Bagi seorang guru, aktivitas menulis sejatinya merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dengan profesinya sebagai guru. Terlepas guru tersebut baru saja menjadi guru, apalagi yang telah lama menjalaninya sebagai guru. Menulis telah menjadi aktivitas dan bagian hidup sebagai seorang guru. Namun demikian, mengapa ketika guru diharuskan membuat karya tulis ilmiah maupun karya tulis lainnya, mereka berkilah tidak mampu menulis?.
Tidak dapat dimungkiri, bahwa banyak guru yang enggan memanfaatkan waktunya, baik ketika di sekolah maupun di rumah, menulis atau mencatat kegiatan hariannya sebagai guru. Guru tidak mampu menulis apa yang sebenarnya mereka alami, rasakan, atau terlibat langsung atau tidak dalam berbagai aktivitas sebagai guru.
Saat menjadi siswa atau mahasiswa pendidikan guru, saat mengajar pertama di muka kelas dan berhadapan dengan siswa, dan sebagainya. Moment dan peristiwa penting sebelum, saat, dan sesudah terjun menjalani, mengalami, dan merasakan kehidupan sebagai guru merupakan sumber inspirasi untuk menjadi tulisan.
Terlebih lagi, bagi guru sudah sejak masuk sekolah, kuliah, dan kemudian menjadi guru tentu pernah menulis tentang berbagai macam hal. Lalu, mengapa masih ada guru yang mengatakan, saya tidak mampu menulis?
Memaknai sebuah tulisan, tidak sekedar terfokus pada tulisan karya ilmiah semata atau bentuk tulisan formal lainnya, tetapi menulis itu hendaknya pula dimaknai dengan menulis tentang apa saja. Guru dapat menulis cerita tentang hari pertama praktik mengajar, cerita mengenai ketika pertama mengajar di sebuah sekolah yang baru, dan sebagainya.
Semua moment dan peristiwa seputar kehidupan guru akan menjadi sumber bahan tulisan yang tidak akan habis-habisnya untuk ditulis. Masalahnya, tergantung sejauh mana guru tersebut mau menulis? Guru sangat fasih dan lancar menjelaskan pelajaran seraya bercerita panjang lebar tentang berbagai hal, sehingga hampir waktu atau jama mengajarnya diisi dengan ceramah dan cerita guru saja.
Bahkan akan lebih banyak lagi bercerita atau berbicara ketika bertemu dengan rekan dan kawan di kantor, terlebih di warung dan sebagainya. Namun, ketika guru diminta menuliskan apa yang ia jelaskan atau ceritakan, maka semuanya menjadi susah untuk menulisnya.
Menurut penulis, kondisi dan gambaran di atas kemungkinan besar lebih disebabkan oleh faktor kebiasaan atau budaya semata. Kebiasaan dan budaya tutur atau lisan, memang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat kita pada umumnya. Hal serupa juga menjadi pola dan cara guru selama ini dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
Kalau tidak memakai metode" CBSA alias Catat Buku Sampai Abis", guru menggunakan metode "CEMU alias Ceramah Melulu". Kedua pola atau metode pembelajaran tersebut menjadi faktor penyumbang yang membuat guru tidak mampu menulis tentang apa yang dialami, dilakukan, atau dilihatnya.
Dengan metode ceramah melulu, guru tidak perlu menyiapkan segala sesuatunya dalam pembelajaran, bahkan sampai tidak membuat rencana pembelajaran, tidak menggunakan media, tidak perlu persiapan yang rumit, dan sebagainya. Guru cukup datang ke kelas dan memberikan penjelasan dan sebagainya sepanjang waktu pembelajaran tersebut.
Dalam konsep pembelajaran modern, konsep guru sebagai sumber utama belajar telah diubah. Kini fungsi dan peran guru bukan menjadi satu-satu sebagai sumber utama belajar di kelas. Ada buku, koran, majalah, bahkan internet.