebuah maksud kepentingan individu maupun golongan.

Karena suatu kepentingan yang berkaitan dengan birokrasi dan bisnis tertentu, maka banyak pihak yang menginginkan jalan pintas dengan memberi uang sogok. Di ranah birokrasi, perkembangan pola dan gaya hidup materialistis mendorong para oknum mengambil langkah untuk memperkaya diri dengan berbagai kewenangan dan kesempatan yang dimilikinya.

Budaya Koruptif dan Iklim Industri Di Tuban

Perkembangan Kabupaten Tuban sebagai salah satu kota Industri di Jawa timur semakin hari semakin jelas. Berbagai perusahaan lokal, nasional, bahkan multinasional berdiri tegak di ujung barat Jawa Timur ini. Seiring dengan pembangunan industri, tentunya banyak kebutuhan dan banyak kepentingan dari berbagai pihak, agar misi bisnisnya dapat berjalan dengan baik.

Di wilayah birokrasi, tentunya banyak hal yang dibutuhkan para pelaku bisnis. Baik dari perijinan, masalah sosial dengan masyarakat, pengelolaan dan keberlanjutan bisnis, dan tidak bisa dihindari bahwa politik bisnis dan kepentingan para pelaku usaha melingkar di wilayah birokrasi. Di sinilah celah – celah suap, sogok, dan gratifikasi itu muncul.

Contoh sederhana, kekayaan alam di Tuban mengundang banyak investor dari luar untuk mengeksploitasinya. Untuk memulai bisnis ini, tentunya banyak syarat prasyarat panjang yang harus dipenuhi kaitannya dengan birokrasi tertentu.

Ketika pengusaha tidak mau serba repot dengan tata aturan birokrasi yang seringkai lambat, dan secara turun menurun para oknum pegawai menganggap adanya kepentingan pengusaha di wilayah kerjanya sebagai sebuah proyek. Bagai ‘pucuk dicinta ulam pun tiba’, kejahatan sogok menyogok itu pun terjadi.

Belum lagi ulah para pegawai yang tidak mau kalah kaya dengan para pengusaha, ada sebagian dari mereka menggunakan kesempatan kekuasaanya untuk memainkan proyek – proyek yang ada di industri terkait. Mereka membuat legal usaha dengan nama orang lain untuk menampung berbagai macam proyek yang dapat dimainkan dengan senjata kewenangan yang dimilikinya. Bahkan jika kesempatan itu ada, tidak segan – segan memainkan anggaran negara untuk melancarkan proyek usaha yang dimilikinya. Sudah bukan rahasia umum, masyarakat banyak yang tahu, dan seolah telah menjadi sebuah kewajaran.

Jika ditarik garis lurus, hal ini menjadi pemicu sikap acuh para pengabdi negara itu untuk bekerja demi kepentingan rakyat. Tanpa diakui, mereka telah menghianati amanat sebagai abdi negara yang seharusnya secara totalitas bekerja untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, dan mereka telah digaji dan dijamin kesejahteraannya untuk itu.

Lebih mengerikan lagi, ketika banyak kepentingan pribadi yang masuk dalam kinerja aparat pemerintahan, bisa jadi bukan pemerintah yang mengatur para pengusaha yang sedang saling berkompetisi di wilayah industri berkembang ini. Namun bisa jadi oknum pemerintah diatur oleh para pengusaha untuk melancarkan kepentingannya, tentunya dengan imbalan yang tidak sedikit.

Di pihak lain, BUMN yang ada di Tuban secara sadar maupun tdak sadar telah memberikan pendidikan yang buruk kepada masyarakat. Demi kesuksesan imej kinerja BUMN di mata nasional, tidak jarang segala cara ditempuh agar tidak terjadi gejolak sosial dan sikap protes yang dinilai berakibat menyudutkan perusahaan. Tentunya, semua dapat diselesaikan secara cantik dengan pundi – pundi rupiah.

Secara internal, Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) kiranya sangat layak untuk diindikasikan. Mulai dari pemenangan sejumlah tender dan penunjukan pelaksanaan pekerjaan hingga perebutan lahan bisnis, menjadi santapan empuk para penjahat koruptif. Jual beli Surat Perintah Kerja (SPK) dan Purchase Order (PO) marak terjadi. Masyarakat tidak sedikit yang tahu, menjadi rahasia umum, dan seolah seperti sebuah kewajaran.

Tidak hanya itu, proyek – proyek sosial pun menjadi lahan korup yang empuk bagi para oknum. Memainkan kebutuhan dan kepentingan sosial masyarakat yang berkaitan dengan perusahaan, segala hal seolah bisa diuangkan. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab tidak seimbangnya iklim sosial Tuban di tengah iklim industri yang terus berkembang.

Di tengah gaung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan usaha pencegahan korupsi. Pendidikan koruptif di masyarakat terus berlangsung secara konstan tanpa disadari.

Jika banyak oknum korup di semua lembaga pemerintahan baik eksekutif, legislatif, dan judikatif yang tumbuh subur dan terdidik oleh keadaan secara konstan, maka tidak menutup kemungkinan rakyat Tuban hanya akan menjadi buruh bahkan bisa dikatakan secara kasar ’budak’ di tanahnya sendiri.

Belum lagi para penghianat yang berkedok membela kepentingan masyarakat. Memanfaatkan konflik industri dengan masyarakat untuk meraup keuntungan pribadi. Tidak jarang para oknum pekerja sosial yang rela menjadi cantrik investor untuk melancarkan kepentingan para ‘Bos’ investasi, meski terkadang harus melindas saudaranya sendiri.

Wacana dan logika sederhana ini bukan bermaksud menjustifikasi individu atau golongan tertentu, namun hanya sekedar opini kecil yang diharapkan membuka kesadaran berpikir untuk saling menjaga dan mencegah kejahatan korupsi di Bumi Ronggolawe. (iim sahlan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline