Ketika saya masih berkuliah sarjana strata satu (S-1) di Universitas Gadjah Mada, salah seorang dosen pernah berujar, "Coba Anda perhatikan wajah para ilmuwan di luar negeri, terkhusus para penerima Hadiah Nobel. Apakah Anda melihat air muka tegang atau menyeramkan?"
Nah, apakah Anda juga pernah melakukannya? Apakah Anda mengamati dan merasakan bahwa mereka dipenuhi ketegangan, ketergesa-gesaan, atau justru kegembiraan?
Seorang teman pernah bertanya kepada saya, "Mengapa ilmuwan luar negeri terutama yang sudah menerima penghargaan macam-macam termasuk Nobel terlihat senang, gembira?" Dia amat heran karena banyak, tidak semua tentunya, civitas akademik ilmu alam di berbagai universitas Indonesia kelihatan stres dan "angker".
Satu contoh yang nyata adalah John B. Goodenough, penerima Nobel Kimia 2019 pekan lalu. Dia bahkan menyatakan bahwa dia tidak pernah mengharap untuk bisa menerima Nobel dan dia mengatakan itu dalam suatu wawancara yang penuh tawa darinya.
Adakah hubungan antara kegembiraan yang relatif terpancar dari wajah para ilmuwan yang telah menerima anugerah Nobel atau anugerah lainnya? Saya hanya mempunyai perkiraan berdasarkan latar belakang keilmuan saya di bidang ilmu kimia sejak S-1 hingga studi doktoral.
Mereka, yaitu ilmuwan dari ilmu pengetahuan alam (IPA), sudah tidak diragukan kapabilitas dan tingkat kemahirannya di dalam bidangnya. Hadiah Nobel menjadi bukti kongkritnya.
Mereka adalah para ilmuwan yang berhasil melalui banyak tahapan dalam karier akademiknya dengan membuat berbagai tulisan ilmiah dalam bentuk jurnal yang dipublikasikan dalam penerbit jurnal yang baik pula, semisal Science atau Nature. Artinya, kontribusi keilmuan yang dihasilkan tidak dangkal.
Para ilmuwan itu telah banyak belajar dari alam melalui riset dan diskusi baik lewat diskusi biasa dengan para mitra maupun lewat forum ilmiah. Mereka berangkat dari prinsip fundamental bahwa segala sesuatu di alam ini bisa dipahami sebab bisa dipelajari.
Dalam riset, mereka telah banyak bergaul dengan fenomena alam, meski skala laboratorium, dan mereka telah memahami hukum kausalitas alam sehingga muncullah ilham bahwa sebenarnya alam tidak bisa dipaksa.
Manusialah yang seharusnya berkembang dengan menyesuaikan alam. Ini dapat dianalogikan seperti kita tidak mungkin membuat sel surya dari plastik kresek saja karena sifat-sifat kimia dan fisika plastik tidak memungkinkan sama sekali untuk jadi sel surya dan menghasilkan listrik.