Sesekali lihatlah langit pagi tatkala mentari merekah dari ufuk timur, sesekali lihatlah cakrawala ketika sang surya menyapa dari balik peraduannya. Maka engkau akan melihat semburat warna-warni yang tak ternilai indahnya. Sebuah panorama pagi hari yang tak akan bisa dilupakan hingga akhir hayat, karena keadaan itu akan terus terulang tiap kali aku beranjan dari masjid usai shalat subuh.
Tapi pagi ini terasa ada yang aneh. Langit yang biasanya tersenyum menyambut langkah kaki dan ayunan tanganku balik ke padepokan terlihat murung, kelabu dan berkabut. Entah kabut, polusi atau asap, yang kutahu pemandangan seperti ini jarang terjadi di kotaku.
Memang selama beberapa hari terakhir berita di televisi terus mengabarkan situasi dari kota-kota andalas dan bernoe yang sedang berduka dilanda kemarau berkepanjangan sehingga menyebabkan hutan-hutannya terbakar berhari-hari. Asap dari kebakaran hutan itu terbawa buaian angin mengantarnya ke kota-kota padat penduduk sehingga mengganggu aktifitas warga, miris.
Apakah hal yang sama akan terjadi di kotaku ini? Entahlah, aku hanya bisa berdoa semoga awan musim hujan menurunkan siraman pertamanya ke bumi Makassar, kota bersejarah yang penuh dengan kenangan dan peristiwa. Hujan yang begitu selalu dirindu, tapi juga terkadang tak diinginkan, begitu manusia menyikapinya, manusia memang makhluk yang plin-plan, kalau tak mau dikatakan tak bersyukur.
Rindu akan hujan selalu menjadi momen dramatis dalam kesiap alam. Lihatlah ketika sawah-sawah yang terhampar sekarat digerogoti panasnya musim kemarau, lihatlah alir-alir sungai yang mengering, membuat air terjun di beberapa spot yang sering saya kunjungi berkurang pesonanya karena tak ada sehalai airpun datang mengecup, pesona itu makin hilang seiring musim kemarau yang makin di ujung tanduk.
Rindu akan rintik hujan selalu menyisakan kenangan yang spiritualistis. Tengoklah para korban bencana kabut asap dan kekeringan plus kekurangan air di beberapa daerah, mereka dengan khidmat dan takzim melaksanan ibadah shalat minta hujan dengan deraiana air mata yang mengharu biru, mengucur deras dari mata-mata sendu meraka, air mata yang mengalir membentuk hilir yang menyisakan gurat di pipi mereka, persis bekas aliran air yang super kering di relung-relung irigasi mereka.
Rindu akan gemuruh hujan selalu melenakan para pujangga. Saksikanlah ketika hujan lebat datang, ketika tumpahannya menghantam atap genteng rumah mereka bertubi-tubi, dan mengembunkan jendela kaca mereka, persis nuansa hati yang terembuni entah bagaimana caranya sehingga selaksa inspirasi bermunculan di dada dan pikiran mereka, muncul dari arah tak disangka-sangka, muncul tanpa diundang, hilang tanpa dijemput.
Satu demi satu inspirasi dan khayalan itu datang, membuat tangan meraka yang sedari tadi menggenggam pensil, atau di zaman modern ini telah tergantikan dengan laptop atau gadget lihai merangaki kata demi kata menuliskan suatu perpaduan antara keindahan alam dan nalar sastra. Menyatu dalam bentuk puisi maupun essay. Itulah saat terbaik untuk menulis.
Namun, terkadang kita tak tahu apakah rintik pertama itu akan turun pada salam terakhir para jamaah istghatsah ataukah berbelas-belas hari dari keputusasaan akan pesta panen rakyat jelata. Kita tak pernah tahu kapan kecupan dingin pertama dari riak hujan itu akan menyapa bumi, menyapa atap-atap gentang, menyapa dedaunan dan ilalang, tak luput semak belukar yang menguning dihantam nestapanya sang kemarau. Menyapa riak-riak saluran air di pelosok-pelosok kota, di sudut-sudut desa, di tikung gang-gang makassar green and clean.
Semua hanya bisa menanti, menunggu tak tentu arah, menunggu yang hanya ditemani asa yang kian lama kian pupus tergerus masa, tergerus harapan yang timbul tenggelam tiap paginya, tiap melongo menatap langit berkabut yang makin menebal, setebal rasa kesal pada sengatan surya pagi dan siang hari. Semoga essay kecil ini sempai ke malaikat mikail sehingga menggiring awan hitamnya bersenandung di atas tanah para karaeng.