Sejak bulan Juli 2010 lalu saya dipindahtugaskan dari Kantor Pusat tempat saya bekerja ke sebuah regional bureau di kota Pekanbaru provinsi Riau. Penugasan ini telah berhasil melangkahkan kaki saya untuk pertama kali di tanah Sumatera. Sebelumnya, seumur-umur di bumi ibu pertiwi saya hanya pernah berpijak di Jawa (termasuk kota Jakarta, karena kalau saya pulang kampung ke Jogja dibilangnya pergi ke Jawa) dan pulau Dewata. Keberangkatan saya ke Pekanbaru sempat dibekali dengan berbagai wejangan dari keluarga. Cerita dari beberapa teman yang pernah bermukim di Pekanbaru sempat membuat saya agak gusar, misalnya mengenai udaranya yang panas dan berasap, airnya yang berwarna kuning dan berminyak, tanahnya yang panas, kuning dan berminyak, dan seterusnya.
Sesampainya di sini, ternyata beberapa kegusaran saya terobati berkat anomali cuaca di kepulauan Nusantara yang sering hujan di bulan-bulan yang biasanya merupakan musim kemarau. Saya pun tidak terlalu sering menyalakan air conditioner di kamar kos saya yang harganya bersaing dengan tarif di ibukota. Air tanah yang saya pakai mandi pun ternyata hanya sedikit sekali warna kuning dan minyaknya (ampas kuning dan minyak akan terlihat setelah kira-kira 2 minggu air didiamkan di dalam bak, sepeninggal saya di hari-hari liburan lebaran).
Aktivitas saya di kota bertuah ini saya jalani penuh suka cita dengan mengandalkan berbagai moda transportasi umum. Dari bandara Sultan Syarif Kasim II (bisa digolongkan bandara internasional karena ada rute Pekanbaru-Kuala Lumpur) menuju lokasi kos saya dapat ditempuh dengan ojek yang bertarif 20.000 IDR atau taksi koperasi AU (satu-satunya taksi di bandara) yang bertarif 50.000 IDR atau Trans Metro Pekanbaru (halte terdekat dari bandara dapat dicapai dengan berjalan kaki gaya orang Jepang/Singapura selama kira-kira 20 menit) yang bertarif 3.000 IDR atau angkot (tarif umum sekali naik sebesar 2.000 atau 2.500 IDR, tapi saya tidak tahu harus berapa kali ganti trayek untuk sampai ke lokasi yang saya tuju). Setiap pagi saya biasa naik angkot selama 5 menit perjalanan dari depan Pasar Cik Puan sampai ke seberang kantor di Jalan Jenderal Sudirman.
Berhubung di salah satu kota dengan Produk Domestik Bruto tertinggi di Indonesia ini saya tidak menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan dinas, Trans Metro Pekanbaru lah yang menjadi andalan saya sehari-hari. Trayek Trans Metro Pekanbaru terdiri dari jalur Terminal AKAP - Kulim dan Pelita Panjang - Pandau. Sama halnya dengan sepupu seberang pulau Trans Jakarta, bus hanya berhenti di halte-halte khusus dan penumpang yang memerlukan kedua jalur untuk sampai ke tujuannya hanya perlu sekali membeli tiket. Ukuran bus Trans Metro Pekanbaru pun kurang lebih sama besar dengan sepupunya tersebut.
Bus Trans Metro Pekanbaru dengan paduan warna cerah kuning dan biru muda beroperasi mulai pagi hari (mungkin sekitar jam 06.00 atau 06.30) sampai pukul 20.30. Di beberapa halte (tidak semua), pada dinding kacanya ditempel print-out (seadanya dan sulit terbaca) rute dan jadwal Trans Metro Pekanbaru. Terbalik 135 derajat dengan bus-bus kota di seantero Jepang yang jadwal kedatangannya hampir selalu bisa ditepati (terlebih lagi jadwal kereta dalam kota Tokyo Metro, JR, to Yurikamome wa totemo benri deshou), penantian kedatangan bus Trans Metro Pekanbaru sering kali saya alami dengan penuh doa dan mengurut dada. Dari beberapa kali saya tanya ke petugas penjual tiket mengenai jadwal kedatangan bus, saya dapat simpulkan rata-rata interval kedatangan bus adalah setiap 15 menit.
Semoga pengalaman saya dua malam lalu saat saya menunggu bus ke arah Terminal AKAP di halte transit Kantor Pos selama lebih dari 30 menit tidak terulang atau tidak menimpa pemakai jasa (tidak gratis) Trans Metro Pekanbaru lainnya. Malam itu saya mendengar omelan petugas penjual ke tiket kepada awak bus (mungkin kondektur bus) yang saat itu sedang saya nantikan kemunculannya. Kepada kakak penjual tiket tersebut boleh saya puji inisiatifnya karena begitu mendekati pukul 21.00 dan mengetahui bahwa yang sedang dinanti-nanti masih mengisi minyak nun jauh di Kulim, sang kakak pun segera menghentikan bus yang sebenarnya mau pulang kandang ke Terminal AKAP agar saya dan beberapa penumpang lainnya bisa menumpang (tapi bayar) pada bus yang akan pulang kandang tersebut. Sepertinya saat itu doa saya dikabulkan dengan cara demikian.
Dari beberapa kali pengalaman mengurut dada, memandang wajah muram pengguna Trans Metro Pekanbaru lainnya serta wajah riang penuh canda tawa para awak bus dan personil Trans Metro Pekanbaru lainnya, mungkin ada beberapa penyebab interval kedatangan bus yang demikian panjang dan tak menentu sebagai berikut:
1.Untuk menghemat penggunaan BBM di ibukota provinsi penghasil minyak (bumi dan sawit) ini, operator bus sengaja membuat interval kedatangan yang cukup lama. Terlebih sering kali di hari kerja banyak kursi penumpang yang kosong, meskipun pada hari libur banyak ibu dan anak-anak yang sepertinya sedang bertamasya harus rela berdesak-desakan di halte dan bus.
2.Sering kali bus mengetem cukup lama atau lama sekali di halte-halte/terminal pemberhentian terakhir. Seperti metro mini di Jakarta, penumpang yang sedang dikejar waktu dapat ”ditransfer” ke bus di antrian terdepan. Selagi penumpang menunggu dengan suka cita, terdengar derai tawa dan obrolan canda para awak bus yang sambil merokok di halte/terminal pemberhentian. Entah apakah ini bagian dari strategi penghematan BBM oleh operator atau para awak bus itu sendiri.
Menurut hemat saya, apabila benar demikian maka strategi penghematan tersebut dapat menyebabkan warga Pekanbaru semakin urung menggunakan bus Trans Metro, semakin kosongnya kursi penumpang, dan semakin jarangnya interval kedatangan bus. Hal ini tentunya membuat saya cemas karena selama ini dengan bus Trans Metro saya dapat merasakan kesejukan berkendaraan umum tanpa tersesat ke tempat tujuan dengan harga yang terjangkau. Dengan optimisme yang masih 20%, senang rasaya saat saya membaca harian kota mengenai rencana penambahan beberapa trayek dan halte antara lain di Jalan Sukarno Hatta dan Jalan Riau. Proyek rencana penambahan dikabarkan menggunakan dana yang tidak sedikit. Pembangunan satu buah halte dengan ukuran maksimal 4x8 meter persegi (spesifikasi halte yang sudah ada saat ini tanpa air conditioner, tanpa pintu otomatis, kadang tanpa pintu, kursi beton, dinding kaca, lantai kadang papan) dikatakan oleh salah satu pejabat tertinggi kota memerlukan dana 138 juta IDR.
Dengan adanya rencana penambahan tersebut, semoga akan semakin banyak titik kota yang dapat saya kunjungi. Jangan sampai kota Pekanbaru menyusul kegagalan kota Jakarta dalam menghadapi kemacetan, mengingat sering kali saya mengalami antrian panjang di lampu-lampu lalu lintas kota dan sering kali saya lihat mobil-mobil tahun 2005 ke atas berplat pemda/pemkot setempat berseliweran dan parkir hingga ke tepi-tepi jalan di sekitar kompleks pusat pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H