[caption caption="Presiden Joko Widodo saat groundbreaking proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di Walini - CNN Indonesia"][/caption]Kemacetan itu nyaris seperti di tol Cipularang menjelang perayaan Natal 2015. Hanya bedanya, kemacetan itu terjadi di atas gumpalan tanah lumpur perkebunan teh Walini, Jawa Barat, untuk menuju lokasi groundbreaking kereta cepat Jakarta-Bandung. Setidaknya 4 s/d 5 Km kemacetan mobil-mobil mewah yang membawa para pejabat dan tamu undangan. Kemacetan di tengah kebun teh menjadi tontonan menarik bagi warga di sekitar Cikalong Wetan yang juga ingin menyaksikan awal pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Groundbreaking kereta cepat Jakarta-Bandung memang diadakan di tengah kebun teh Walini. Di tempat groundbreaking itu nantinya akan dibangun Transit Oriented Development (TOD). Di atas perbukitan itu sudah mulai nampak peralatan berat eksavator, sejumlah truk, dan peralatan berat lainnya yang mulai meratakan tanah untuk dimulainya jaringan kereta cepat.
Di hamparan kebun teh itu, Presiden dan Ibu Iriana Joko Widodo, mengenakan sepatu boot dan helm proyek menyusuri tanah berlumpur untuk menyaksikan awal dimulainya pembangunan konstruksi kereta cepat, setelah sebelumnya menekan tombol untuk menandai groundbreaking proyek infrastruktur tersebut. Sebagai presiden yang selalu ada di hati rakyat, Jokowi tak segan-segan menyapa dan memberikan buku tulis kepada anak-anak yang menyaksikan prosesi tersebut.
Bagi Jokowi, melihat langsung pengerjaan proyek dalam groundbreaking merupakan masalah subtansial. Ia tidak ingin seperti beberapa kasus sebelumnya dalam kasus pembangunan jalan Manado-Bitung di Sulawesi Utara sepanjang 39 Km, begitu ia resmikan langsung mangkrak. Pembangunan jalan dengan investasi Rp 11 triliun itu terhenti, karena masih adanya berbagai persyaratan yang belum tuntas.
Jokowi bukanlah Presiden yang hobi groundbreaking infrastruktur. Sebagai presiden yang di tahun 2016 mencanangkan tahun percepatan infrastruktur, menginginkan baik infrastruktur yang dibiayai oleh APBN maupun swasta dan BUMN harus dimulai pada awal tahun. Selain untuk mengejar target waktu penyelesaian pekerjaan, juga untuk mestimulus pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditarget 5,5 s/d 6%.
Dengan makin banyaknya infrastruktur yang dibangun akan semakin banyak uang yang diserap dan beredar di masyarakat untuk menggerakkan perekonomian nasional. Dengan pembangunan infrastruktur, peredaran uang tak hanya akan menunpuk di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Tak berlebihan bila Jokowi meminta untuk pengerjaan infrastruktur di daerah menggunakan kontraktor lokal. Atau kalau yang mengerjakan kontraktor nasional, untuk subkontraktornya adalah kontraktor lokal. Hal ini ditempuh Jokowi, agar uang lebih banyak beredar di daerah. Bukan beredar sebentar di daerah kemudian ditarik lagi ke Jakarta.
Di sinilah terlihat pembangunan infrastruktur bukanlah dimaksudkan untuk menggejar pertumbuhan semata, tetapi juga untuk pemerataan pembangunan. Jokowi, mempunyai obesi untuk menurunkan indeks gini yang kini sudah mencapai 0,413 jauh di atas angka pada era Orde Baru 0,305. Jokowi menginginkan pertumbunan ekonomi yang lebih 50% disumbang oleh Pulau Jawa, harus mulai diratakan ke luar Jawa. Bila sumbangan Papua terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 2,25%, NTT (2,5%), Sulawesi (4,8%), Kalimantan (8,8%) dan Sumatera (23,8%), di era pemerintahannya sumbangan Luar Jawa terhadap PDB bisa seimbang dengan pulau Jawa.
Untuk mengejar pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, Jokowi tentu tak hanya melakukan groundbreaking. Di bulan Januari ini saja, ia memonitor langsung penandatanganan kontrak pembangunan infrastruktur yang sudah ditender sejak akhir 2015 di Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan. Ia juga sudah sidak untuk pengerjaan Bandara Kertajati, Jawa Barat. Tentu sidak pembangunan infrastruktur ini justru yang akan lebih banyak dilakukan oleh Jokowi, sebagaimana dengan tahun 2015, telah mengunjungi pembangunan kereta api di Sulawesi Selatan, mengunjungi calon pelabuhan perikanan di Papua dan sejumlah pulaua lainnya. Bahkan untuk memastikan pembangunan infrastruktur di Papua, Jokowi akan berkunjung ke Papua minimal 3 kali dalam setahun.
Untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, Presiden Jokowi telah meningkatkan biaya infrastruktur dari APBN sebesar 8% menjadi Rp 313,5 triliun. Jumlah tersebut memang terlalu jauh dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur selama lima tahun (2014-2019) sebesar US$ 55,5 miliar (Rp 7.540 triliun). Untuk itu Jokowi juga melibatkan swasta dan BUMN untuk ikut membangun infrastruktur.
BUMN yang pada 2016 memiliki aset 6.240 triliun sangat potensial untuk ikut membangun infrastruktur. Tahun 2015 saja misalnya BUMN mengalokasikan anggaran untuk membangun infrastruktur sebesar Rp 245,30 triliun untuk menangani 86 proyek strategis. Jumlah tersebut kemudian ditingkatkan secara signifikan pada 2016 sebesar Rp 281 triliun untuk menangani 121 proyek strategis, termasuk di dalamnya Kereta cepat Jakarta-Bandung yang investasinya sekitar Rp 76 triliun.
Tentu Jokowi sangat bersemangat menyaksikan awal pengerjaan kereta cepat, sekalipun ia bersama Ibu Negara harus menaklukkan hamparan lumpur di Walini. Setidaknya, ia menyaksikan langsung keseriusan konsorsium BUMN dalam mengerjakan kereta cepat Jakarta-Bandung. Bahkan ia juga melihat ada upaya keras dari BUMN untuk melakukan transformasi bisnisnya. Untuk pengerjaan proyek kereta cepat dengan skema Business to Business (B to B) merefleksikan sikap entrepreneurship di tubuh BUMN dalam menjalankan bisnisnya.